Aku memperhatikan Wulan yang sibuk mengotakatik televisi. Sesekali dia memasukkan irisan steak ke mulutnya. Mungkin dia bingung mencari acara yang disukainya. Sementara aku dan Gina memakan steak di sofa dekat lemari. Kami sedang bercakap-cakap tentang Miss Dinda.
“Gin, kira-kira kenapa, ya, Miss Dinda terkejut ketika tahu kita tinggal di kamar ini?” tanyaku.
Gina mengangkat alis. “Entah, mungkin kamar kita spesial,” Gina seolah tidak peduli.
“Mungkin ... atau ada sesuatu?” tanyaku balik.
“Seperti?”
“Pencurian misalnya,” jelasku.
Gina menggelengkan kepala. “Tidak mungkin. Miss Dinda, kan, baik. Lagi pula otakmu sekarang sudah menjadi otak detektif, deh,” Gina melanjutkan, “gara-gara Afri.”
Aku tersenyum kecil. Memang benar. Sejak kejadian tahun lalu, aku selalu berpikir sedang menghadapi sebuah misteri. Ckckck. Bisa-bisa aku gila.
“Tapi, tidak ada yang tidak mungkin,” aku mengelak.
Gina memonyongkan bibir. “Kalaupun benar, aku tidak mau terlibat lagi. Selalu saja aku yang jadi umpannya.”
“Sudahlah, lagi pula aku tidak mau ada lagi kejadian-kejadian aneh yang menyebabkan kita nyaris celaka,” ucapku.
Gina mengangguk setuju.
Pletak! Aku dan Gina serentak menoleh. “Hei, ada apa, Wulan?”
Ternyata remote yang dibantingnya.
Wulan berkacak pinggang. “Ada berapa saluran TV di sini? Aku telah menekan nomor satu sampai dua puluh, tapi tidak menemukan Cartoon Network!”
Aku dan Gina terkikik geli.
“Tentu saja tidak ada. Kamu tahu, televisi di sini tidak dipasang TV kabel. Ya, pantas saja tidak ada Cartoon Network.”
Wulan nyengir. Wajahnya merah. Dia pasti malu sekali.
“Oh, begitu ya. Ya, sudah aku nonton yang lain saja. Thanks informasinya.”
Aku tersenyum dan mengangguk, sementara Gina terus terkikik.
“Aku bosan di kamar terus. Bagaimana jika kita jalanjalan keliling asrama. Kurasa itu tidak begitu buruk,” tawarku.
Gina menggangguk. “Boleh. Kalau Wulan mau ajak saja dia. Ternyata dia baik juga, ya?”