Berlari. Berlari. Terus berlari menjauh. Jarak mereka sudah sangat dekat. Bola-bola putih itu mengejar mangsanya yang bertubuh sedang. Mangsa tersebut berlari dengan kencang dengan napas naik-turun cepat. Dia tidak ingin tertangkap. Dia tidak ingin berakhir mengenaskan. Sosok itu, berjaket merah, terus berlari tanpa henti.
Langit hitam di atas kepalanya beranjak terang. Pemuda berambut hitam berkilau itu terus berlari. Tidak mau melihat ke belakang. Di arah matahari terbit yang dia tuju, berdiri sebuah komidi putar yang dikelilingi pagar besi dan berada di tengah hamparan rumput hijau. Komidi putar itu tidak besar dan tidak pula kecil.
“Hampir sampai. Hampir sampai ...,” ucapnya.
Tangannya terangkat ke depan, berusaha meraih besi pagar pembatas di depan matanya yang kecokelatan. Tapi, nasib berkata lain. Saat hampir menyentuh besi tersebut, pemuda itu terjatuh. Dia menyandung sesuatu.
Diarahkan matanya pada benda yang dia sandung. Ternyata, itu bukan benda, melainkan tangan tengkorak yang keluar dari dalam tanah.
“Khuhuhu ...,” tawa seperti rintihan terdengar mendekatinya.
Pemuda itu panik. Dia memandang ke arah sumber suara. Tangan-tangan tengkorak tampak keluar dari balik jubah putih panjang yang dikenakan makhluk yang mendekatinya. Pemuda yang tergeletak di tanah itu semakin panik. Akhirnya, dia tertangkap.
“Orang terakhir. Jadilah kamu kuda milikku seperti keempat temanmu dan kita akan memulai permainan ini. Hahaha ....” Suaranya sangat mengerikan. Membuat pemuda itu merinding ketakutan mendengarnya.
“Tidak. Aku tidak mau,” teriaknya.
Makhluk itu menerjang si Pemuda dengan keras. Dia masuk ke dalam tubuh pemuda melalui dadanya. Seolah ada celah menganga di sana.