Fantasteen Scary Soul Eater

Mizan Publishing
Chapter #2

Knock, Knock! Who's There?

Hey, there! Aku Biru dari Morte Senior High School dan sekarang aku berdiri di dalam sebuah kereta. Lihat sekelilingku! Keren, kan?

“Hei, Ru. Kamu sedang apa?” tanya Zoe yang membuatku sukses menoleh ke arahnya.

Membuat dokumentasi. Hei, kalian berdua, coba lihat kemari! Astaga, jangan terlalu narsis. Oke, lihat bocahbocah laki-laki yang melambai ke arahmu? Mereka teman satu sekolahku, keduanya dari Asrama Green. Yang pakai jaket abu-abu, rambut hitamnya berantakan, duduk di dekat jendela, itu Leva. Dan, yang di sebelahnya, yang alay itu― dia Zoe, keturunan Rusia. Oh, berhenti sok keren, Zoe! Nah, aku akan berjalan maju biar kamu bisa melihat betapa jeleknya mereka. Hohoho ....

“Oh, dia mulai lagi.” Dari samping kananku, Isfina menyindir. Aku langsung menyorotnya.

Weis, lihat gadis dengan rambut panjang hitam sepinggang, yang tengah memasukkan ransel ke loker di atas itu. Isfina. Dia dari Asrama Blue. Dia jago banget nulis puisi dan ....

Ann tiba-tiba muncul tepat di balik sandaran bangku sebelah Isfina, persis boneka joker keluar dari kotak musik, “HAAAIII!”

Weyya, haaai! Jangan centil, Ann! Lihat dia? Itu Ann, orangnya memang centil ... dan gendut. Hahaha ....

“AKU TIDAK GENDUT, RU!”

Lihat wajah jeleknya! Hahaha ... oke, oke. Maafkan aku. Dia dari Asrama Blue juga. Omong-omong, dia bintang teater. Uh, oh! Lihat kursi kosong di sebelahnya yang dekat jendela? Itu kursiku!

“Duduk, Ru. Kamu menghalangi jalan orang-orang di gerbong ini. Cepat matikan handycam-nya!”

Jangan cerewet, Ley! Nah, bocah yang pakai baju biru donker ini namanya Halley. Dia juara sekolah dan punya otak kayak Einstein. Halley sepupuku. Dia satu asrama denganku di Asrama Grey. Eits, jangan coba-coba rebut handy-ku, Bung! Oh, lihat bocah di sampingnya? Itu Roziin, dari Asrama Grey. Dia irit banget kalau ngomong. Di sebelah kirinya, yang dekat jendela, itu Zian―bocah Asrama Blue. Ayolah, Zi. Lepaskan novelmu sebentar saja dan lihat ke handy-ku! Nah, begitu. Hehehe. Oke, tunggu! Aku akan mundur perlahan biar mereka semua terekam. Heyya, kalian semua! Ayo, melambai ke handy-ku! Sekarang, kita akan berlibur ke Bandung, ke rumahnya Halley. Yeee ...! Hei, Ann, berhenti bil ... ups, maaf ....

Aku menahan napas, malu karena sudah menabrak seorang ibu dengan sekotak kardus di tangannya―yang tampak keberatan dengan barang bawaannya itu, “Maaf, ya, Bu!” Cepat-cepat kumatikan handycam dan kumasukkan ke saku jaket.

“Makanya, jangan berdiri di tengah jalan, dong, Dek! Ngalangin orang yang mau lewat, kan? Heuh!” Ibu itu mengomel di depanku, seraya menyuruhku minggir. Aku hanya bisa nyengir dan minta maaf lagi.

“Sudah kubilang, kan?” Halley mendengus, “Dasar norak!”

Aku memelotot, “Sialan! Aku, kan, baru pertama naik kereta. Wajarlah kalau aku buat dokumentasi perjalanan.”

“Tapi, enggak perlu di tengah-tengah juga, kan?” katanya yang seketika membuatku menendang tulang kering kaki kanannya. Halley mengerang dan memegangi kakinya sambil menyumpah.

Ini hari ketiga liburan semester pertama kelas XI. Pada minggu pertama ujian, sepupuku mengusulkan ide untuk menghabiskan liburan di rumahnya di Bandung, tepatnya Lembang. Sepupuku, Halley, memang asli orang Bandung. Lucunya, dia tidak bisa berbahasa Sunda. Dia punya adik perempuan, Hafni Vanady. Jago main alat musik dan teater, seperti Ann. Hafni meninggal, ketika Halley masih SMP. Saat itu, Halley sudah bersekolah ke Jakarta.

Aku belum pernah ke rumah Halley sebelumnya. Setiap liburan sekolah atau hari raya, biasanya keluarga Halley yang datang ke Jakarta, ke rumahku. Ibunya adalah adik dari ayahku. Aku pernah, sih, mohonmohon ke Ayah untuk liburan mengunjungi Halley dan Hafni di Bandung, tapi beliau tidak mau. Malaslah, jauhlah, bla bla bla. Kalau kemarin aku tidak memaksa, mungkin sekarang aku sedang lumutan di kamar.

“Ley, dari sini ke Bandung berapa jam?” tanyaku iseng.

“Lama banget. Totalnya bisa sampai tujuh jam. Dari sini ke Stasiun Bandung tiga jam. Dari stasiun ke Lembang, apalagi ke rumahku, bisa sampai empat jam kalau macet. Soalnya, Lembang suka macet kalau musim liburan,” papar Halley.

“Memang, rumahmu sebenarnya di mana, sih?” tanya isfina sambil berpangku tangan, menatap Halley yang duduk di depannya.

“Di baliknya Gunung Tangkuban Parahu,” sahut Halley kalem.

Ann hampir menjerit, “Di balik gunung?! Serius?!”

Halley hanya mengangguk, “Dari stasiun, kita naik mobil elf. Aku sudah menyewa satu mobil elf untuk perjalanan ke Tangkuban Parahu.”

“Serius?” Ann mengulang, mimiknya tidak senang.

“Memangnya kenapa, sih?” aku mengernyit, “We’ll have fun!”

“Have fun bagimu, tapi bencana bagi Ann. Dia enggak akan mau jalan di jalanan yang berlumpur atau dikepung pohon-pohon tinggi menyeramkan. Apalagi kalau jalannya mendaki.” Halley mendengus ejek.

“Uh, jangan sampai!” Ann setuju, “Aku enggak mau! Kenapa kamu baru bilang kalau rumahmu ada di balik gunung?”

“Kamu enggak tanya. Bukan salahku.” Halley membela diri.

“Ya, kan, kamu bilang rumahmu di Lembang. Dekat Tangkuban Parahu. Kupikir, ya ... rumahmu di daerah kotanya. Harusnya, kamu bilang dari awal kalau rumahmu ada di balik gunung.” Ann protes.

“Ya, berarti memang salahmu enggak tanya dia dengan jelas.” Isfina ikut-ikutan menyalahkan Ann, “Terus, bagaimana? Kamu mau pulang sekarang?”

“Ih, kok, jadi salahku, sih. Kayak yang enggak jijik saja sama jalanan berlumpur!” ketus Ann kesal.

Kereta mulai melaju, meninggalkan stasiun yang lama-lama mengecil, kemudian menghilang. Jadi, begini rasanya naik kereta. Agak aneh, tapi lucu juga. Rel dan roda keretanya menciptakan bunyi yang berirama dan pemandangan di luar jendela berlarian dengan cepat ke belakang.

Aku menatap semua teman satu per satu, sekadar ingin tahu apa yang dilakukan mereka. Leva berkutat dengan laptopnya, Zoe membaca komik dengan kedua kakinya naik ke kursi sambil mengunyah permen karet, Zian―yang duduk di depanku―sibuk dengan novelnya, Halley―entahlah, kurasa sedang melakukan salah satu hobi yang paling disukainya―observing, dan Roziin ... kurasa dia sudah hijrah ke negeri mimpi. Hanya Isfina dan Ann saja yang terus mengobrol. Memperhatikan mereka membuatku jadi ingin tersenyum. Entahlah, mungkin karena liburan ini akan sangat menyenangkan. Mungkin.

Aku kembali menatap ke luar jendela dan membiarkan imajinasiku meliar.

“Ru, kamu mau?” Ann tiba-tiba menyikutku, menyodorkan sekotak brownies.

“Hm, enggak. Eh, mau, deh. Hehehe ....” Aku mengambil dua irisan sambil nyengir.

Ann mencibir, “Dasar labil!” lalu menyodorkan brownies kepada Leva sambil mengucapkan terima kasih. Bocah laki-laki itu mengangguk, lalu menawarkan brownies-nya kepada Zian, Halley, dan Roziin yang sudah bangun.

“Tumben, Lev. Sengaja beli?” tanya Halley, melahap seiris brownies yang langsung membuat mulutnya penuh.

Lihat selengkapnya