Aku Khanza Zahara, gadis yang bahagia. Aku bahagia punya keluarga dan sahabat-sahabat yang hebat. Dan aku yakin, mereka tidak kalah bahagianya memiliki aku yang hebat juga, ucap gadis bernama Khanza dalam hati.
Sambil terus melangkahkan kaki, Khanza mengulang kalimat yang sering diucapkannya dalam hati.
Aku senang menjadi diri sendiri. Aku merasa berbeda dengan orang biasa. Aku merasa unik, lanjut Khanza sambil menyeringai. Bagaimana tidak unik? Aku bisa melakukan banyak hal yang orang biasa tidak bisa. Banyak yang bilang, aku multi-talenta. Kurasa memang begitulah.
Khanza berbelok arah ke kiri. Berjalan menuju rumah temannya.
Sosialisasiku dengan lingkungan juga sangat baik. Aku punya banyak teman, bahkan tidak punya seorang pun musuh. Aku dahulu selalu merasa kasihan pada orang yang kehidupannya jauh di bawah kehidupanku. Hidup ini terasa tidak adil. Tapi akhirakhir ini aku baru menyadari, bahwa mereka bisa saja terlepas dari kehidupan itu kalau mereka berusaha. Menurutku, apa yang mereka dapat hari ini adalah hasil dari apa yang mereka lakukan sebelumnya. Aku juga bisa mendapat semua yang aku mau karena berusaha, ucap Khanza dalam hati.
Beberapa detik kemudian, langkah Khanza terhenti. Dia sudah sampai. Gadis itu menekan bel dan beberapa detik kemudian, pemilik rumah muncul.
“Ah, kamu sudah datang, Khanz,” ujar gadis berambut ikal-panjang setelah membuka pintu. “Ayo, masuk.”
“Iya,” jawab Khanza. “Yang lain sudah datang, ya?”
“Iya, mereka sedang mengobrol di kamarku.”
“Rumahmu sepi sekali, Erica ...,” komentar Khanza.
“Orangtuaku sedang pergi,” jawab gadis bernama Erica.
Khanza hanya menjawab, “Oh ....”
“Hai,” sapa Khanza ketika masuk ke kamar Erica.
“Hai, Khanz,” jawab Verra dan Ninda serempak.
“Kalian sedang membicarakan apa?” tanya Khanza sambil menghampiri.
“Rencana kegiatan liburan,” jawab Ninda.
“Hmmm, coba kita buat daftar pilihannya,” ujar Khanza, lalu mengeluarkan selembar kertas dan sebuah pulpen.
“Apa usul kalian?” tanya Khanza.
“Kita shopping ke mal saja,” jawab Ninda.
“Aku setuju. Tapi, aku lebih setuju ke Dufan, bagaimana?” tawar Erica.
“Bagaimana kalau kita ke Universal Studio Singapore saja?” tanya Khanza.
Ketiga teman Khanza berpandangan, lalu menghela napas.
“Kamu sudah sering ke sana, apa tidak bosan?” tanya Erica.
“Tidak. Tidak pernah bosan. Tempatnya asyiiik banget. Kalian juga harus ke sana! Tanteku mengajakku ke sana lagi, liburan kali ini. Kalian, kan, bisa ikut.”
Ketiga temannya menghela napas untuk kedua kalinya.
“Kenapa kalian diam?” tanya Khanza beberapa detik kemudian.
“Ah, tidak. Oke, jadi keputusannya acara utama liburan kita adalah ke Dufan,” ujar Verra.
“Eh, ke Dufan? Bukan ke Universal Studio Singapore?”
“Mau, jika kamu membiayai seluruhnya,” jawab Verra dengan ekspresi tidak suka, tapi Khanza tidak memperhatikan.
Khanza mengalah, dia menulis Dufan di selembar kertas itu, meski hatinya mengeluh. “Lalu, ke mana?” “Untuk saat ini, itu dulu saja. Nanti, dipikirkan lagi,” jawab Verra.
Beberapa saat kemudian, pikiran Khanza teralihkan. Tidak biasanya, mereka tidak menyinggung tentang peringkat kelas. Apalagi, mengucapkan selamat pada sahabatnya yang meraih juara pertama ini.
“Oya, semester kali ini, kamu dapat peringkat berapa, Erica?” tanya Khanza membuka topik lain sambil berharap sahabat-sahabatnya ingat.
“Peringkat keenam. Menurun satu tingkat.”
“Kalau kalian?” Khanza melempar pertanyaan yang sama pada Verra dan Ninda.
“Tidak dapat peringkat,” jawab Ninda dan Verra pelan.
Khanza hanya mengangguk. Menunggu ketiga sahabatnya mengucap kalimat “itu”.
“Peringkat keduanya Reza, ya? Dia cukup hebat bisa mengalahkan posisi Fina,” ucap Khanza, tetap berusaha memancing ucapan selamat dari mereka.