Anak-Anak, Mama ingin bicara dengan kalian!” pinta Mama padaku dan Kak Ricko. Kami saling bertatapan, kemudian berjalan menuju ruang keluarga. “Ada apa sih, Ma?” tanyaku. “Hhhh, tapi kalian jangan kecewa dan marah, ya,” kata Mama. “Feeling-ku terasa tidak enak, lho, Ma!” kata Kak Ricko. “Mungkin feeling-mu benar,” sahut Mama. “So, apa yang akan Mama bicarakan pada kami?” tanyaku. “Yah, kalian ingat, kan? Mama pernah berjanji akan mengajak kalian ke puncak? Mama minta maaf, karena mendadak Mama mendapat tugas dinas di luar kota selama dua minggu,” jelas Mama dengan wajah sedih.
“Kok, gitu, Ma? Padahal, kan, aku udah nunggu-nunggu saat ini. Dan, aku udah ngebatalin rencana-rencanaku selama liburan, Ma!” marahku.
“Maafkan Mama, Sayang. Ini mendadak. Mama juga baru dihubungi semalam,” kata Mama.
Karena aku kesal, aku lalu berlari ke kamarku. Aku menangis. Kenapa Mama harus kerja saat liburan begini, sih? Padahal aku, kan, pengin ngumpul sekeluarga, walaupun tanpa Papa.
Mama itu, kan, kerja terus, masa pas liburan gini harus kerja juga. Ini sungguh tidak adil!
Tok … tok … tok ….
Pintu kamarku diketuk oleh seseorang dari luar.
“Bolehkah aku masuk?” tanya suara orang itu.
“Mau apa, Kak? Mau mentertawakanku?” bentakku.
Walaupun, aku belum mengizinkannya masuk, tapi kakakku itu tetap masuk ke kamarku. Dia duduk di tempat tidurku, di sampingku.
“Ra, kamu kenapa marah? Kan, kita bisa pergi samasama lain kali?” tanya Kak Ricko.
“Tapi, Kak. Aku ingin kita kumpul sekeluarga kayak dulu. Seperti tahun lalu ketika Papa masih ada. Kakak sekarang jarang di rumah, kan? Sejak Papa meninggal, Kakak ngekos di dekat sekolah Kakak sana,” kataku sedih.
“Yah, mau gimana lagi, Kakak, kan, juga harus kerja sambilan di dekat sekolah. Hitung-hitung ngurangi beban Mama,” kata Kak Ricko.
“Tapi, Kak...,” kataku, namun langsung disela oleh Kak Ricko.
“Oke. Liburan kali ini, Kakak akan di rumah terus. Kita jalan-jalan berdua aja, oke?” tawar Kak Ricko.
“Berdua, kan, gak asyik, Kak?” sergahku.
“Ya, udah, kalau gak mau. Nanti Kakak jalan-jalan sama temen Kakak aja,” ucap Kak Ricko.
“Masa, aku sendirian di rumah, sih? Ikut, dong, Kak!” pintaku memelas.
“Yang gak mau, tadi siapa?” tanya Kak Ricko dengan nada meledek.
“Hehehe, aku, sih. Tapi janji, ya, liburan di rumah terus!” kataku mengacungkan kelingking.
“Janji!” seru Kak Ricko mengaitkan kelingkingnya di kelingkingku. “Udah, ya, jangan nangis!”
“Oke, Kak!” seruku. Kak Ricko mengelus rambutku, eh, bukan, tapi mengacak-acak rambutku, lalu keluar dari kamarku ini.
Ya, namaku Tiara. Tiara Putri Aulia. Aku kelas 7 SMP. Sedangkan tadi itu kakakku, Kak Ricko. Muhammad Ricko Saputra lengkapnya. Dia kelas 11 SMA.
Aku memiliki rambut panjang dan bergelombang. Sementara Kak Ricko, rambutnya lurus dan sedikit panjang. Tapi, kami memiliki kesamaan. Bola mata kami berwarna cokelat pekat. Entah keturunan dari mana, yang kutahu dari Mama, keluarga Papa ada yang blasteran. Makanya, gak heran kalau bola mataku dan Kak Ricko berwarna cokelat.
Setahun yang lalu, Papa meninggal dunia. Beliau meninggal karena serangan jantung. Tapi, itu semua terjadi secara tiba-tiba.
Saat itu, kami sekeluarga, aku, Kak Ricko, Mama, dan Papa, pergi ke Puncak untuk melihat bintang-bintang. Walaupun, tidak banyak. Awalnya, aku kesal karena dipaksa ikut sama Papa, tapi aku tidak menyangka, ternyata itu adalah permintaan terakhir Papa.
Yah, sepulangnya kami dari Puncak, tiba-tiba Papa pingsan begitu sampai di rumah. Kami bingung ingin membawa Papa dengan apa ke rumah sakit. Karena, yang bisa menyetir mobil hanya Papa. Akhirnya, di tengah kebingungan, Kak Ricko meminta bantuan tetangga untuk menyetir mobil kami. Untunglah, dia mau membantu.
Tapi, begitu sampai di rumah sakit, ternyata Papa ... Papa sudah enggak ada. Papa sudah meninggalkan aku, Kak Ricko, dan Mama. Padahal, belum sempat Papa diperiksa dokter. Karena, begitu sampai di UGD, dokter sudah mengetahui bahwa Papa sudah meninggal dunia.
Jelas saja, kejadian ini membuat kami shock, terlebih Mama, dia menangis sejadi-jadinya. Aku dan Kak Ricko pun demikian. Kami hanya bisa menangis.
Keluarga kami sempat mengalami keterpurukan, namun akhirnya kami bisa bangkit kembali. Mama mendapat pekerjaan di tempat Papa bekerja dahulu. Sementara Kak Ricko, kerja sambilan sebagai guru les privat.
Dan sejak itulah, Mama dan Kak Ricko belajar menyetir mobil. Apalagi, Kak Ricko sebentar lagi akan berusia 17 tahun. Aku pun hanya bisa membantu dengan belajar dan mengurusi rumah.
Walaupun begitu, tetap saja aku merasa ada yang kurang.
“Hei! Tante Dita datang, tuh!” kata Kak Ricko membuyarkan lamunanku.
“Eh, ah, eng, iya, aku ke sana!” sahutku.
Aku dan kakakku kemudian beranjak menuju ruang tamu. Di sana ada seorang wanita paruh baya yang sedang ngobrol dengan Mama. Dialah Tante Dita, sahabat Mama
sejak SMA.
“Hai, Tiara! Hai, Ricko!” sapa Tante Dita.
“Iya, Tante,” balasku.
“Ada apa, ya, Tante memanggil kami berdua?” tanya Kak Ricko.
“Tante dengar kalian ingin liburan, ya?” Tante Dita balik bertanya.
“Iya, Tan, tapi Mama mendadak ada pekerjaan,” jawabku murung.
“Tante sudah dengar dari Mama kalian. Oh, iya, kalian mau ikut Tante, gak?” tawar Tante Dita.
“Ke mana, Tan?” tanya Kak Ricko.
“Ke penginapan milik Tante,” jawab Tante Dita.
“Penginapan?” tanyaku.
“Ya, penginapan Tante. Kebetulan, liburan kali ini, kan, kalian belum ada rencana, jadi Tante mau ajak kalian buat bantu-bantu di penginapan Tante. Kalian mau tidak?” tawar Tante Dita.
“Kita jadi pelayan gitu?” tanya Kak Ricko.
“Bukan, sih, hanya membantu. Di sana ada keponakan Tante. Dialah yang jadi pelayannya. Kalau kalian mau, kalian bisa membantunya karena dia hanya berdua dengan Tante. Oh, iya, di penginapan Tante, kalau malam, akan terlihat banyak sekali bintang, lho! Selain itu, kalian bisa dapat honor dari pekerjaan kalian,” jelas Tante Dita.
Aku berpikir, sepertinya seru juga, tuh. Cari pengalaman baru sebagai pelayan di sebuah penginapan. Bisa buat nambah uang jajan lagi.
“Mau, Tan! Mau banget!” seruku.
“Serius?” tanya Kak Ricko.
“Iya, dong! Daripada kita beku di rumah gak ada kerjaan, mending cari pengalaman baru jadi pelayan!” jawabku.
“Paling karena dikasih duit aja,” ledek Kak Ricko.
“Enak aja! Aku memang pengen liat bintang-bintang, kok!” seruku.
“Bohong, kali,” cibir Kak Ricko.
“Enggak!” teriakku di telinga Kak Ricko. Kak Ricko menutup telinganya, jadi teriakanku tidak berpengaruh sama sekali.
“Oke, karena kamu mau, aku juga mau, deh,” kata Kak Ricko sambil mengangkat bahunya.
“Jadi, kalian, mau?” tanya Mama yang dari tadi diam saja. Aku dan Kak Ricko mengangguk.
“Bagus, bagus kalau kalian mau. Besok, Tante jemput, ya!” kata Tante Dita.
“Jam berapa, Tan?” tanya Kak Ricko.