Hoaaahm ....” Suara orang menguap terdengar di tengah persidangan MKUT (Masalah Kado Ulang Tahun) dengan terdakwa Hana Alisanwe.
Hana menguap sambil mengucek-ngucek matanya yang biru. Rambutnya yang hitam panjang, sesekali dia kibaskan karena sudah sangat bosan.
“Kalau hadiahnya biola, gimana?” usul Ibu. Hana menggeleng. Second opinion diluncurkan oleh Ayah. “Jangan biola,
kan, dia sudah punya satu di kamar. Seruling saja.” Hana menggeleng lagi. Gabriela, adik Hana, mendengus kesal.
“Setiap kali Kak Hana ulang tahun, semua orang ribut dan repot. Tapi, kalau ulang tahunku sepertinya biasa saja,” ucap Gabriela sambil cemberut.
Last opinion diluncurkan oleh seseorang yang paling Hana sayangi. Sosok paling cool di keluarga, her brother, Tiko.
“Piano saja, Kak,” ucap Tiko singkat, padat, dan jelas.
Senyum Hana langsung merekah. Matanya memancarkan seberkas cahaya berkilauan.
“Aha! Iya, aku ingin itu!”
Ayah menyodorkan dua puluh lembar uang seratus ribuan kepada Ibu. Beliau langsung pamit dan masuk ke mobil. Hana mengikutinya. Gabriela melihatnya dengan tatapan tajam, seolah-olah akan ada yang mengikuti Hana selama perjalannya mencari piano.
Entah apa yang terjadi dengan dirinya. Setelah melihat Gabriela, Hana melihat seorang anak perempuan menggunakan baju lengan panjang dengan rok selutut. Pakaian anak perempuan itu seperti pianis cilik. Mukanya sangat pucat seperti mayat. Anak itu hanya menunduk. Hana memalingkan wajah karena takut, tetapi ketika melihatnya lagi ....
“Hah? Tidak ada orang!”
Ibu yang sudah menemukan kunci mobil dari dalam tasnya, langsung tancap gas mengemudikan mobil. Rasa aman pun dirasakan Hana. Tapi, Hana masih bertanya-tanya tentang anak perempuan tadi. Apa dia temannya Gabriela? Tapi, mana mungkin! Apa itu hantu? Aaah ... enggak usah mikir yang macam-macam, deh! Tetapi, Hana merasa kenal dengan anak itu. Di mana, ya?
***
TRING! TRING! TRING!
Lonceng toko alat musik berbunyi ketika Hana dan Ibu membuka pintu. Suasana toko lumayan sepi. Ya, ada empat orang pembeli. Ditambah bunyi lonceng tadi membuat ngeri. Ibu masih berdiri di samping Hana. Tiba-tiba, mata Hana terasa sakit. Dia melihat keadaan toko, bukan seperti toko yang sedang dikunjunginya.
Mengapa berbeda? Bukankah tadi di toko ini hanya ada aku, Ibu, penjaga toko, dan empat orang pembeli? pikir Hana dalam hati.
Hana menoleh ke samping. Ibunya menghilang. Tanpa basa-basi lagi, dia berlari keluar toko. Tiba-tiba ....
BRAK!
“Aaaw ...!”
Seorang anak perempuan seusia Hana menabraknya. Hana mengusap-usap kepalanya yang sakit dengan tangan kiri, seraya mengulurkan tangan kanannya, “Maaf, ya.”