Fantasteen Scary Halte Angker

Mizan Publishing
Chapter #3

Halte Bus

Angin berembus kencang menerpa rambut panjang milikku. Malam begitu gelap. Rembulan bersinar remang tertutup awan berarak. Bintang-bintang tidak tampak dari bawah sini, menjadikan langit malam di atas sana terlihat begitu hampa.

Aku berdiri di trotoar pinggir jalan yang bersebelahan dengan sebentang jalan lurus. Jalan raya tersebut tampak begitu sepi. Tidak banyak kendaraan berlalu-lalang. Hanya satu dua mobil yang berani melintas —itu pun hanya sekelebat pandang. Selebihnya jalanan hanya diisi kesunyian.

Di samping kiri terdapat taman luas. Lokasinya tepat di depan sebuah bangunan besar bertingkat. Taman yang ditumbuhi pepohonan tinggi dengan dedaunan lebat. Di bawahnya ada beberapa kursi panjang.

Aku kembali berjalan menyusuri trotoar. Meski akhirnya hanya bertahan dua menit. Tanpa sadar, aku kembali mencermati keremangan malam. Bulan dan bintang di angkasa tidak bersinar sempurna, awan-awan yang menggantung di langit, bahkan lampu jalanan urung bersinar malam ini. Aku tidak tahu mengapa aku sama sekali tidak tertarik untuk menjejaki taman di depan bangunan besar di sana. Dan, entah mengapa pula, kakiku ini hanya mau melangkah menyusuri trotoar.

Terus melangkah.

Angin berembus menusuk kulit. Membelai rambut panjangku, menelisik daun telinga, membuat jantung berdegup semakin kencang. Pikiranku pun mulai mendramatisasi suasana. Membuat sejuta kemungkinan apa yang akan ada di depanku nanti. Membayangkan miliaran ketakutan yang mungkin akan kutemui di sana.

Aku mulai gemetar. Kakiku lanjut melangkah menyusuri trotoar. Apa yang akan aku temui nanti? Aku tidak tahu.

Aku menatap jauh ke depan. Melihat sebuah bangunan kecil berdiri tepat di samping trotoar. Cahaya lampu yang tidak mendukung membuatku harus melangkah sedikit lebih dekat. Aku baru bisa melihat bangunan itu sebuah halte. Dari sini halte itu terlihat cukup jelas olehku ….

Tunggu dulu!

Halte bus?

Halte itu tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil. Mungkin seukuran dua kali kamar mandi rumahku. Lampu neon panjang di langit-langit halte menjadi satu-satunya penerangan di sana —meskipun sama remangnya dengan lampu jalanan, tidak berguna.

Aku berjalan lebih dekat.

Halte bus kini berjarak tiga langkah saja dari posisiku. Sesaat kemudian mataku menangkap bayangan seseorang yang duduk di salah satu kursi halte. Duduk dengan begitu misteriusnya.

Aku terpaku. Lelaki yang duduk di sana membuat ketakutanku sangat beralasan. Bahkan aku hanya berani menatap bayangan saja dari sini, urung mendekat.

Dari potongan rambut pendeknya itu, jas hitam yang dikenakan dipadu kemeja putih berdasi, ditambah celana katun hitam berikat pinggang, membuatnya kelihatan seperti pekerja kantoran yang baru saja pulang kerja.

Tetapi, sedang apa dia di sini? Bukankah berbaring di atas ranjang adalah hal yang dinantikan pekerja kantoran setiap malam? Mengistirahatkan tubuh agar bisa lebih maksimal esok hari?

Apa yang dilakukannya di sini? Menunggu seseorang? Siapa? Bukan aku, kan?

Lihat selengkapnya