"Ryo, ini Shiro.” Saat itu, seorang gadis mungil berusia tiga tahun bersembunyi di balik tubuh ibunya. Dia gadis berambut pendek bermata hitam legam, menatapku dengan takut. Berkalikali ibunya menyuruh Shiro muncul ke permukaan tanpa perlu takut untuk berkenalan denganku, tapi Shiro menolak dan memilih berada di balik tubuh ibunya.
“Shiro, ini Ryo, kakak sepupumu, mulai sekarang panggil dia Onee-chan, ya?” suruh ibu Shiro, mencoba mengenalkan anaknya.
Aku, waktu itu berusia entah tujuh atau delapan tahun, masih polos saat bertemu dengan Shiro. Namun, kucoba mengakrabkan diri. Tibatiba kuingat sesuatu di dalam kamarku dan terpikir untuk menunjukkannya kepada gadis kecil itu. “Shiro, kemari! Ayo, kita main!”
Tertarik, matanya melebar. Seluruh kepalanya yang bersembunyi kini dapat kulihat muncul di balik kaki ibunya. Kugapai tangan mungil Shiro, menarik dan menyuruhnya untuk mengikutiku. Dia menurut dan membiarkanku menariknya sampai ke kamarku. Kamar berukuran 3 x 5 meter dengan tatami berwarna hijau, kasur bertingkat yang di bawahnya terdapat meja belajar, dan sebuah kotak misteri.
“Kamu tahu apa ini?” tanyaku kepada Shiro. Shiro mengangguk lalu menggeleng. “Ini adalah kotak misteri!” kataku.
“Misteri?” tanya Shiro.
Aku mengangguk semangat. Kubuka pengunci kotak dan kuangkat tutupnya. Isinya seperti harta karun jika dilihat oleh bajak laut bocah. Mainan! Beruang, porselen, mobilmobilan, dan lain sebagainya ada di dalam kotak. Shiro seperti ingin menjerit, wajahnya terlihat berbinar begitu melihat isinya.
Dalam beberapa menit, kami sudah menjadi teman. Shiro dan aku mulai memainkan sebuah sandiwara kecil. Berpurapura menjadi pesawat, kereta, dan tokoh superhero. Kamarku berantakan hanya karena dua kepala anak kecil yang keterusan ingin bermain.