Fantasteen Saving Ludo

Mizan Publishing
Chapter #2

Anak Domba

Kamu tahu … kadang-kadang kamu berdoa, dan .… Yah, Tuhan memang selalu mendengarkan. Tapi, yang mendengar bukan cuma Tuhan. Ada ‘sesuatu’ lain yang juga ikut mendengarmu.

Di tengah-tengah doamu yang paling putus asa, ‘dia’ akan mendengarkan.

Yang bisa kamu lakukan hanya menunggu, apakah Tuhan cukup cepat untuk menjawabmu … atau kamu bisa mendapati ‘dia’ memberimu jalan pintas lebih cepat sebelum Tuhan mengirimkan jawaban milik-Nya—dan, kamu tahu benar kadang-kadang pesan dari Tuhan sering pending.

Dan, asal tahu saja, ‘dia’ lebih jago membujuk daripada kurir Tuhan.

Kalau sudah begitu, berarti kamu benar-benar sial.

*

Anak itu mendongak.

Bangunan besar berbentuk kotak kaku itu masih saja berdiri di sana. Dan, warnanya juga masih saja putih. Seperti ada yang kurang kerjaan saja mengecatnya setiap hari. Padahal, biarkan saja kalau bangunan itu runtuh. Tidak akan ada yang kehilangan tempat itu juga, kan? Lagi pula, dengan begitu, Ludo bisa ke luar.

Setidaknya begitu yang ada di pikiran Theo. Dia sudah berkali-kali datang ke rumah sakit itu. Dan, setiap kali dia melihat bangunan raksasa tersebut, berbagai macam perasaan membeludak di dadanya. Kesal, sedih, marah …. Sudah berkali-kali tanpa sadar dia mencengkeram bunga yang dibawakan ibunya terlalu kuat, sehingga batangnya patah. Dia akan membuang segerombol peony jingga, atau mawar merah muda, atau segenggam bakung putih, ke dalam tong sampah kalau itu terjadi. Lalu, pura-pura datang tanpa membawa apa pun. Lagi pula, kalau dipikir-pikir, memangnya sahabatnya itu senang, apa, diberi bunga? Tidak ada laki-laki macho yang senang mendapat bunga.

Ludo sudah hampir delapan bulan berada di rumah sakit. Delapan bulan itu lebih dari setengah tahun, dan itu sama saja dengan seumur hidup bagi anak-anak seusianya. Theo tidak paham soal penyakit Ludo. Namun, orangtuanya pernah mencoba menjelaskan. Ada sesuatu di darah Ludo, atau sejenisnya seperti itu.

Penyakityanganeh.Bagaimanacaranyapenyakitbisamasuk ke dalam darah? Mungkin dokter-dokter itu cuma mengada-ada saja. Mungkin Ludo cuma membohongi mereka, supaya dia bisa bolos dari sekolah. Lumayan juga tuh, bolos delapan bulan. Kamu bisa main game sampai jamuran, dan menghindari orang-orang menyebalkan di sekolah.

Mungkin aku juga harus pura-pura sakit, pikirnya.

Theo sudah berkali-kali memikirkan hal itu, dan dia tidak pernah benar-benar yakin mengapa dia menginginkannya: agar dia bisa bolos sekolah, atau agar dia bisa menemani Ludo di rumah sakit sepanjang hari.

Theo memeluk kotak besar berwarna biru tua-putih di tangannya. Isinya berbatang-batang cokelat susu. Seperti biasa, setiap kunjungannya, Theo dan Ludo akan mencamil cokelat. Seperti yang selalu mereka lakukan kalau Ludo berkunjung ke rumah Theo. Hari ini, Theo membawa cokelat yang dia beli dengan uang tabungannya sendiri. Hasilnya, dia tidak membawa terlalu banyak, tetapi dia sangat bangga ketika melangkah masuk ke dalam rumah sakit.

Lagi pula, Ludo tidak bisa makan banyak cokelat lagi sekarang. Dia tidak bisa makan apa pun banyak-banyak sekarang. Kadang-kadang, dia bahkan tidak makan sama sekali. Namun itu bukan masalah. Cokelat batangan itu hanya membuat mereka berdua merasa di ‘rumah’.

Lihat selengkapnya