Jam menunjukkan pukul tujuh kurang lima menit saat aku memasuki gerbang sekolah. Bangunan kukuh berwarna putih pucat yang aku lewati, terlihat sepi dan sunyi. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di sini. Bahkan, langkah kakiku terdengar jelas.
Aku menoleh ke sana kemari untuk mencari seseorang. Aku curiga sekolah sebenarnya libur. Namun, dari kejauhan kulihat dua orang murid kelas satu berjalan tergesa-gesa sambil menitikkan air mata. Apa yang terjadi?
“Hei, kalian kenapa? Ke mana orang-orang?” tanyaku menghampiri.
“Di arena berenang, Kak,” jawab mereka.
Aku mengerutkan dahi. “Ada apa di sana?”
“Lebih baik Kakak melihat sendiri,” jawab salah satunya seraya pergi meninggalkanku.
Apa yang terjadi di arena berenang? Mengapa mereka menangis?
Sesampainya di arena berenang, kulihat seluruh murid Phoenix High School mengerubungi salah satu kolam. Suasana tampak mencekam. Hampir seluruh murid menangis, bahkan ada yang histeris. Perasaanku tidak enak.
“Jillian!” panggil seseorang.
Aku menoleh ke arah lain. Kulihat Audrey, Evan, dan Oscar datang menghampiriku. “Apa yang terjadi?” tanyaku. Audrey menggandeng tanganku, lalu membawaku ke sisi kolam yang sepi. “Madison bunuh diri,” jawab Audrey.
Audrey adalah sahabat sekaligus teman sebangkuku. Dia berkulit hitam manis dan berambut keriting. Dia sangat pintar dan juga lincah.
Aku syok melihat pemandangan di hadapanku. Pada kolam berukuran 30 meter × 12 meter, dengan kedalaman 4 meter, mengambang sosok Madison, lengkap dengan seragam sekolahnya. Wajahnya sangat pucat. Air kolam renang mulai kemerahan. Mungkin dia melukai dirinya sendiri sebelum masuk ke dalam kolam.
Aku menghela napas panjang. “Astaga,” gumamku tidak percaya.
Madison adalah murid kelas satu dengan reputasi “kuper”. Dia tidak jelek ataupun cantik, biasa saja. Dia tersisihkan di bangku meja makan kantin. Dia tidak pernah menampakkan diri di mana pun kecuali di kelasnya. Setahuku, dia tidak mempunyai teman.
“Tadinya, kupikir sekolah libur mendadak,” sahut Oscar pelan. Aku mengangguk setuju. Oscar sahabatku juga. Berkawat gigi dan berambut cepak, Oscar orangnya humoris, tetapi bukan berarti dia tidak bisa serius. Ideidenya terkadang brilian.
“Ini adalah kejadian ketiga di sekolah ini, dengan kasus yang serupa,” kata Evan, sahabatku sekaligus leader di antara kami. Evan cool, berkacamata, dan genius. Di antara kami berempat, kurasa dia yang paling sempurna.
Aku menatap Evan. “Ketiga? Kasus yang sama?”
Evan tidak menjawab, dia malah berbalik, pergi meninggalkan kolam yang semakin lama semakin ramai. Aku, Audrey, dan Oscar mengikuti Evan di belakang. Begitu kami pergi, wartawan dari media cetak dan televisi lokal berdatangan satu per satu.
Kami tiba di kantin, memesan makaroni panggang dan teh apel. Kami pun duduk di meja bundar dekat kedai kopi. Tentu saja kantin masih sepi.
Sebenarnya, kami tidak menyukai kantin. Meja-meja dikelompokkan berdasarkan strata sosial. Murid-murid petinggi ekskul dan populer duduk di meja-meja besar di tengah kantin. Sisanya, duduk di meja sekelilingnya.
Sementara murid-murid yang kurang pergaulan dan tampak tidak berguna duduk di pojokan kantin yang sedikit kotor. Tega sekali. Kalau seandainya sistem ini dihapus, aku akan sangat senang. Kami sendiri termasuk golongan murid-murid “sisanya”.
“Ceritakan padaku tentang ketiga kasus serupa itu, Evan!” pinta Oscar.
Evan mengangguk. “Aku dapat cerita ini dari kakakku, Cassandra. Dia alumni sekolah ini. Kasus pertama terjadi sekitar tujuh tahun lalu. Katanya ada murid kelas tiga, namanya Megan, bunuh diri di gudang dekat tangga.”
Evan menghela napas sejenak, lalu melanjutkan, “Megan menusuk lehernya sendiri dengan pisau. Beritanya jadi trending topic selama seminggu di televisi lokal kota Phoenix. Waktu itu, kakakku belum sekolah di sini. Kami masih tinggal di New Jersey.”
“Lalu?” tanyaku.
“Kasus kedua terjadi empat tahun lalu. Kakakku sudah menjadi murid di sekolah ini. Ada murid kelas dua bernama Rachel, gantung diri di ruang Bahasa Jerman. Makanya, ruang Bahasa Jerman sekarang dialihfungsikan menjadi gudang. Saat itu, semua orang di sekolah sepakat untuk menyembunyikan kisah ini dari publik, sehingga tidak banyak orang luar yang tahu,” lanjut Evan.
Aku, yang tengah melahap makaroni panggang dengan keju mozarela meleleh di atasnya, sempat berhenti karena terpana.
“Dan, kasus yang ketiga adalah sekarang? Madison?” tanya Oscar.