Fantasteen Pandora

Mizan Publishing
Chapter #3

Penjaga Pandora

Ehm ...,” gumaman kecil keluar dari mulutnya. Perlahan Raze membuka mata. Kepalanya tersandar di kepala kuda putih yang dinaikinya. Pusing dan mual. Bagaimana tidak, dia diputar dengan cepat tanpa henti. Raze mencoba mengumpulkan dirinya yang terasa masih saja berputar. Dia menarik napas seraya mengangkat kepalanya yang berat. Mengangguk-angguk seperti orang mabuk. Raze turun dari kuda putih lalu berdiri di atas rumput. Dia masih berada di dalam pagar besi yang mengelilingi komidi putar. Pandangan matanya menyebar ke segala arah.

Wajah Raze berubah kaget seketika. Apa yang dia lihat sangat berbeda. Pohon, rumput, semak, bukit di kejauhan, semua serba-hijau dan asri. Raze membisu, saat menyadari dirinya berada di tengah padang rum-put yang dikelilingi hutan belantara. Sejauh mata memandang, tidak ada pemandangan lain selain hijau. Ditambah, matahari sudah terbit.

“Ini di mana?” tanyanya bingung, tapi tidak ada yang menjawab.

Semak-semak di hutan tampak bergerak-gerak. Di antara celahnya, tiga ekor kelinci abu-abu bermata merah melompat keluar, lalu berjalan di padang rumput dan mendekati komidi putar. Mereka berhenti di luar pagar besi.

Raze menekuk lutut dan merendahkan kepala agar bisa melihat kelinci-kelinci tadi, “Wah, lucunya.”

Kelinci-kelinci itu mengamati Raze. Bibir kecil mereka membuka dan membentuk senyum menyerupai seringai. Deretan gigi taring berbaris rapi di mulut mereka. Tatapan mereka menajam diikuti mulut yang menganga lebar.

Raze kaget bukan kepalang. Spontan, dia bangkit dan melangkah mundur menjauhi pagar besi. Kelinci yang paling depan menerjang pagar lalu dia terpental beberapa meter. Dua kelinci lain ikut menerjang, tapi hasilnya sama seperti kelinci sebelumnya. Tidak sampai di sana. Ketiga kelinci itu semakin liar dan lebih menyeramkan dari sebelumnya. Mereka menerjang pa-gar lalu terpental setelahnya.

“Apa-apaan ini?” Raze mulai merasakan takut.

“Kya ...!” teriak kelinci-kelinci itu kesakitan. Tibatiba, tubuh mereka diselimuti api putih membara. Mereka langsung lari tunggang-langgang meninggalkan komidi putar. Api putih yang menyelimuti juga menghilang setelah mereka masuk ke dalam hutan.

Napas Raze memburu. Akalnya hampir putus asa melihat apa yang terjadi. Kelinci-kelinci tadi bukan berasal dari tempat tinggalnya. Terlalu aneh dan berbahaya jika itu benar ada. Raze terduduk di rerumputan sambil mengembalikan tempo napasnya.

“Tadi itu benar-benar berbahaya. Tapi, kamu berada di dalam pagar, kamu akan baik-baik saja,” ucap seorang pemuda yang muncul tiba-tiba. Dia duduk di atas pagar besi. Tangan kanannya menenteng tongkat panjang berwarna emas. Sebuah bola api membara di ujung tongkatnya. Tapi, selang beberapa saat, api itu hilang.

“Si ... siapa kamu?” tanya Raze terbata-bata. Raze memandang ke arah wajah pemuda itu. Dia memakai jubah yang menyatu dengan warna putih pakaiannya. Mata kuning keemasan si Pemuda menatap tajam ke dirinya.

“Namaku Focalb. Penjaga dunia Pandora. Selamat datang, Raze!” ucapnya.

“Focalb? Pandora?” gumam Raze bingung. “Eh? Bagaimana kamu tahu namaku?”

“Raze Fialyra. Umur 16 tahun. Siswi SMA Pancadharma, kelas 2-A. Tinggi 164 cm dan berat 49 kg. Hobi memecahkan misteri. Kamu menyukai lagu dan pasti dapat menghafalnya dalam waktu singkat. Kamu juga menyukai teka-teki. Rasa penasaran yang besar membuatmu datang ke tempat ini.” Focalb berbicara panjang lebar tentang Raze, seolah pemuda itu telah lama mengenalnya.

Raze melongo dan mulutnya menganga lebar. Pemuda misterius itu tahu seluk-beluk dirinya, secara garis besar. “Bagaim—”

“Bagaimana aku bisa tahu tentangmu?” potong Focalb secepat kilat. “Sederhana. Kamu adalah Eksekutor ke-12.”

“Eksekutor?” Raze semakin tidak mengerti.

“Kamu adalah orang ke-12 yang terpilih untuk datang ke dunia ini. Tugasmu membebaskan Lima Jiwa yang terperangkap sebelum fajar esok hari. Jika tidak,” Focalb mengubah nada bicaranya menjadi lebih seram, “kamu akan dimangsa oleh dunia ini.”

Jantung Raze terasa mau copot saat itu juga. Pemuda tadi semakin membuatnya bingung dan takut. “Bohong. Ini pasti ulah usilmu dan Tia, kan? Kalian berdua bersekongkol untuk mengerjaiku, kan?”

“Tia? Siapa itu?” Focalb balik bertanya. “Lagi pula untuk apa aku berbohong kepadamu? Tidak ada untungnya bagiku.”

Lihat selengkapnya