Aku menarik koper yang penuh oleh perlengkapan sekolah. Dengan malu-malu, aku bersama puluhan ... ah, tidak, ratusan siswa lainnya, memasuki gerbang asrama terbesar di ibu kota negara.
Asrama Aprendera terletak di bagian selatan Madrid, Spanyol. Asrama ini memiliki satu bangunan, menara tinggi pencakar langit menjadi ciri khas bangunannya. Dinding tebal berwarna abu-abu tertutup salju, serta beberapa jendela kaca berwarna menghiasi bangunan. Tampak seperti arsitektur kuno.
Asrama yang cukup besar, aku berkata dalam hati.
Aku membenarkan posisi kacamata bundar dan menarik koper. Berjalan ke dalam bangunan besar itu.
Seseorang bermantel lebat berdiri di samping pintu masuk. Wajahnya datar saat menyambut muridmurid. Dari seragam yang tersembunyi di balik mantel, sepertinya dia penjaga pintu asrama. Tangannya memegang tali yang mengikat anjing di sampingnya.
Anjing itu menggonggong. Aku takut-takut berjalan melewatinya.
“Selamat datang di Asrama Aprendera,” katanya tersenyum kepadaku.
Aku membalas senyumnya. “Gracias.” Aku menarik koper dan berjalan menyusuri lorong panjang. Lilin-lilin menjadi penerangan di sepanjang lorong seperti mengikat kuat arsitektur kuno yang terdapat di bangunan ini. Beberapa foto terpampang di sepanjang lorong, beserta sebuah angka di bagian bawah bingkai. Sepertinya, itu foto kepala sekolah.
Aku memperhatikan murid-murid yang berjalan di depan mereka asyik bercanda dengan teman-temannya. Aku tertawa dalam hati. Miris. Aku berjalan sendirian di lorong ini, tidak punya teman.
Keluar dari lorong panjang, aku justru berdiri tepat di perempatan lorong. Di samping kanan tiap-tiap lorong terdapat tangga yang berputar ke atas, memberikan jalan untuk empat lorong lainnya di atas.
Aku mengikuti orang-orang yang berjalan di depan. Mereka berbelok ke lorong sebelah kanan.
“Letakkan koper kalian di sini. Sekarang, satu per satu dari kalian masuk ruangan dengan tertib. Akan ada acara penyambutan murid baru,” instruksi laki-laki tinggi di barisan paling depan.
Aku dan puluhan murid lainnya mengikuti perintah. Meletakkan koper di samping pintu besar dan berjalan tertib memasuki aula yang besar. Sangat besar malah.
Sebuah panggung dengan banner selamat datang berdiri di samping kanan pintu yang kumasuki. Sedangkan di depan panggung, tertata ratusan kursi yang membentuk puluhan barisan. Lampu besar tergantung di tengah-tengah aula dengan beberapa obor di dinding. Mereka tidak menyalakan lampu atau obor siang itu. Jendela di atas aula sudah memberikan jalan untuk sinar matahari, walaupun tertutup oleh salju yang menetes.
Aku berjalan dan memilih kursi kosong di barisan ketujuh.
Acara penyambutan berlangsung meriah. Beberapa acara benar-benar mengesankan. Permainan musik tradisional Spanyol, tarian adat, juga beberapa pertunjukkan seni lainnya.
Setelah semua pertunjukan selesai, para murid dipanggil satu per satu dan berdiri dari kursi masingmasing.
“Ogiwaua Constantino!”
Mereka memanggil namaku. Aku berdiri dengan kepala membungkuk, kemudian duduk kembali.
Setelah semua nama dipanggil, kepala sekolah memberikan sambutan sangat panjang. Dia memperkenalkan diri sebagai Mr. Xabat Xalvador. Laki-laki setengah baya dengan jas hitam dan tongkat di tangannya masih berbicara saat sebagian murid sudah menguap. Aku tidak terlalu memperhatikan, tapi kalimat terakhir Mr. Xalvador sebelum dia turun dari podium menarik perhatian.
“Oh, iya, sebelum mengakhiri sambutan ada yang ingin saya sampaikan. Ini tahun 2002, kelipatan tiga belas. Tahun ini, makhluk itu akan muncul kembali untuk mengisap jiwa orang-orang yang lemah. Jadi, bermainlah dengan teman-teman kalian. Jangan biarkan jiwa kalian lemah atau makhluk itu akan datang dan mengambil nyawa kalian.”
Ya, ampun ... kepala sekolah sepertinya masih memercayai dongeng tentang makhluk pengisap jiwa yang lemah? Kota macam apa ini. Pada abad ke-21, orang-orang masih memercayai takhayul, menyedihkan sekali. Mungkin karena ini sekolah tua dan memiliki arsitektur sangat kuno sehingga penghuni pun memiliki cara berpikir orang-orang kuno.
Acara penyambutan selesai dan diakhiri tiupan terompet, benang warna-warni berjatuhan, dan balon-balon yang muncul entah dari mana. Musik orkestra dimainkan sebagai penutup acara siang itu.
Aku enggan mengantre di pintu keluar, lebih memilih tetap duduk menyaksikan musik orkestra di atas panggung.
Sebelum acara tadi ditutup, pembawa acara mengumumkan untuk mengambil kunci kamar di ruang Tata Usaha. Dia sudah memberiku peta Asrama Aprendera. Itu sangat membantu, setidaknya aku tidak perlu terburu-buru berjalan mengikuti orang-orang di depan.
Lima belas menit kemudian, aula sudah sepi. Aku bangkit dari kursi dan berjalan keluar aula. Mataku terbelalak saat menyadari koper yang kuletakkan di samping aula sudah tidak ada. Panik. Aku segera mencarinya.
Aku sangat ingat meletakkan koper di sini. Tepat di samping koper milik lelaki yang berjalan di depanku tadi. Tapi, kenapa tidak ada?
“Jangan coba menantang waktu! Saat berpikir sudah cepat, kamu justru bergerak semakin lambat,” ujar seseorang.
Aku berhenti bergerak, berbalik, dan menatapnya. Di depanku ada sosok perempuan berambut emas dengan hidung mancung. Mata bundarnya yang berwarna cokelat menatapku.
“Kamu mencari koper?” tanyanya.
Aku mengangguk.
Dia mengalihkan pandangan dan menunjuk ke atap bangunan. “Itu kopermu?”
Benar saja! Itu koperku. Terletak di atas kayu-kayu di atap lorong. Tinggi. Aku tidak bisa menggapainya.
Ah, hari pertama di Aprendera, aku sudah dijaili teman-teman. Bueno!
“Mau kucarikan tangga?” tawar perempuan berambut emas. Belum sempat menjawab, dia sudah menarik lenganku. “Ayo, ikut!”
Seolah terhipnotis, aku berjalan mengikutinya. Melangkah menyusuri lorong dan keluar dari pintu depan asrama. Kami berhenti depan sebuah rumah di samping pintu gerbang.
“Tunggu di sini!” Dia mengetuk pintu rumah kecil di samping pintu gerbang besar sekolah.
Seseorang dengan mantel tebal keluar dari dalam. Itu ... penjaga gerbang yang tadi memberikan senyuman kepadaku. Aku menunduk, tidak kuat menatapnya. Kacamata bundarku menggantung di atas hidung.
“Ada apa kalian ke sini?” tanyanya terdengar menggertak. “Jangan memintaku membukakan pintu gerbang. Sekolah baru saja dimulai!”
“Ah, tidak. Kami tidak datang untuk itu, Mr. Sein. Kami ingin meminjam tangga,” ucap perempuan itu datar.
Aku tidak mengerti. Mengapa kita harus meminjam tangga ke penjaga gerbang sekolah?
“Buat Apa? Kalian akan bertindak jail? Tidak. Aku tidak akan memberikannya.”
Mr. Sein baru akan menutup pintu, tetapi tangan perempuan di sampingku lebih dahulu mencegahnya.
“Koper anak ini diletakkan di atas loteng oleh temannya. Tolonglah, dia ini anak baru di sini.”
Mr. Sein terdiam. Dia menatapku. Tangan dinginnya mengangkat wajahku dan seketika senyum terlukis di wajahnya. Dia berbalik masuk rumahnya.
“Kamu mengenalnya?” tanya perempuan itu menatapku.
Aku buru-buru menggeleng. “Kami bertemu di pintu masuk pagi ini.”