Afri membasuh seragamnya dengan pasrah, saat sadar saus tomat bekas praktik memasak masih saja menempel di bajunya. Tanpa sengaja jarinya yang luka menyenggol keran ketika akan mematikan aliran air.
Afri merasakan nyeri luar biasa pada telunjuknya yang tertutup plester, namun mimik wajahnya sama sekali tidak berubah. Tidak tampak meringis ataupun kesakitan. Mungkin karena sudah banyak luka lebih serius pernah dialaminya ketimbang goresan kecil pada telunjuknya. Praktik memasak adalah pelajaran terakhir dalam jadwal kelas Afri. Saat ini, sekolah sudah semakin sepi, hampir menyisakan beberapa siswa yang menunggu jemputan. Waktu Afri sudah banyak terbuang karena harus pergi ke UKS mengobati tangannya yang luka, juga membersihkan bajunya yang ternoda. Bibirnya melukiskan senyum miris. Noda saus tomat yang disemprotkan teman sekelasnya―ah, bukan, dia tak pernah punya teman― masih membekas. Juga, luka yang tentu saja sengaja dialamatkan kepadanya. Untung saja dia mampu menghindarkannya dari bagian yang vital.
Apa ada yang lebih buruk dari itu?
Siswa bertubuh mungil itu membuka tasnya, bermaksud mencari saputangan untuk mengelap tangannya yang basah. Refleks, mulutnya terbuka begitu mendapati saputangan hadiah dari ibunya setahun lalu, sudah tercabik-cabik tak berbentuk. Kotor penuh debu dan jejak sepatu membekas di atasnya. Rajutan tangan ibunya yang membentuk nama “Afri” sudah tak dapat dia kenali lagi.
Tidak lama kemudian, tangan Afri yang masih basah sekali lagi membuka keran air. Dia membersihkan saputangan itu sekenanya.
Kenapa? Kenapa ini terjadi padaku? Apa salahku?
Afri memperhatikan permukaan air danau yang tenang. Ikan-ikan yang berenang riang di sana setidaknya bisa sedikit menghibur. Ya, dia memang selalu mengunjungi taman ini sepulang sekolah. Hanya membutuhkan waktu tujuh menit berjalan kaki dari sekolahnya. Banyak bangku berderek di bawah pohon rindang yang dapat digunakannya untuk melepas penat.
Satu-satunya tempat yang bisa menghibur hatinya dan melepaskan diri dari pikiran temanteman―ah, mereka bukan teman―yang menindasnya.
Saking seringnya mengunjungi tempat itu, Afri sudah hafal semua pengunjung yang biasanya berada di taman tersebut. Segerombolan anak perempuan bermain skipping, seorang ibu dengan bayi perempuan dalam kereta dorong, kakek tua yang mengajak jalanjalan anjingnya, serta sekumpulan anak laki-laki yang bermain card game penuh semangat.
“Aku menyerang dengan Sacred Knight!” “Lihat saja, aku takkan kalah! Kali ini giliranku!
Kuaktifkan counter-blast milik Dragon Crusher!”
“Kamu masih memiliki kartu kuat yang tersisa?!”
“Hahaha!”
Teriakan semangat anak-anak yang bermain card game itu terdengar jelas di telinga Afri. Jujur saja, dia merasa iri. Iri pada segala kesenangan mereka. Iri pada card game seru―sebenarnya Afri tak mengerti, tetapi sepertinya terlihat seru― yang mereka mainkan. Iri pada tawa tanpa beban yang mereka luncurkan. Iri pada ikatan pertemanan mereka.
Afri iri pada semua yang mereka miliki.
Dari dulu, Afri selalu menjadi korban penindasan anak-anak jail di sekolahnya. Tubuhnya yang mungil dan fisiknya yang lemah membuat mereka ketagihan melakukannya. Ancaman mereka sanggup membuat Afri membungkam mulut untuk melapor atau meminta bantuan. Afri terlalu takut untuk melawan, dia khawatir perlakuan yang akan diterimanya semakin membuat sulit. Karenanya dia hanya bisa diam dan menerima setiap perlakuan anak-anak itu tanpa melawan. Berusaha mengabaikannya dan bersikap seolah tidak terganggu, padahal perlakuan mereka sangat menyiksanya. Pilihan lain yakin mengasingkan diri dari semuanya, seakanakan terjebak dalam dunia kecil nan sempit ciptaan sendiri.
“Hai, apa aku melakukan kesalahan? Kesalahan yang membuatku selalu tersiksa seperti ini? Kenapa ini terjadi padaku? Apa salahku?”
Rentetan pertanyaan itu meluncur pelan lewat bibirnya. Hatinya terasa sakit, sehingga membuatnya ingin menangis. Salah satu sudut di hatinya berkata dia tak boleh cengeng. Pada sudut lain hatinya dia diingatkan menangis adalah bukti kekalahan, jadi dia tak boleh menangis.
Tidak lama kemudian, dia tersenyum sarkastis. Jawabannya sederhana, dia tidak menangis karena tidak perlu menangis. Menangis terlalu membuatnya lelah. Hanya membuang waktu dan energinya. Selama ini air matanya sudah banyak terkuras, dan Afri merasa tidak perlu menumpahkannya lagi.
“Aku membenci dunia ini.”
Dunia yang tidak adil, si Kuat menguasai yang lemah … dunia yang hanya mementingkan kekuatan dan posisi, menyebabkannya tersakiti padahal tidak melakukan kesalahan apa pun. Dunia seperti itu sebaiknya hancur saja dan tidak pernah ada!
Deg!
Cahaya yang menyilaukan datang entah dari mana, Afri memejamkan matanya sambil berteriak tertahan. Hanya beberapa saat sampai cahaya itu perlahan menghilang.