“Ibu, lihat sepedaku?” Aku sudah siap dengan seragam dan ransel di punggungku. Namun, apa ini? Aku tidak melihat di mana sepedaku berada. Bukankah aku meletakkannya di depan jendela setelah selesai mencuci kemarin? “Memangnya, kamu taruh di mana kemarin? Bukannya ada di sana bersama mobil Ayah?” “Enggak ada, Bu.” Aku melangkah masuk ke rumah, berdiri di am-bang pintu dapur. Kedua mataku memasang tampang memelas, meminta Ibu ikut mencarikan sepeda. Alihalih ikut membantuku mencari sepeda, Ibu malah marah padaku. “Jangan pasang wajah seperti itu! Ibu tidak suka. Sepedamu itu, kan, besar, enggak mungkin enggak kelihatan. Kamu saja yang malas mencarinya. Cari saja sendiri! Ibu sedang sibuk. Pukul delapan ada meeting.”
Meeting? Lagi?
Aku menggerutu. Berbalik, seraya membenarkan posisi ranselku.
“Ada apa, Tian?” Ayah yang baru selesai mandi bertanya menghampiriku.
“Bukan apa-apa.”
Aku melangkah meninggalkan Ayah.
Ayah sudah tahu apa yang terjadi. Aku yakin, dia tahu. Dia bertanya hanya untuk memastikan saja. Semuanya sudah jelas. Keluarga ini sibuk dengan kepentingannya masing-masing.
“Ibu ini, kok, anaknya minta dicarikan sepeda malah sibuk sama masakannya?”
“Ayah terlalu memanjakan Tian. Dia laki-laki dan sudah besar. Tidak perlu Ibu bantu mencarikan sepeda.”
“Paling enggak, Ibu berhenti memasak sebentar. Kasih perhatian sama anaknya. Kasihan Tian.”
“Aku sedang memasak, Mas.”
Aku menunduk, mendengarnya. Ibu sudah tidak memandang Ayah sebagai suami. Kakiku bergerak menjauhi dapur. Sedih, mendengar Ayah dan Ibu yang memulai pertengkaran ... karena aku.
Tanpa merasa perlu menutup pintu depan, aku segera melangkah, pergi menuju sekolah. Peduli amat sepeda yang hilang. Kebahagiaan pagi ini sudah hilang, hanya karena sepedaku.
***
“Sudah kucari ke sekeliling rumah, tapi tidak menemukannya di mana pun,” ujarku sambil menyuap bakso ke dalam mulutku.
“Mungkin, ibu atau ayahmu yang menyimpannya.” Laki-laki dengan kacamata berbingkai kotak dan ram-but lurus itu berkata pelan. Dari raut wajah yang diberikannya, dia tampak tidak terlalu peduli pada hilangnya sepedaku. Ichsan.
“Memangnya, kamu simpan di mana, kemarin? Coba kamu ingat-ingat lagi!” Tiara bertanya. Prihatin, mungkin.
“Kuletakkan di halaman depan rumah, di samping garasi. Aku yakin sekali, aku meletakkannya di sana. Setelah selesai mencuci kemarin pagi.”
Aku sedang menghabiskan makan siang. Bakso dengan mi putih adalah menu paling cocok untuk disantap, ketika sedang bad mood seperti ini. Kuahnya yang panas pedas itu seolah mendinginkan kepala, membuat hari kembali ceria.
“Ini bukan pertama kalinya kami kehilangan bendabenda di halaman depan rumah. Jemuran ibuku, pot bunga, semuanya hilang begitu saja. Seolah-olah, ada yang menerbangkannya ke langit tanpa merasa perlu menjatuhkannya lagi ke atas tanah.” Aku menjelaskan.