"Wah, akhirnya selesai juga!” ucapku penuh syukur sambil menatap langit-langit kelas. Ternyata tugas membuat cerpen dengan tema fantasi bisa selesai juga. Mulanya, aku bingung karena selama ini keasyikan bikin cerita fiksi sehari-hari. Jarang banget mengkhayal fantasi semacam Harry Potter. Karena sudah deal sama editor majalah mingguan temannya Papa untuk mengisi bagian cerita bersambung, mau tidak mau aku harus mencoba sesuatu yang baru. Lagian, susah juga kalau mau mundur.
Ceritanya, sih, biasa saja, tentang anak SD yang baru lulus dan bingung memilih SMP. Dia diundang sebuah sekolah ajaib. Mulanya, anak itu bingung bagaimana caranya sampai ke sekolah. Di dalam surat hanya disebutkan sekolah itu berada di kaki kepala anak itu sendiri. Setelah berkonsultasi dengan ayahnya, barulah dia tahu bahwa cara pergi ke sekolah hanya dengan mengetukkan mata pena tiga kali di atas kertas. Dan, cerita pun bersambung untuk minggu depan.
Cerita itu berdasar khayalan sendiri dan aku berharap bisa jadi kenyataan. Apanya? Ya, sekolahnya. Dalam khayalanku sekolah itu keren banget. Tidak ada pelajaran Kesenian, Batik, IPS, Matematika, dan lain-lain. Sesuai banget sama aku yang tidak suka pelajaran lain, kecuali mengarang. Bahkan, aku tidak suka membuat karya tulis yang berdasar fakta.
Mungkin ini sesuai dengan kepribadianku yang pintar mengarang alasan. Sejak usia tiga tahun, aku sudah pernah mengarang cerita tentang monster senja yang suka menangkap anak-anak yang masih bermain-main di luar rumah. Kuceritakan pada teman-teman dan aku sukses membuat mereka ketakutan. Hahaha ....
Buat minggu depan dikerjain besok-besok. Entar waktu ditagih baru bikin, pikirku nakal. Selanjutnya, aku habiskan waktu dengan browsing internet. Tiba-tiba, aku melihat derap kaki yang buru-buru. Tapi aku tahu, kalau itu bukan buru-buru, tapi langkah ceria Si Anggrek yang bisa dibilang ceroboh. Soalnya, aku bisa mendengar suara kucing menggeram marah. Mungkin ekornya terinjak dengan tidak sengaja atau ditendang. Mengerikan.
“Halo, Raja, awww ...,” sapanya ceroboh. Ya, lagi-lagi dia bertingkah asal dan menabrak kursi.
“Halo juga. Tumben sekolah,” jawabku tidak semangat. Tidak pernah sekalipun aku mengharapkan kedatangan anak ceroboh ini.
“Ada beberapa persyaratan masuk SMP yang harus dipenuhi dengan cap dari sekolah. Sayangnya, aku lupa bawa kertas yang mau dicap tadi,” curhat-nya.
Aku diam saja. Antara dengar dan tidak.
“By the way, kamu ngapain di sini?” tanya Anggrek heran. “Perasaan, kemarin kamu teriak di depan anak-anak sekelas tidak akan pernah lagi ke sekolah?” tanya Anggrek mengusikku.
Ups, ketahuan.
“Bosan di rumah.”
“Kupikir, kamu lebih cinta rumah daripada sekolah.”
“Berisik, ah.”
“Aku tahu! Orangtuamu bertengkar lagi, kan,” tebak Anggrek polos.
Aku berpaling melihat ke luar jendela dan membuat Anggrek merasa bersalah karena menyebutkan hal itu.
“Maaf, tidak akan kukatakan lagi. Oh, ya, kamu udah lihat e-mail? Aku kirim cerpenku, minta koreksi. Kukirim tadi malam. Kupikir, kamu rajin buka e-mail, jadinya tidak aku SMS.”
“Oh, ya? Aku enggak buka e-mail semalam, kecapaian. Jadi, enggak sempat,” ujarku lelah.
“Ya, kalau begitu buka saja sekarang. Sekolah kita, kan, ada Wi-Fi-nya,” kata Anggrek sambil membuka buku Lost In Japan, buku panduan jalan-jalan ke Jepang. Dia memang sangat tertarik mengunjungi Negara Sakura. Daripada buka Facebook atau Twitter atau Friendster enggak jelas, lebih baik buka e-mail, lalu melihat cerpen Anggrek. Hm, banyak juga inbox yang masuk. E-mail teratas dari editor majalah mingguan itu. Dia memintaku segera mengirim cerpen tema fantasi. Ups, sudah ditagih.
Oke, akan kukirim sekarang.