Sekali lagi, aku memandang foto dalam pigura tua berpelitur. Memastikan, hal yang kulihat tadi tidak benar. Di sudut foto tua itu tercetak tahun kejadian, 1901. Bagaimana bisa, wanita itu menggunakan telepon seluler? Aku mencoba fokus. Jelas-jelas, pada abad itu telepon seluler belum tercipta. Setahuku, perangkat pertama yang dapat disamakan dengan telepon seluler adalah walkie talkie; yang tercipta lebih dari tiga dekade setelah foto diabadikan.
Aku memutar otak, mencoba mencari tahu hubungan yang masuk akal. Sayangnya, hingga detik ini, belum menemukan hal yang membuat otakku paham dengan keganjilan tadi. Tebersit hal-hal aneh dalam pikiranku. Aku mencoba menepis hal tersebut karena tak masuk akal. Setelah merenung dan berpikir di antara kerumunan orang yang menyaksikan pameran “TEMPO DULU”, aku semakin yakin atas apa yang kupikirkan tadi. Mungkinkah dia seorang penjelajah waktu? Tiba-tiba aku ragu lagi, bahkan sangat ragu.
Lamunanku buyar ketika Ayah memanggil. Dia baru saja berbicara dengan salah satu rekannya sesama ilmuwan. Aku bersyukur pembicaraan Ayah tak lama. Biasanya, aku harus menunggu berjam-jam, tanpa paham isi pembicaraan mereka. Pernah sesekali mencoba meresapi apa yang mereka obrolkan, tapi sia-sia. Banyak kata-kata ilmiah yang belum aku mengerti.
Aku segera mengencangkan sabuk pengaman ketika duduk di sebelah kemudi. Pria berkacamata tebal dengan rambut nyaris cepak dan berkulit putih mengendarai mobilnya dengan serius. Aku tahu, Ayah pasti akan pergi ke suatu tempat lagi. Lagu dari radio mengalun pelan dan berhasil membuatku termenung. Foto tadi masih terekam di kepala. Aku ingat betul bagian-bagian foto tersebut dengan detail. Seorang wanita yang tampak menonjol di antara kerumunan. Seakan-akan hidup. Di antara belasan orang yang tampak di dalam foto, dia tak berpenampilan seperti yang lain—bertopi lebar dan memakai gaun besar ala abad ke-19. Dia hanya memakai gaun pendek dengan rambut digulung ke belakang. Wajahnya terlihat cantik, walaupun kedua matanya tertutup kacamata hitam.
Jelas terlalu modern untuk ukuran abad ke-19. Apalagi wanita itu membawa alat seperti telepon seluler.
Bukankah penjelajah waktu itu terkait dengan halhal ilmiah? Kalau iya, Ayah pasti tahu dan dapat menjelaskannya. Ayah, kan, termasuk jajaran ilmuwan terpandai di dunia.
“Mungkinkah penjelajah waktu itu ada, Yah?” selidikku penasaran.
Ayah terpaku, seperti disambar petir pada siang bolong. “Mengapa kamu tiba-tiba menanyakan hal itu?” Suara tegas seorang lelaki namun terdengar lembut di telingaku.
Aku menjelaskan segalanya. Perasaan ganjil saat melihat foto hingga asumsi-asumsiku. Entah kenapa; aku melihat wajah Ayah yang sedikit khawatir.
“Aku jadi penasaran, Yah,” kata-kata keluar dari mulutku begitu saja. Meluncur dengan sendirinya.
“Sudahlah. Ayah tidak suka jika kamu membahas masalah yang sebenarnya tidak penting.” Nada bicara Ayah tidak seperti biasanya. Baru kali ini, Ayah sedikit menggertakku.
“Memang tidak penting,” selorohku sedikit kesal, “tapi kalau seumpama ada, Laura pengin, deh, Yah,” terangku sembari memasang mupeng—muka pengin.
“Jangan pernah kamu punya keinginan untuk pergi ke masa yang berbeda. Setiap manusia punya batasan masing-masing. Tidak perlu menjelajahi sesuatu di luar batasan kita,” papar Ayah sedikit sinis.
Aku merasa aneh. Kenapa Ayah tiba-tiba begitu sinis dan khawatir? Padahal, aku hanya ingin Ayah menjelaskan secara ilmiah tentang penjelajahan waktu. Setahuku, Ayah tak pernah pelit membagi ilmu.
“Ayah sedang melihat foto siapa?”
Pertanyaan itu terlontar dari mulut kecilku. Aku mencuri pandang. Berusaha melihat wajah yang tampak di foto lebih jelas lagi. Ayah dengan sigap menyelipkan foto di antara lembaran buku yang dipegangnya.
“Bukan apa-apa, kok,” jawab Ayah. “Bagaimana sekolahmu hari ini?”
Aku merasakan nada yang berbeda. Ayah sedang mengalihkan pembicaraan. Jelas, foto tadi bukan foto ilmiah yang biasa dikoleksinya. Walaupun wajah di dalam foto tidak begitu jelas, aku tetap bisa melihat sekumpulan orang memakai jas putih laboratorium.
“Laura, bisakah kamu pergi dari sini? Ayah sedang sibuk dengan penelitian. Ayah ingin kamu mengerti profesi Ayah,” pinta Ayah. Mendung tersorot di kedua bola matanya ketika melihatku. Saat itu, Ayah sedang mengaduk-aduk laci lemari dengan wajah pucat.
Aku manggut-manggut. Waktu itu umurku masih 10 tahun dan belum terlalu paham dengan situasi di sekitarku.
***
Aku melangkah ringan di koridor sekolah. Belum banyak murid lalu-lalang di sini. Wajahku menengadah melihat langit biru cerah. Entah kenapa, hari ini aku tidak terlalu bersemangat. Untungnya, awan cumulus yang tebal seakan menghiburku. Aku mulai membayangkan benda-benda yang tercipta dari bentukan awan. Aku juga menikmati pergerakan awan. Sangat halus. Tersentak, saat menyadari, aku sudah melamun terlalu lama.
Aku ingat suatu hal. Hari ini adalah waktu yang tidak boleh dilupakan oleh semua murid Science Internasional. Yap! Science Day. Hanya ada satu tempat tujuan ketika mendengar Science Day. Tak ayal koridor sekolah sepi. Semua murid pasti menuju Giant Laboratory, pikirku. Aku langsung ke sana dengan tergopoh-gopoh. Untung, tali sepatuku tidak lepas. Kalau saja lepas, aku bisa jatuh karena jeratannya.
Tak sampai beberapa menit, aku tiba di Giant Laboratory yang dibangun tepat di belakang sekolah yang pemandangannya luar biasa. Tempat yang membuat siapa saja betah, walau hanya sekadar berjalanjalan di sekelilingnya. Giant Laboratory dipelopori Ayahku dan rekan-rekan timnya. Atap menampilkan langit karena ditutupi kaca. Demikian pula seluruh dindingnya. Semua terbuat dari kaca. Tinggi langitlangit atas tersebut sepuluh meter lebih. Menunjukkan laboratorium ini memang sangat luas dan besar. Bisa jadi, seluas lapangan sepak bola dalam bentuk rumah kaca.
Aku melihat banyak orang. Mataku lalu beredar mencari orang yang aku kenal di antara kerumunan. Berharap bisa bertemu dengan teman-teman. Tak perlu banyak, seorang saja cukup agar aku tak kesepian. Sayangnya, semuanya asing. Murid-murid yang belum pernah kukenal.
Setiap Science Day, laboratorium pasti dipenuhi banyak orang. Untuk memperingati Science Day, semua pelajar SMP berlomba-lomba membuat penemuan. Hadiahlah yang ditunggu mereka. Jika menang, akan menjadi murid di Science Internasional. Hal yang luar biasa tentunya. Hanya orang-orang yang punya pemikiran hebat bisa sekolah di sini. Bagaimana tidak, murid di Science Internasional akan langsung dibimbing oleh ilmuwan terkenal dari seluruh dunia. Motto sekolah “We can make your imagination comes true” seakan menonjolkan, bahwa sekolah ini memang diperuntukkan kepada siapa saja yang punya imajinasi dan tekad kuat.
Aku terus berjalan di atas karpet merah. Banyak penemuan dipajang di sisi kanan dan kiri karpet yang kulalui. Aku jadi penasaran, penemuan apa yang mendapat komentar “wow” dari para ahli. Bisa jadi, penemuan itu berkembang kemudian dan mengubah dunia.
Di pojok lantai satu, terlihat seseorang yang kukenal. Akhirnya, kutemukan sahabatku. Tubuhnya gempal, lebih tinggi sejengkal dariku, dan berambut ikal.