Ketika musnah adalah akhir derita Ketika cinta itu tajam laksana pedang panas Diriku hanya tersenyum Bila dunia ini hanya satu, maka sungguh bodohnya aku Bila dunia ini tidak ada, mengapa aku ada Setiap napasmu dan tangismu adalah racun yang akan membunuh jiwaku Karena aku tahu, banyak manusia bodoh di luar sana Mereka hanya mengutamakan otak tak pernah menggunakan hati Bila akhir itu sampai apakah air mata akan berhenti?
Rintik hujan membasahi Kota Lawang, Jawa Timur. Pasar Lawang tetap ramai oleh pedagang. Seorang gadis menyeberangi jalan. Dia masih duduk di kelas 2 SMA Negeri Lawang. Lily Jasmine namanya. Tidak ada yang istimewa darinya, selain mata birukristal. Seragam putihnya basah oleh hujan. Lily anak seorang pembantu. Wajahnya jelita dan rambutnya bergelombang.
Gadis itu hendak pulang menuju rumah majikannya. Tempat dia tinggal bersama ibunya. Dia harus menaiki ojek sampai Desa Slondet. Desa yang amat kaya dengan sengon lautnya. Namun, tetap saja tidak dikenal, lantaran wilayahnya kecil. Desa subur itu, penduduknya banyak yang bekerja sampai mancanegara.
Bukit-bukit terlihat indah di bawah rintik hujan dan kabut tipis. Desa Slondet hanya dihuni 61 penduduk. Ada satu rumah besar yang memiliki taman sesat yang biasa disebut labirin. Penghuni rumah besar itu memiliki sepasang mata berwarna hijau bening. Mereka adalah keluarga yang datang entah dari mana. Keluarga Wolladts, nama yang aneh untuk ukuran orang Indonesia “Ini, Pak,” ujar Lily sembari menyerahkan uang 5.000 rupiah kepada tukang ojek. “Makasih, Mbak.” Angin berembus. Lily berjalan menuju rumah besar tadi. Tanpa ragu, dia membuka pintu gerbang kediaman keluarga Wolladts, lalu meneruskan langkah dengan tenang dan duduk di teras rumah. Dia tidak langsung memasuki rumah. Ibunya bernama Katen, sudah hidup sendiri sejak Lily masih bayi.
“Sudah pulang, Nduk?” tanya Bu Katen.
“Iya, Bu. Tadi, ada jam kosong saat terakhir pelajaran.”
“Keluarga Wolladts mana?“ Gadis itu mendongakdongakkan kepala.
“Mereka pergi ke Surabaya mengunjungi pabrik, kecuali Faris. Dia sedang main PS di dalam.” Bu Katen sudah lama menjadi pembantu keluarga Wolladts. Beliau berasal dari Kota Bangil, Pasuruan.
Mendengar nama Faris, Lily tersenyum karena mereka sudah dekat, seperti saudara. Keluarga Wolladts terdiri atas empat orang. Tuan Zoya Wolladts, kepala keluarga yang tampan, jangkung, dan cerdas. Orangnya sabar dan baik, amat dekat dengan anak-anak, bijaksana, dan berwibawa. Nyonya Irina Wolladts adalah istri Tuan Zoya. Orangnya amat disiplin, tegas, dan pintar. Setiap yang diucapkannya selalu menyentuh hati. Saat marah tidak ditampakkan, tapi kata-katanya menyayat hati.
Anak pertama Tuan dan Nyonya Wolladts bernama Zafrina. Seorang gadis pendiam, tetapi agresif. Tidak begitu pintar seperti orangtuanya, tapi memiliki kelebihan bahasa. Kini, dia kuliah di Universitas Udayana Bali. Zafrina hanya pulang ketika liburan.
Anak kedua di keluarga Wolladts bernama Faris. Anak bungsu itu amat cerdas dan menyukai hal-hal baru. Satu hal yang tidak boleh dilupakan tentang keluarga Wolladts, mereka memiliki mata hijau bening. Keluarga Wolladts memang dianggap aneh oleh masyarakat sekitar. Jarang ada yang berani berkunjung ke rumah mereka.
Rumah besar berwarna putih itu memiliki labirin besar di dalamnya. Sayangnya, Tuan Zoya membuat aturan, siapa pun dilarang memasuki labirin tersebut. Inilah yang selalu membuat Lily bertanya-tanya. Sejak pertama kali tinggal di sini, Lily merasakan kebaikan hati keluarga Wolladts, namun mengapa dilarang masuk labirin?
Hal lain yang berkecamuk di hati Lily, mengapa mata keluarga Wolladts berwarna hijau bening? Padahal, mereka mengaku berkebangsaan Indonesia tulen. Misteri yang perlu diungkap kebenarannya.
Lily merasa hidup dalam keanehan. Mengapa dia memiliki mata biru kristal, sementara ibunya bermata cokelat seperti penduduk Indonesia pada umumnya. Hal itu pernah ditanyakan Lily dan Ibu hanya menjawab, “Entah bagaimana kamu seperti itu, yang jelas kamu putri kandungku.” Setiap senti otak Lily tidak pernah berhenti bertanya.