Fantasteen Ghost Dormitory in London

Mizan Publishing
Chapter #2

Satu

Pernah menjumpai malaikat kecil bersayap patah yang sedang menari-nari di bawah hujan, di tengah kerumunan banyak orang?

Langit bermuram durja. Matahari bersembunyi entah di mana dan membiarkan rintik air membasahi kota malaikat. Big Ben berdiri kokoh seolah memperhatikan gadis kecil layaknya balerina sedang menari-nari di pinggiran jalan. Ketika orang-orang memilih untuk melangkah cepat menuju tujuan masing-masing atau berteduh, gadis kecil itu berbeda. Dia akan selalu berbeda dengan orang lain karena penyakit yang dideritanya.

Sometimes you just need to close your eyes and open them again. Hope you will see the world better than before.

Gadis itu memejamkan mata sejenak dan menarik napas dalam-dalam. Merasakan aroma petrichor* mengalir dan menyejukkan relung hati yang terluka parah.

* Aroma yang tercium saat hujan membasahi bumi, setelah kemarau atau ke

Air hujan seakan meluruhkan segala penat dan asa secara bersamaan. Tepat ketika membuka mata, gadis itu terkesiap. Di hadapannya, beberapa orang memandang penuh maksud jahat.

Clara memacu larinya menuju arah lain diikuti orang-orang tadi. Kakinya terus berlari, berlari, dan berlari hingga mengantarkannya pada lorong kosong. Lorong di antara dua flat kelas menengah yang dindingnya berwarna merah bata. Beberapa tempat sampah berjejer, sehingga dia memilih berlindung di salah satu celah di antara tempat sampah.

Clara mengintip dan melihat beberapa orang celingukan mencarinya. Karena tidak juga menemukan Clara, mereka kemudian berlari entah ke mana. Ketika situasi aman, Clara mengembuskan napas lega. Dia membersihkan kotoran yang menempel di bajunya.

“SONNYA!” teriak seorang laki-laki dari arah belakang yang membuat Clara langsung menengok. “Akhirnya, aku menemukanmu!” sosok itu memekik girang. Dengan langkah tegas, laki-laki itu mendekati Clara.

Belum sempat Clara mencapai ujung lorong, tangan kekarnya mencengkeram dengan kasar. Dia tidak segansegan menjambak rambut Clara sampai kepalanya tertarik ke belakang. Clara meringis kesakitan.

“Aku akan membalaskan dendam Sara kepadamu!” teriak pria itu sambil menyeret badan Clara ke belakang.

Tubuh kecil Clara memberontak dan berusaha berteriak minta tolong. Dalam satu gerakan, laki-laki itu membekap mulut Clara. Tubuh kecilnya disandarkan di tembok dan kedua bahunya ditahan oleh tangan kekar. “Kamu yang sudah membunuh istriku!”

Clara memberontak. Dia menjejak-jejakkan kakinya ke tanah, berusaha melepaskan diri. Clara bukan Sonnya dan dia tidak ingat pernah bertemu dengan laki-laki di hadapannya. Gadis mungil itu menggigit tangan Sang Pria. Ketika orang itu sibuk menjerit-jerit kesakitan, Clara langsung melarikan diri. Sayang ... larinya masih kalah cepat sehingga laki-laki itu kembali berhasil menangkap Clara. Dia langsung menampar wajahnya sampai Clara tak sadarkan diri.

***

Clara menemukan dirinya berada di sebuah kamar. Ukurannya tidak terlalu besar, juga tidak kecil. Kasur tempatnya berbaring hanya cukup untuk satu orang. Ada satu lemari kayu di sisi kanan dan di sampingnya persis terdapat satu meja belajar. Dinding kamar dicat abu-abu dengan lampu menggantung di bagian tengah ruangan.

Clara mengerjap-ngerjapkan mata, berusaha bangkit ketika seorang laki-laki dewasa masuk.

“Ah, rupanya kamu sudah sadar, Nak,” komentar laki-laki itu. Tanpa berbasa-basi, dia langsung berjalan dan duduk di kursi yang ada di samping tempat tidur Clara.

“Saya di mana?” Pertanyaan pertama yang Clara lontarkan.

Laki-laki bermata biru dengan raut wajah tenang dan meneduhkan menjawab, “Kamu sedang berada di sekolah asrama milik saya.”

Clara tidak tahu harus berucap apa. Dia hanya memandang laki-laki yang duduk di sampingnya secara saksama. “Di mana dia? Pria dewasa yang bersama saya di lorong?”

“Dia di rumah sakit. Saya menemukanmu dalam keadaan pingsan, sementara laki-laki itu terluka parah.” Sosok asing itu menjelaskan tanpa diminta.

Alis Clara bertaut. Kesulitan mencerna kejadian yang baru saja terjadi.

“Lebih baik kamu bersiap-siap. Sebentar lagi makan malam tiba. Kalau mau ke ruang makan, kamu tinggal berjalan ke kiri. Di hadapannya kemudian, terdapat sebuah pintu besar, di sanalah ruang makan asrama berada.” Selesai menerangkan, laki-laki itu pamit dan meninggalkan Clara sendirian.

Sejenak Clara memperhatikan sekitar. Entah kenapa dia memiliki perasaan buruk di sini.

***

Clara ke luar kamar ketika lonceng berbunyi. Meskipun tidak mengerti arti bunyi tersebut, dia memiliki keyakinan bunyi itu menandakan jam makan malam di asrama. Clara melihat anak-anak berbondong-bondong menuju ruangan yang sama.

Beberapa anak terlihat memperhatikan Clara. Jujur saja, gadis kecil itu tidak suka dilihat banyak orang. Clara mempercepat langkah. Ketika masuk ke ruang makan, dia dibuat terkagum-kagum dengan desain interior yang begitu tertata rapi dan mewah.

Dibandingkan persegi, ruang makan lebih berbentuk bundar. Tiga meja makan panjang berjejer dengan banyak kursi di sisi kanan dan kiri masing-masing meja. Lima jendela besar mengelilingi ruangan dengan kusen berwarna cokelat tua. Banyak sekali motif-motif yang menyiratkan unsur agama Katolik di langit-langit.

Perhatian Clara kemudian teralihkan, ketika dia terpaksa menyingkir dari pintu. Kalau tidak mau terdorong gerombolan anak yang sudah tidak sabar menyantap makan malam.

Suasana di dalam ruang makan sangat ramai. Denting stainless steel dan piring keramik menggema hingga langit-langit bercampur suara obrolan anakanak.

Pandangan Clara jatuh pada laki-laki yang memperkenalkan dirinya sebagai pemilik asrama. Begitu pandangan mereka bertemu, dia langsung melambaikan tangan dan tersenyum. Tangannya menunjuk kursi yang berada tepat di sampingnya.

Clara berjalan ke tempat duduk yang ditunjukkan laki-laki tadi. Dia lalu mempersilakan Clara memakan makanan yang tersedia di sepanjang meja. Hanya beberapa menu yang Clara pilih untuk makan malamnya. Sejujurnya, dia tidak bernafsu makan.

Selesai makan, laki-laki itu memandang Clara dan menyodorkan tangannya. “Nama saya Handi. Panggil saja Mister Handi. Kamu?”

Clara baru ingat sedari tadi mereka belum memperkenalkan diri. “Nama saya Clara.”

“Hanya Clara?” tanya Mister Handi seraya memicingkan mata.

Lawan yang diajaknya berbicara mengangguk mantap. “Saya tidak tahu keluarga saya. Entahlah, mungkin saya pernah terkena suatu musibah dan kehilangan ingatan.”

“Selama ini kamu tinggal di mana?”

“Bisa di mana saja. Saya mencari uang untuk membeli makanan dengan modal menari di jalanan. Kadang saya berkolaborasi dengan pemusik jalanan.” Tanpa sadar, Clara bercerita panjang dengan sosok yang baru dikenalnya.

“Menarik,” puji Mister Handi yang membuat Clara tersipu malu. “Kamu bisa tinggal di sini. Saya harap kamu dapat menikmati asrama ini,” Mister Handi menepuk pundak Clara dan hendak berlalu pergi.

Pertanyaan Clara yang dilontarkan mencegah Mister Handi melangkah lebih lanjut. “Mengapa Anda baik kepada saya?”

Jawaban Mister Handi tidak akan pernah dilupakan Clara, “Apakah menjadi baik memerlukan alasan?”

***

Suasana asrama yang semula sangat ramai berubah hening. Clara sedang berselimut ketika pintu diketuk seseorang. Clara mengintip jam meja di samping tempat tidur. Waktu masih menunjukkan pukul tiga pagi. Dia memutuskan mengabaikan ketukan dan berbalik badan.

Lagi.

Lihat selengkapnya