Bus sekolah berjalan menuju London Eye. Clara duduk bersama Eve. Tentu saja, bukan Clara yang memintanya. Sejak awal perjalanan, Clara sudah mengambil ancang-ancang agar pandangannya selalu melihat terus ke arah jendela. Sehingga, telinganya tidak perlu mendengar kebisingan ocehan Eve.
Jalanan London selalu menjadi salah satu yang Clara banggakan sebagai warga Kota London. Bangunan-bangunan tinggi yang dominan berwarna cokelat, krem, dan putih terlihat di bahu jalan. Payphone khas London yang dicat berwarna merah terlihat kontras dengan warna bangunan yang ada. Tidak jarang, Clara melihat kafe-kafe yang menggelar meja dan kursi sampai ke luar bangunan. Masing-masing kursi dan meja diberi payung yang cukup lebar.
Di sisi jalan yang lain, Clara melihat seniman jalanan sedang menuangkan imajinasi ke kanvas. Toko-toko bunga menyelip di antara bangunan tinggi. Memberikan warna pada jalanan yang monoton. Pejalan kaki ramai memenuhi jalanan London. Clara memperhatikan lalulalang itu. Ada yang wajahnya terlihat murung, namun ada juga yang tersenyum dengan menyapa setiap orang yang dikenalnya.
Entah kenapa, Clara merasa skeptis dengan orang yang selalu memasang senyum di wajah. Menurut dia, mereka tipetipe orang munafik yang suka menyembunyikan perasaan. Clara berpikir, jika manusia membohongi perasaan, semakin tersiksa batin orang tersebut. Untuk apa melakukan sesuatu yang membuat diri sendiri sengsara? Clara akan melakukan apa saja yang membuat dirinya merasa bahagia.
Bus sampai di perempatan jalan. Cukup banyak kendaraan berlalu-lalang dari arah lain, sehingga bus harus berhenti. Sambil menunggu bus berjalan kembali, Clara memperhatikan lima orang bergerombol di depan toko buku kecil dengan bangunan terkesan kuno. Di dalamnya, buku-buku tebal tersusun rapi.
Lama, Clara memperhatikan kerumunan. Mereka tertawa-tawa, hingga seseorang tiba-tiba melayangkan tinju kepada salah satunya yang juga berada dalam kerumunan itu. Clara tersentak. Dia mengangkat kepala yang sedari tadi ditopangkan kepalan tangan dengan sikut menempel di bingkai jendela. Tiga orang di dalam kerumunan hanya diam melihat kekerasan terjadi. Orang-orang yang berlalu-lalang pun seolah tidak ada yang memedulikan kejadian itu.
Orang yang tadi pertama kali melayangkan tinju, terus memukul korban tanpa ampun. Si Korban sudah menangis-nangis, bahkan memeluk kaki pria yang memukulinya. Ditendangnya korban sampai jatuh di trotoar. Clara melihat korban kemudian bersusah payah mengatur napas sembari mengusap darahnya dari mulut.
Mata si Korban tiba-tiba menatap lurus ke arah Clara. Dengan bersusah payah, dia berusaha bangkit dan melangkah ke arah bus. Tanpa disangka, dia sudah menggedor-gedor bus di bagian jendela tempat Clara memperhatikan. Sontak, Clara melihat sekitar. Anehnya orang-orang di dalam bus seperti tidak ada yang menyadari gedoran dari luar bus.
Clara bertanya-tanya apakah nilai kemanusiaan sudah hancur? Clara sendiri tidak tahu cara menolongnya sehingga dia hanya membekap mulutnya dengan mata tak lepas dari si Korban. Mulutnya tampak terus berkomat-kamit mengucapkan, “Help me! Help me!”
Seakan belum puas, si Pemukul mendatangi korban lalu meninju wajahnya sekali lagi sampai bercak merah memercik ke jendela bus. Korban lalu pingsan. Badannya perlahan-lahan jatuh ke bawah. Bersamaan dengan itu, sopir mulai menjalankan bus. Dengan kata lain, roda bus bisa saja melindas tubuhnya.
Clara langsung berteriak histeris dan mengagetkan seisi bus. “Stop! Hentikan bus ini. Ada orang terjatuh di bawah bus.”
Sopir langsung mengerem mendadak. Mrs. Faith yang terkejut dengan perkataan Clara langsung turun untuk memeriksa kebenarannya.
Dari tempat duduk, Clara dapat melihat Mrs. Faith berjalan ke tempat si Korban terjatuh. Mrs. Faith menunduk untuk memeriksa bagian bawah bus. Setelahnya menengadahkan kepala ke atas lalu mengembuskan napas gusar.
“Jalan saja, Pak. Sudah beres, kok,” terang Mrs. Faith setelah kembali memasuki bus.