Fantasteen Darkmatch Poltergeist

Mizan Publishing
Chapter #2

Minggu Pagi

Aku terbangun dari tidurku pukul 6.00 pagi. Raut wajah yang penuh kantuk masih terlihat jelas. Aku membuka mulut lebar-lebar, sebuah gelembung air liur pecah di dalam mulut. Menguap sekali, sambil melemaskan otot-otot tangan. Menggaruk kepala. Mengerjap-ngerjap kedua mata.

Cahaya matahari masuk dari celah tirai yang masih tertutup. Tidak terlalu terang. Sebagian yang gagal melewati celah, hanya menyinari tirai jendela kamarku. Membuatnya bak lentera yang memendar.

Pemandangan di kamarku selanjutnya membuat mataku nyaris tidak berkedip. Entah hanya perasaanku saja atau memang ada yang aneh.

Aku memandang sekitar.

Kamarku berbentuk segi empat. Sebuah pintu berada di satu sisi dan jendela kamar di seberangnya. Tempat tidur berada tepat di samping jendela kamar dengan lemari di seberangnya, di samping pintu kamar. Meja belajar dan kursi menghadap ke jendela, memberikan view yang indah, setiap aku tenggelam dalam PR atau buku-buku yang kubaca.

Tidak ada yang berubah. Semua masih pada tempatnya. Lengkap. Mungkin, barusan hanya perasaanku saja. Aku terlalu banyak menonton film fantasi belakangan ini.

Aku bangkit dari tempat tidurku. Berdiri, lalu berjalan ke arah jendela. Kedua tanganku terangkat malas, menarik tirai dan mengikatnya ke pinggir jendela. Memberikan keleluasaan bagi sinar matahari untuk masuk ke kamar. Lampu sudah tidak cukup terang untuk menyinari seluruh ruangan, kalah oleh sinar mentari.

Kutatap sebuah bingkai yang tertutup di atas meja. Mengangkat bingkai tersebut, membenarkan posisinya.

Sebuah foto perempuan berambut panjang terkurung dalam bingkai. Mata sipitnya terhalang oleh kacamata minus. Hidung mancung. Bibir tipis, dengan gigi gingsul di bagian kanannya. Pipi merah, berlesung. Cantik sekali.

Kakak .... Aku di sini sangat merindukanmu. Semoga, Kakak tenang di sana. Baik-baik sama Tuhan, ya, Kak!

Setetes air mata mengalir.

Aku menghapus air mata di pipi. Melukiskan senyum di bibir. Tidak baik rasanya mengawali pagi dengan kesedihan.

Baik-baik sama Tuhan, ya, Kakak!

Aku memberikan senyum untuk kakakku.

Berbalik. Aku melangkah keluar kamar. Berjalan menuruni tangga menuju lantai satu.

Kesibukan pagi hari ini sudah terlihat di rumahku.

Dari dapur, tampak Ibu yang sedang tergesagesa membalikkan omelet di atas penggorengan. Pemanggang roti meletupkan roti yang sudah cokelat keemasan. Ibu cekatan meletakkan omelet ke atasnya, lalu mengambil piring lain dari rak, meletakkan roti panas ke atas piring, seraya mengolesinya dengan selai. Ibu mengambil kedua piring berisi menu berbeda dan meletakkannya di atas meja makan.

“Kamu sudah bangun, Tian?” tanya Ibu yang menyadari kehadiranku.

Aku mengangkat bahu. Balik kanan hendak kembali ke kamar.

“Mau ke mana kamu? Jangan tidur lagi! Cepat bantu ayahmu. Dia sedang mencuci mobil di luar. Ibu harus mandi, ada rapat penting pukul delapan pagi di kantor.”

Aku tidak mendengar ucapan panjang Ibu. Segera, aku melangkah melewati ruang tamu, lalu keluar lewat pintu depan.

Suara air mengalir. Ayah sedang berdiri sambil mengusap mobil dengan spons yang menyerap air sabun. Menggosok kaca depan mobil, kemudian beralih ke bagian kap, tidak lupa pelat nomor bagian depan. Air mengucur dari slang, ditampung oleh ember hitam kecil.

Sama seperti Ibu, Ayah bahkan hampir tidak menyadari kehadiranku. Ayah baru melihatku begitu melempar spons kuning tadi ke dalam ember lain yang berisi air sabun—ember itu tepat berada di samping pintu depan, di bawah kakiku.

Lihat selengkapnya