Fantasteen Through The Limit

Mizan Publishing
Chapter #3

Rumah di Belakang Rumah

Berkali-kali, jari-jariku mengetuk meja tebal terbuat dari kayu. Tak terasa, akhirnya bakso pesanan kami datang juga. Seperti biasa, Lucio menyantap dengan cepat. Aku masih putus harapan. Dari tadi, kutatap hanya kertas kosong. Padahal, aku sudah membayangkan ide yang bisa kukembangkan sejak pagi. Sayangnya, aku mendadak hilang ingatan karena otakku terkuras untuk mengerjakan soal-soal dari Profesor Down.

“Lau, dari kemarin aku memperhatikan halaman belakangmu,” ucap Marsa. “Itu apa?” tanyanya sembari menunjuk sesuatu yang sangat jauh. Dari tadi, dia memang hanya berdiri kaku berdiri di ambang jendela kamarku.

Aku dan Lucio menghampirinya, lalu melihat ke arah yang ditunjuk Marsa.

“Kok, angker banget kelihatannya.” Marsa bergidik ngeri.

Mataku menyipit. Mencoba memfokuskan penglihatan. Hasilnya, yang kulihat hanyalah rumah kecil seperti pondok. Tampak sangat tua dan angker. Aneh, aku tidak pernah menyadari dengan kehadiran rumah itu. Mungkin, aku memang tidak terlalu perhatian.

“Mungkin gudang. Malahan aku baru sadar ada rumah di situ.” Aku nyengir kuda.

“Itu, kan, halamanmu, Lau. Kok aneh, sih, kamu enggak tahu.” Marsa heran. Lucio hanya melongo.

Aku mencoba mengingat, tapi tidak berhasil. Ada yang mengganjal di pikiran. Aku mencoba mendesak ingatanku keluar. Berharap, ada sesuatu yang muncul dan berhubungan dengan rumah aneh itu. Aku menyerah. Untuk apa juga aku memikirkan hal sepele, batinku.

***

Laura: Tahun 2008

Aku ditarik ke belakang. Lenganku rasanya mau remuk. Tangan yang memegang lenganku mencengkeram sangat kuat sehingga aku tak punya daya sedikit pun untuk tetap berdiri di posisi yang kuinginkan.

Bulu kudukku sempat berdiri. Rasanya dingin. Dalam sekejap, aku merasakan aura negatif. Sungguh, aku tak tahu harus berbuat apa. Tanganku menggigil seketika. Seluruh badanku lunglai. Selang beberapa detik, tangan orang dewasa tadi mulai menjauh dari mulutku.

“Laura! Apa yang kamu lakukan di sini?”

Aku terkejut bukan main mendengar suaranya. Ayah memegang tanganku erat dan menatap tajam mataku.

“Cuma main saja, Yah,” jawabku. “Laura, kok, dimarahin?” tanyaku dengan wajah yang polos. Masih shock. Baru kali ini Ayah memarahiku.

“Bukan begitu, Sayang, kamu enggak boleh ke sini.”

Lihat selengkapnya