Fantasteen Saving Ludo

Mizan Publishing
Chapter #3

Anak Domba (2)

Si Kelinci mengulurkan sebelah tangannya kepada Theo, memberikan isyarat untuk mengikutinya. Dia berkata, dengan suara gusar, “Ayo, cepat! Kami tutup satu jam tujuh belas menit lagi.”

“Hah?” kata Theo, tidak mampu mengucapkan apa-apa. Belum sadar dari keterguncangannya, seperti tersihir, dia mengikuti Si Kelinci Putih yang berlenggak-lenggok sambil memberenguti jam sakunya.

Dia menyelinap masuk ke dalam gang sempit itu, mengantisipasi sampah dan kotoran yang bau. Namun mengejutkannya, gang itu tidak terasa sempit. Malah, sepertinya dua orang seperti dirinya bisa muat berjalan berdampingan di dalam situ. Dan, tidak ada bau sama sekali: hanya sedikit dingin dan lembap.

Gang itu terasa sangat panjang—ada beberapa kali belokan, padahal tadi Theo dapat melihat ujung lain gang itu dari tempat dia menendang kaleng, dan dia yakin benar tidak ada belokan di gang itu. Theo, berusaha tidak ketinggalan dari Si Kelinci, mempercepat langkahnya.

Akhirnya mereka tiba di ujung gang. Cahaya berwarna abu-abu kebiruan berpendar, tampak menyilaukan bagi mata Theo yang mulai terbiasa dengan kegelapan gang. Dia mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali, lalu memandang ke sekelilingnya.

Sekali lagi, Theo mengernyit heran. Warna langit petang di luar tadi tampak pucat lembut, dengan warna yang perlahanlahan mulai meredup. Namun tempat ini tampak seperti pagi hari ketika matahari baru saja sepenuhnya muncul.

“Ayo, cepat!” seru Si Kelinci dari kejauhan, menyadarkan Theo dari lamunannya. Kelinci itu sudah di ujung gang, tampak berlimpah cahaya yang membuat bulu putihnya berpendar terang. Theo berlari mengejar Si Kelinci, kemudian menemukan dirinya berhadapan dengan sebuah toko.

Toko kecil, toko biasa. Berada di antara toko daging dan toko roti yang sepertinya sudah tutup petang itu. Theo mencoba melihat ke dalamnya, tetapi entah mengapa dia tidak bisa melihat apa-apa dari balik jendela. Mungkin kanopi di atasnya membayangi sehingga jendela itu tampak lebih gelap, atau mungkin ada kerai di dalamnya.

Di atas pintu toko ada papan nama. Namun yang tertulis di sana cuma ‘TOKO’ dalam ukiran rapi yang melintangi papan kayu mahogani. Di jendelanya, dia bisa melihat sedikit stiker yang membentuk kata-kata, tetapi huruf-hurufnya sudah mengelupas hingga sulit diketahui apa yang dulu tertulis di sana.

Kelinci berpakaian rapi itu melompati undakan tangga dan mendorong pintu kayu berpelitur. Theo mengikutinya masuk ke dalam toko.

Toko itu gelap. Ada banyak bola lampu mungil yang bergelantungan di langit-langitnya, tetapi cahayanya redup, berwarna keemasan, dan tidak cukup menerangi seisi toko, meskipun ruangannya kecil. Dari dalam, Theo bisa melihat ke luar melalui jendela—jalanan sepi, tidak ada orang sama sekali, bahkan tidak ada serangga, kucing, ataupun daun .… Tidak ada kerai yang menutupinya.

Ada deretan lemari berisi kotak-kotak karton besar dan stoples-stoples. Di sisi lain, ada jam-jam besar dengan bandul raksasa dan telepon antik, mesin tik dan telegram, dan lain-lain. Ada etalase-etalase berisi berbagai jenis perhiasan kuno, kacamata gaya lama, model pistol ala Rusia, dan porselenporselen Tiongkok.

Mungkin semua barang yang berdesak-desakan ini yang membuat cahaya terhalang. Dengan hati-hati, Theo mendekati salah satu barangnya—neraca kuningan berkarat yang dipenuhi ukiran berdebu tebal. Theo menduga ini adalah toko barangbarang antik.

“Ada yang bisa saya bantu?” Terdengar suara dari sampingnya.

Theo menggeleng sambil memutar tubuhnya ke arah suara yang menyapa dirinya tadi. “Maaf, aku enggak tertarik dengan .…”

Theo menjerit keras. Dari balik meja kasir, berdiri seekor domba besar memakai gaun tua dan tudung renda, tampak mengerikan di bawah sorot lampu remang-remang. Domba itu perlahan mendekatinya. Dengan panik, Theo mundur dan berusaha membuka pintu, tetapi pintunya terkunci.

Dia menoleh ke belakang, panik. Jantungnya berdebar kencang tidak terkendali, membuat dadanya terasa sesak. Si Domba membawa sebuah lentera yang memancarkan cahaya jingga menakutkan, menjatuhkan bayangan mengerikan di wajah Si Domba.

Theo menelan ludah. Ngeri. Domba itu sudah dekat sekali dengannya. Aku pasti akan dimakannya! jerit Theo dalam hati.

Wajah domba itu mendekat ..., Theo menjerit sekencangkencangnya ....

Tiba-tiba, domba itu tertawa.

“Maaf, maaf, aku hanya bercanda,” kata Si Domba sambil tergelak geli. Dia meraba-raba lehernya, kemudian mendorong kepalanya ke atas. Theo menjerit ketika kepalanya lepas. Kemudian ... merasa tolol. Karena, dari balik kepala domba itu, muncul kepala anak perempuan.

Yang pertama disadari Theo dari gadis itu adalah matanya yang besar berwarna abu-abu. Berkilauan, seperti mata boneka yang dibuat dari kaca. Rambutnya lurus tanpa ikalan sedikit pun, berwarna hitam berkilau, dipotong gaya bob pendek sedagu. Dia melepas kostum dombanya dan di baliknya, Theo bisa melihat gadis itu memakai gaun kuno, berwarna biru dengan garis-garis cokelat tua dan pita besar berwarna senada di belakangnya. Bibirnya berwarna merah muda dan mungil, menyeringai lebar memamerkan sederetan gigi putih yang rapi.

“Aku sudah mengagetkanmu, ya?” katanya dengan suara yang menyiratkan usaha gadis itu untuk menahan tawa.

Wajah Theo langsung merona merah. “Tidak,” sanggahnya, berdusta.

“Ah, bocah tukang bohong,” kata Si Gadis Domba, melucuti sisa kostumnya. Gadis itu menyeringai sekali lagi kepada Theo. “Aku suka tukang bohong.”

Dia melompat turun dari egrang yang dinaikinya. Gadis itu ternyata tidak lebih tinggi daripada Theo. Dia kemudian mengangkat ujung rok lebarnya dan membungkuk dengan sangat sopan. Katanya, “Selamat datang di Toko. Namaku Alice, pemilik toko ini. Aku akan mencoba memenuhi kebutuhanmu.”

Sejenak, Theo terpana melihat gerakan gadis itu. Dia membungkuk dengan cara yang sangat lembut, sangat ajaib. Seperti gadis-gadis bangsawan pada masa lalu, hanya saja tampak lebih ... lebih ... memesona. Seolah-olah, dalam gerakannya, dia membacakan mantera untuk menawan hati Theo.

Namun kemudian, Theo merengut. “Aku enggak mau membeli apa-apa. Aku enggak punya uang dan aku dipaksa ikut oleh adikmu.”

Alice menegakkan tubuhnya, alisnya bertaut. “Adikku?”

“Iya. Yang pakai kostum kelinci itu adikmu, kan?”

“Kostum kelinci? Oh!” Alice tertawa, menggelengkan kepalanya geli. “Maksudmu Reginald?”

Alice merogoh saku gaunnya, mengeluarkan lonceng tangan berwarna emas, dengan pita berwarna biru-kuning terkait di batangnya. Dia guncangkan loncengnya beberapa kali. Kemudian, pintu di samping meja kasir terbuka, dan kelinci putih yang tadi dilihat Theo keluar dengan wajah jengkel. Dia menyalak kepada Alice. “Kamu mau apa?”

“Tidak mau apa-apa, cuma iseng saja.” Alice menyeringai kepada Theo. “Dia bukan adikku, dia pelayanku.”

“Ma-maksudmu … maksudmu dia kelinci? Kelinci sungguhan?” tanya Theo, tergagap kaget. “Bukan kostum?”

Alice mengernyit heran kepada Theo, memiringkan kepalanya dengan wajah kebingungan. “Tentu saja. Apa lagi dia kalau bukan kelinci sungguhan? Kamu aneh sekali, Theo.”

Theo terdiam. Apa tadi dia sudah menyebutkan namanya?

Gadis itu beralih ke Si Kelinci Masam. Dia bilang, “Reg, siapkan kecoa kering dan teh lalat.”

Lihat selengkapnya