Fantasteen Through The Limit

Mizan Publishing
Chapter #2

Thomas Drake

Aku menyerah. Sungguh, aku tidak kuat dengan berbagai soal latihan yang diberikan Profesor Ucup. Aku melampiaskan kekesalan dengan menonton televisi. Kubiarkan soal-soal itu menganggur sejenak. Namun, apa yang kudapat? Aku tidak menemukan satu pun acara yang menarik. Jarijariku sudah lelah, hingga akhirnya kubiarkan televisi menayangkan acara berita.

Ketertarikanku terhadap acara berita meningkat seratus persen ketika acara tersebut menyiarkan informasi aneh. Di layar televisi tertulis headline, “Thomas Drake, Penjelajah Waktu dari Abad XXII”. Aku mengernyitkan dahi. Hampir saja aku kebablasan menuangkan air putih ke dalam gelas.

Dari layar televisi 32 inci, seorang pembawa berita menyatakan, bahwa Thomas Drake mengeklaim dirinya sebagai penjelajah waktu dari abad ke-22 yang mengemban misi datang ke tahun 2016 (abad ke-21). Tugasnya menyampaikan beberapa fakta yang terjadi pada abad ke-22, agar orang-orang pada abad ke-21 dapat mengantisipasi dan berharap bisa mengubah masa depan menjadi lebih baik.

Awalnya, aku berpikir berita ini hanya hoax—isu yang sengaja disebarkan. Bisa jadi hanya untuk popularitas sesuatu yang sebenarnya tidak layak untuk dihebohkan. Aku mulai percaya ketika pembawa berita memaparkan, bahwa Thomas Drake menyebarkan formula ilmiah: bagaimana mesin waktu dapat dibuat. Dia juga meng-upload gambar mesin waktu yang katanya hanya dapat menampung tiga orang.

Ketika berita tersebut selesai disiarkan, aku lang-sung mengambil laptop. Aku sangat penasaran dengan kebenaran berita tadi. Aku mengumpulkan semua berita tentang Thomas Drake dan menganalisisnya. Orang yang mengaku tinggal di kota Andalusia pada abad ke22 itu hilang secara misterius ketika dia selesai memposting semua informasi. Badan penelitian pun tidak bisa melacak keberadaannya. Dia hanya meninggalkan informasi mencengangkan. Informasi yang sebagian besar sangat ilmiah.

***

Aku mondar-mandir di depan kelas. Menunggu seseorang itu bukan hal menyenangkan. Aku memasang muka datar. Kakiku menjulur pasrah. Berulang-ulang, aku melihat penunjuk waktu yang terpasang di tangan. Marsa dan Lucio tak kunjung datang, padahal tidak lama lagi kelas akan dimulai. Mataku menyapu sekitar. Aku kembali bersemangat, menyadari kedatangan mereka. Langsung saja, kutarik tangan mereka untuk duduk di depan kelas. Marsa dan Lucio langsung terkekeh.

Lihat selengkapnya