“Jangan pernah ke hutan terlarang itu, Al!
Mereka ada di sana.”
Aku tidak percaya.
“Hantu-hantu itu ada di sana, wajah mereka menyeramkan.”
Aku tidak percaya.
“Kalau kamu nekat ke sana, kamu enggak akan bisa kembali.”
Masa bodoh. Aku tidak percaya.
“Satu lagi, Al.
Jangan pernah memanggil mereka, kapan pun!”
Tenang saja. Aku tidak akan memanggil mereka ... tapi
MENANTANG MEREKA! Makhluk begitu tidak pernah ada.
Hantu-hantu itu hanya ilusi optik semata .... ... hhh.
Memori itu bagai memperingatkan apa yang kukatakan. Aku salah bicara. Aku benar-benar salah bicara. Sekarang, berteriak pun, tidak ada gunanya. Sosok berwajah pucat tanpa rahang bawah itu seolah tertawa. Dari rahang atas hingga tenggorokannya terus mengucurkan cairan merah. Sisa-sisa cabikan di tenggorokannya membuatku ngeri setengah mati. Dan, ketika sorot mata merah terangnya berkilat-kilat ....
***
BRAK!
Ann dan Isfina menjerit, melengking tinggi.
Zoe tertawa puas, “Ahahaha!” Keduanya berhenti menjerit dan diam beberapa detik. Ann dan Isfina saling pandang, mereka tengah berpelukan erat. Seketika, keduanya mendorong satu sama lain sambil berseru, “Ih!”, membuat Zoe semakin tertawa.
“Tadi itu enggak lucu, Zoe! Enggak. Lucu.” Ann memelototi Zoe.
“Benar kata Halley, kamu parno! Hahaha. Kamu harus lihat wajah ketakutanmu tadi. Hahaha,” balas Zoe dan terus tertawa.
“Aku setuju dengan Ann bahwa itu enggak lucu.
Tapi, aku setuju bahwa Ann parnoan,” tutur Isfina. Ann menonjok lengan Isfina.
Akhirnya, Zoe berhenti tertawa, “Lagian, aku hanya menggebrak meja. Kalian langsung menjerit begitu, sambil berpelukan lagi. Bagaimana aku enggak ngakak?”
“HANYA?!” teriak Ann dan Isfina bersamaan.
“Dengan entengnya kamu bilang HANYA! HANYA! Di mana letak HANYAnya, Zoe?! Jantungku hampir copot tadi!” sembur Isfina.
“Enggak jadi masalah kalau kamu menggebrak meja setelah menceritakan hal-hal lucu. Kamu menggebrak meja setelah menceritakan kisah horor seperti itu!” Ann marah-marah.
“Dih! Salah sendiri. Aku sudah bilang, aku enggak mau cerita, tapi kalian memaksa.” Zoe membela diri.
“Kan, enggak usah pakai gebrak-gebrak meja se-gala,” gerutu Isfina.
“Mana seru kalau enggak pakai gebrak meja,” sahut Zoe, lalu menghadap ke arahku. “Ru, coba pikir. Kalau aku menceritakan kisah horor dengan tampang flat, seru enggak?”
Aku tidak langsung menjawab karena fokus pada laptop. Kugumamkan, “euh” panjang sampai akhirnya bilang, “Seru-seru saja, sih. Kamu menceritakan kisah horor dengan tampang flat, tapi sudahnya ... hantunya muncul dari balik kalian semua. Terus, merayapi tubuh kalian. Menjilati telinga kalian sambil berbisik, ‘Hai, main, yuk.’”
“Ha, setuju!” Zoe memekik girang.
Ann dan Isfina melempariku dengan bantal sofa.
Kubalas dengan tawa kecil.
“Uh, lapar.” Zian―yang sedari tadi melahap novel tebalnya dalam diam― mengeluh sambil menggeliat.
Aku baru menyadari, aku juga lapar. Ann, Isfina, dan Zoe mengeluhkan hal yang sama. Senyum Zoe Si Bubblegumman tiba-tiba merekah dan dia merogoh kantong celananya. Permen karet. Dia memperlihatkannya kepada kami dengan bangga, merobek bungkusnya, lalu memakannya sendirian. Dia hanya punya satu.
Kami putuskan untuk bertanya kepada Halley ten-tang makan malam. Tapi, kami tidak tahu di mana Halley berada. Rumah ini punya banyak ruangan dan koridor. Dia bisa berada di ruangan mana saja.
“Coba cek di kamarnya,” usulku.
Zoe bangkit dari sofa dan mengikuti saranku. Tidak sampai 2 menit, dia kembali ke ruang tamu dengan kepala menggeleng.
“Roziin bilang, dia dan Leva keluar kamar lima menit sebelum kita ke sini. Mereka enggak bilang mau ke mana,” lapor Zoe.
Semuanya membuang napas kecewa. Zian mengusulkan untuk mencari Halley―yang hanya disetujui olehku. Anak lainnya tidak mau. Mereka malas mengecek satu per satu.
Tiba-tiba, Halley muncul dari balik pintu ruang tamu. Leva juga muncul dengan alat aneh dalam dekapannya.
“Kalian dari mana?” kening Zoe mengerut.
“Gudang,” jawab Halley dan Leva serempak.
Aku menunjuk Izrailleva, “Itu apa?” sayangnya bocah laki-laki itu tidak menggubris.
“Ley, kami lapar.”
Halley bergumam, “Aku punya bahan makanan yang belum dimasak di kulkas. Kalian bisa masak sendiri, kan?”
Ann mengangguk antusias, “Bisa!”
“Okay, then. Aku dan Leva ada urusan kecil. Jadi, kalian yang masak. Akan kutunjukkan dapurnya.”