Yang kutahu, aku tidak lahir seperti ini. Ketika aku masih kecil—maksudku, kecil sekali, sebelum aku lima tahun—duniaku sama seperti dunia anak kecil lain. Cepat berakhir, sepertinya matahari terbit pada suatu waktu dan terbenam pada jam berikutnya. Rumah-rumah besarnya seperti istana, isinya tinggi-tinggi seperti gunung, dan orang-orang dewasa tampak seperti raksasa. Di luar rumah, semuanya taman bermain; anjing orang itu adalah kuda-kudaan, tong sampah itu kendaraan ajaib, tiang listrik itu untuk dipanjat. Setiap hari, ada saja yang baru: hujan badai—keren habis!—atau angin puyuh, pelangi atau salju, daun-daun di pohon tiba-tiba ganti baju. Setiap hari seperti suplai gula-gula kapas dan permen karamel tanpa batas dan berkendara ke langit, melompati awan-awan dan menelusuri hujan di punggung unicorn warna pink.
Semuanya berakhir pada suatu liburan musim panas ketika aku berusia lima tahun. Ayah mendapat cuti dan berencana membawa kami ke danau, menginap di kabin Paman Ben selama empat hari. Bisa kamu bayangkan, betapa senangnya seorang anak kecil berusia lima tahun: danau, kabin, dan kota lain—itu kurang lebih seperti berwisata ke Jupiter! Aku terusmenerus bertanya kepada Ibu yang sedang menyusun barangbarangku di dalam tas berwarna pink dengan gambar peri norak di depannya, hadiah ulang tahunku yang kelima dari Bibi Bess. Seperti apa kabinnya? Seluas apa danaunya? Apakah Paman Ben akan bersama kita di kabin, sementara kita tinggal di sana? Siapa yang akan masak? Apakah ada supermarket di dekat sana? Apakah ada anak-anak lain di sekitar sana?
Ibu hanya menjawab dengan sabar saja ketika aku menyerocos dan menghunjamnya dengan ribuan pertanyaan. Aku tidak mau diam, bahkan ketika aku diantarnya tidur pada malam hari, ketika dia memakaikan kaus kakiku dan menyelimutiku. Aku juga tidak diam ketika Ayah dan Ibu meletakkan barang-barang kami di bagasi mobil keesokan harinya—alat pancing Ayah, tikar, dan keranjang. Aku juga tidak diam ketika kami berkendara. Aku terus bertanya sampai tenggorokanku kering dan akhirnya aku capek bertanya. Aku bisa mendengar Ibu mendesah lega ketika rentetan pertanyaanku berhenti dan aku duduk dengan tenang di jok belakang, bermain dengan boneka beruangku. Aku punya boneka beruang dengan bulu lembut berwarna cokelat muda. Namanya Cornstarch. Dan entah kenapa, aku selalu membayangkannya sebagai bapak-bapak berusia 72 tahun dari Inggris yang sombong. Ia bahkan punya gelar bangsawan; Earl. Ia dipanggil Earl Cornstarch atau Lord Cornstarch. Karena katanya, gelar bangsawan Earl tidak dipakai lagi sejak 1802. Tapi, ia rendah hati. “Kamu boleh memanggilku ‘Sir’,” katanya setiap kali berkenalan dengan orang.
Aku memainkan Sir Cornstarch selama beberapa saat, kemudian memutuskan bahwa ia perlu buang air. Aku berdiri, berpegangan pada sandaran kepala Ayah dan Ibu, lalu berkata, “Mister Cornstarch mau pipis.”
Ibu tertawa terbahak-bahak mendengarnya. “Mister Cornstarch bisa buang air sendiri, Sayang.”
“Tapi, ia tidak berani pipis dalam mobil. Mister Cornstarch minta kita menepi,” kataku keras kepala.
Ibu membuka mulutnya, sudah hampir menjawab, tapi truk besar melaju dari arah berlawanan dan tibatiba bergerak ke jalur kami. Ayah memutar setirnya, tetapi truk itu meluncur dengan cepat. Bagian depannya tampak seperti gigi hiu—meskipun aku tidak yakin seperti gigi hiu—dan tampak semakin dekat, semakin dekat. Yang keluar dari mulut Ibu bukan lagi jawaban, tapi jeritan.
Kemudian gelap.
***
Begitu terbangun, aku langsung tahu, aku ada di rumah sakit. Aku pernah ke rumah sakit satu kali ketika Bibiku keracunan makanan. Warnanya putih, semuanya putih, dan baunya tidak enak. Anehnya, ketika itu, rumah sakit tidak berwarna putih; warnanya hitam, hitam legam. Malah, tidak ada apa pun yang terlihat. Mungkin, orang-orang lupa menghidupkan lampu? Atau listrik mereka diputus karena mereka tidak bayar tagihan? Kalau bukan karena bau rumah sakit yang menyengat, dan kalau bukan karena suara lembut seorang wanita yang memberitahuku aku sedang berada di rumah sakit, aku tidak akan tahu aku ada di rumah sakit.