“I vowed after that day that I would be your hero too, no matter how long it took.”
Before I Fall, Lauren Oliver
Ruangan itu gelap. Tidak peduli sekeras apa pun dia berteriak, ruangan tanpa ujung itu sepertinya tak berpenghuni. Dia menghela napas dalam kekelaman total. Tidak ada yang bisa dia tanyakan atau mintai tolong.
Dia kembali berjalan. Meraba-raba sekeliling, ruangan aneh itu seperti tak berdinding. Dia menyepakkan kaki ke segala arah, ngeri kalau-kalau dia berjalan di tengah tebing. Ternyata lantainya terbuat dari logam.
Tiba-tiba pintu terbuka. Seseorang berjalan ke arahnya. Satu-satunya yang dapat dia lihat adalah kilat dalam mata orang itu.
Orang itu terus mendekat dan dia baru menyadari apa yang dilakukan orang itu ketika segalanya sudah terlambat. Ruangan tiba-tiba terang ketika dia merasakan batang besi di dahinya. Pistol hitam. Sosok Oliver Frank berdiri di hadapannya, tangannya menarik pelatuk dengan mantap.
***
Mata Kei nyalang. Mimpi itu jelas menakutinya. Seluruh tubuhnya bergetar bahkan sampai keringat dingin keluar. Kei merasa matanya berair. Penampilannya pasti sangat menyedihkan.
Lebih dari itu, Kei merasa tenggorokannya sakit. Pasti dia berteriak dalam tidur.
Kei bersandar tegap di dinding. Kata Romeo, itu cara paling efektif untuk menenangkan diri. Ditempelkannya paha ke dada, lalu dipeluknya kedua kaki, mencoba menstabilkan napas. Kei melirik jam dinding. Nyaris pukul empat.
“Kapan gue bisa normal lagi, sih?” dengus Kei muak.
Pintu diketuk dan adrenalin Kei naik kembali. Menelan ludah, Kei meraba-raba bagian bawah tempat tidur dan menarik pistol dari sana. Walau Kei tidak memberi tahu Romeo tentang senjata ini, dia yakin Romeo setuju padanya.
Dengan langkah perlahan, nyaris tak terdengar, Kei mendekati pintu. Suara ketukan itu masih berlanjut. Kei membukanya cepat dan dengan gesit mengarahkan pistol ke depan. Tindakannya disambut suara gelas pecah.
“Apa yang kamu lakukan?!”
Kei menurunkan pistol dan mendapati Lazu dengan pecahan gelas susu di lantai. Lazu menatap dengan sorotan benci dan ketakutan. Dengan cepat Lazu berjalan dan sebelum sempat mencerna apa yang dia lakukan, Kei mengejarnya.
“Lazu, Lazu, tunggu dulu! Dengarkan du—.”
“Apa lagi yang harus kudengarkan darimu, hah?” Lazu berbalik cepat. “Kudengar kamu berteriak dalam tidur dan kupikir kamu pasti menginginkan segelas susu hangat, tapi ternyata ....” Lazu menggelengkan kepala.
“Maksudku bukan begitu ....”
“Jangan menyentuhku!” Lazu mundur selangkah. “Kamu bukan gadis baik-baik. Ingatanku mungkin bermasalah, tapi instingku tidak. Sudah kubilang, JANGAN MENDEKAT!”
Seluruh pintu di rumah Tante Keira terbuka dan orang-orang berhamburan. Tante Keira. Mama Kei. Romeo. Adrian. Mereka membentuk lingkaran dengan Lazu dan Kei sebagai titik pusatnya.
“Ada apa ini?” Tante Keira yang pertama bicara.
“Cewek ini!” Lazu menunjuk Kei. “Dia membawa pistol!”
“Pistol?” suara Mama Kei berbahaya. “Kei, apa yang ....”
Tante Keira menatap keponakannya.
Kei sudah tahu apa yang harus dilakukan. Dengan tangan bergetar, disodorkannya pistol kepada Tante Keira.
“Kegilaan macam apa ini?” tuntut Lazu. “Siapa kalian? Kalian jelas-jelas bukan keluargaku. Kembalikan aku kepada Abigail!”
“Oh, tutup mulut!” Adrian membentaknya. “Abigail itu cewek jahat dan otakmu sudah dicuci agar tergila-gila padanya. Keira ini adikmu dan kamu orang pertama yang siaga kalau-kalau dia dilukai.”
“Kamu yang tutup mul—.”
“Keira,” Romeo memotong, “kakimu terluka.”
Kei baru menyadari kalau dia menginjak pecahan kaca. Wajah Adrian memucat melihat darah.
“Well, kurasa aku butuh pegangan ...,” Adrian buruburu menyender di anak tangga.
“Romeo, obati dia!” perintah Tante Keira.
Sosok yang diberi komando mengangguk kalem dan melingkarkan tangan Kei ke bahunya, membawanya kembali ke kamar.
“Tahan,” gumam Romeo, rahangnya menegang, “ini akan sedikit sakit.”
“Aku tidak peduli,” tukas Kei, “beri saja Celeste-78.”
“Tidak,” kali ini Romeo menukas tegas. “Kamu pernah berjanji tidak akan memakainya dan aku ingin kamu memegang teguh prinsip itu. Lagi pula Celeste hanya dipakai untuk orang-orang sekarat.”
Seperti biasa, Kei selalu percaya Romeo. Dia mengadu gigi lalu meremas bantal ketika Romeo menarik sisa pecahan kaca kecil di kaki.
“Apa yang ....”
“Shut.” Romeo melirik ke belakang. “Aku masih punya sisa obat bius Carl.”
Kei menenangkan diri ketika Romeo menjahit kulitnya. Dia tidak merasakan apa pun. Barangkali itu waktu terlama yang dia habiskan dengan Romeo dalam diam. Romeo memandangnya lurus-lurus.
“Tolong jelaskan!” perintah Romeo.
“Apa yang harus kujelaskan?”
“Tentang pistol itu.”
Bahu Kei merosot. “Aku bermimpi buruk. Oliver ... ada dalam mimpiku.” Kei melihat kilatan emosi berkelebat di mata Romeo. “Aku ada di ruangan gelap. Tiba-tiba Oliver datang dan menempelkan pistolnya di keningku. Sepertinya aku berteriak karena Kakak ..., maksudku Lazu, datang dan membuatkanku susu. Tapi, aku malah menempelkan senjata itu ke dahinya.”
“Sebagai orang yang mengajarimu untuk waspada, sejujurnya aku tidak masalah dengan tindakanmu itu,” Romeo mengakui. “Tapi seperti biasa, kecerobohanmu berakibat fatal. Kita tak lagi punya senjata.”
Kei sama sekali tidak menyangka Romeo akan mengucapkan kalimat terakhir.