Beberapa hal yang kuketahui tentang Austria: The Sound of Music, Pegunungan Alpen, dan tempat lahir para komposer klasik yang namanya bisa bikin lidahmu terbelit. Berhubung negara ini terkena kangkangan rok besar Alpen, sudah pasti banyak resor ski dan penganan berbasis cokelat. Mereka dibayangbayangi Swiss hampir dalam segala hal, dan warganya berbicara bahasa Jerman, yang tentu akan menjadi dead end bagiku. Apa gunanya tinggal di la magnifique French Quarter selama enam belas tahun jika akhirnya ayahmu yang sok kultural itu malah mendepak ke negara berbahasa Jerman?
Oke, mungkin itu tuduhan jahat. Dad memang kultural, kok. Mana mungkin chairman Juilliard menjadikannya pengajar kalau tidak berseni. Iya, kan?
Namun tetap saja, Dad tidak bisa seenaknya mengirimku ke benua lain, terpisah dari Mom yang tetap tinggal di New Orleans, juga Dirigo, kakakku yang kini menjadi murid Juilliard dan beresiden di New York.
Alasan Dad, “Memangnya kamu enggak mau mengenal tanah nenek moyangmu?”
Kubilang, “Dad, nenek moyangku di Austria terakhir meninggal kira-kira setengah abad lalu. Satusatunya warisan adalah nama keluarga kita.”
Dad tidak terpengaruh. Beliau tetap mendaftarkanku ke Musikschule Mozart, memesan tiket, dan mengepak koperku. Akhirnya, terbanglah aku sendirian ke Vienna. Aku menghabiskan masa transitku di Charles de Gaulle Airport dengan menangis, dan gara-gara ketiduran di pesawat, hidungku memerah, mataku pun bengkak. Tidak ada waktu ke toilet untuk berbenah. Kami sudah harus mengencangkan seatbelt karena pesawat akan segera mendarat.
Setelah pesawat benar-benar berhenti di gate, aku turun dan mengantre di imigrasi, tanpa sempat kusadari sudah sampai ke bagian pengambilan bagasi. Dengan penumpang yang hanya 110 orang, seharusnya barang-barangku cepat muncul. Aku hanya membawa satu koper besar dan tas biola. Koper beroda sudah kugenggam, tapi tas biola ....
Tiba-tiba, baggage carousel berhenti bergerak, pertanda sudah tak ada muatan untuk dikeluarkan. Gerombolan di sekelilingku sudah menjauh dengan bawaan mereka sendiri. Di mana tas biolaku?
Jangan panik, pintaku. Apa yang terjadi pada tas biolaku? Mungkinkah tertinggal di New Orleans? Atau justru di Paris?
Aku melaporkan kehilanganku ke pihak airline. Mereka berjanji akan melacaknya dan memintaku meninggalkan kontak. Kuberikan nomor teleponku serta kartu nama Musikschule Mozart, lalu bergegas ke lounge terminal tiga.
Banyak orang melambaikan whiteboard bertuliskan nama penumpang yang mereka jemput. Salah satunya seorang cowok dengan kaus Polo berlapis jaket biru navy dan celana kargo, mengacungkan whiteboard yang memuat nama dan—astaga—fotoku. Di bagian atas whiteboard, ada gambar bendera Amerika serta tulisan, “Willkommen in Wien1,” menggunakan huruf meliukliuk yang terkesan futuristik.
Agak canggung, kudekati orang itu.
“Um, hai?” sapaku, setengah cemas jika dia tidak mengerti bahasa Inggris.
Si Cowok melirikku kemudian menghadapku dan menyapukan pandangannya dari atas ke bawah. Dia mencocokkan dengan foto di papan tulis.
“Eureka Bernstein?” selidiknya memastikan. Aku mengangguk, dan orang itu menyeringai selebar
Cheshire Cat. Giginya berderet, rapi dan putih, kontras dengan kulit dan rambut. “Ah, I’ve found it!2”
“Syukurlah, kamu orang terakhir yang harus kutunggu. Why it takes you so long? Perjalananmu lancar?”
“Maaf, aku harus mencari barangku yang hilang.” Ucapanku menghentikan langkahnya.
“Barangmu? Sudah ketemu?”
Aku mendesah letih. “Belum, tapi pihak airline berjanji akan mencarinya. Kemungkinan tasku tertinggal di New Orleans.”
“Apa isinya penting?”
“Isinya biolaku.”
Wajahnya mendadak pucat. “Apa kamu mengambil biola di program utama sekolah?”
“He-eh.”
Dia menyumpah dalam bahasa Jerman. Sepertinya.
“Kalau begitu, aku harus segera mencarikanmu biola pengganti.” Dia terdiam beberapa saat. “Tapi, waktu istirahatmu tertunda.”
“Kenapa kamu harus mencarikanku biola pengganti?” tanyaku bingung.
“Karena aku tutormu, jadi aku bertanggung jawab penuh selama satu semester ke depan.” Dia memiringkan kepala ke kiri, tersenyum. “Anyway, aku Nino. Nino Sandoval.”
Aku tidak menanggapi, sibuk memperhatikan sekeliling.
“Mohon kerja samanya, Eureka Bernstein.”
Terlalu lelah melawan, aku mengangguk setuju. “Mohon kerja samanya juga, Nino Sandoval.”
***
Sebelum ini aku sudah berkomunikasi dengan bagian admisi anak baru Musikschule, Frau Agathe Duerr. Tulisan-tulisan e-mail-nya mengesankan dia orang yang berwibawa dan tidak punya waktu untuk remehtemeh. Well, tulisan bisa menipu, rupanya. Frau Duerr perempuan di akhir kepala lima, gempal, menyukai aksen bulu, dan warna pink. Dia menjanjikan biola baru bisa kuambil besok. Meminjam, tentunya.
Aku belum tahu kemampuannya sebagai tutor, tapi Nino tour guide yang cukup baik. Dia ngotot menarik koperku, mengenalkan satu per satu ruangan di Musikschule Mozart. Satu angkatan hanya lima puluh murid, kelas 11 dan 12 bahkan cuma tiga puluh.
Aku melihat sekolah ini lebih mirip kastil. Gedung utamanya berada di belakang gerbang dan taman, diapit empat menara di setiap sudutnya. Gedung sekunder berjarak seratus meter di belakangnya, dipisahkan sungai kecil. Gedung itu berfungsi sebagai dorm para murid dan guru, berbentuk huruf U, terdiri atas tiga lantai dan dipenuhi jendela. Musikschule dibangun pertengahan abad 18 sebagai manor bangsawan Austria. Bangsawan itu menyukai musik dan waltz, selalu mengundang tamu-tamunya berpesta di gedung utama. Akhir 1920, manor ini diubah jadi sekolah musik.
Selama Nino menjelaskan aku cuma berkomentar singkat atau sesekali mengangguk dan menguap. Akhirnya, setengah jalan di gedung sekunder, aku menyerah.
“Nino, sori aku sudah tidak kuat lagi,” rengekku jujur. “Kita perlu istirahat. Bagaimana kalau tur dilanjutkan besok?”
Kupikir Nino akan tersinggung, tapi dia hanya mengangguk maklum.