Bayangan bulan berpendar keperakan di langit biru tua. Awan bercahaya seolah ada peri yang tinggal di sana. Lampu-lampu rumah dihidupkan ketika gelap menyelimuti. Angin malam bertiup sangat dingin.
Jantung kota Glastonbury, Somerset, Inggris. Di sebelah selatan reruntuhan Gereja Glastonbury Abbey, sesuatu membuahkan keanehan. Asap keunguan, hal pertama yang membubuhkan keanehan itu. Ungu berpendar dan meletup kecil. Hal yang dapat membuat petugas keamanan penasaran dan takut.
Petugas keamanan malam itu Mr. Turnbolt, pria tua beruban yang penakut. Melihat asap ungu berpendar, dia memilih meringkuk semakin dalam di pos jaganya bersama lima ekor kucing betina dan secangkir cokelat panas mengepul.
Jika saja Mr. Turnbolt menyempatkan diri memeriksa, dia akan menemukan tujuh ekor burung dengan jenis berbeda, berkumpul dan melebur dalam asap keunguan itu dan berubah menjadi tujuh sosok manusia.
Seekor superb lyrebird menumbuhkan rambut cokelat sedikit bergelombang dan menjelma menjadi Michael Angarano berumur tiga puluhan. Sosok itu tersenyum kepada seekor rose robin yang mengepul dalam asap dan memunculkan sosok aslinya.
“Selamat malam, Mary,” sapanya pada seorang anak perempuan.
“Hanya ada tujuh,” balas Mary. “Wahlberg honeybird tidak ada. Dan burung dari Vermont itu pun tidak ada.”
“Mereka tidak bisa hadir, Mary! Omong-omong, burung dari Vermont itu namanya hermit thrush.”
Burung kestrel itu berubah menjadi seorang wanita tua berwajah keras. Mary tidak menyukai orang tua itu karena dia sangat galak.
Satu per satu burung mulai berubah. Seekor large-tailed nightjar berwajah mengantuk menjadi pria muram. Merpati luzon bleeding-heart menjadi laki-laki berwajah oriental. Lesser ground-cuckoo menjadi seorang pria gemuk yang tampak periang. Terakhir, burung hantu burrowing menjadi seorang pria beruban, mirip Donald Trump berkacamata yang gendut.
“Ada yang tidak hadir,” kata pria beruban itu. “Tapi, tidak apa-apa, kita bisa memulainya sekarang. Tolong, Mrs. Wiesner!”
Mrs. Wiesner mengangguk. Dia pejamkan mata lelahnya kemudian mengayunkan tangan. Udara malam bergemuruh, memberi vibrasi janggal. Kucing hitam membuka mata, menyala-nyala hijau elektrik. Ia menyaksikan getaran magis di tanah keramat Glastonbury. Cahaya biru lembut mengalun mengikuti napas tanah, melingkar-lingkar dan tegar. Mrs. Wiesner menarik napas.
“Espoma!” pekiknya. Mrs. Wiesner berasal dari Austria. Ketika muda, dia menjadi seorang penyanyi sopran dalam paduan suara. Hal itu menyebabkan pekikannya selalu menyakitkan.
Di balik rerumputan, perlahan muncul buih-buih busa. Semua yang hadir mundur perlahan, menghindari busa yang semakin lebar dan membentuk danau kecil.
Mrs. Wiesner sedikit tersengal-sengal, kemudian mengangguk. Yang lain segera meraih sebentuk tongkat pendek dari kayu berwarna gelap. Masing-masing mengayunkan lengan dan melantunkan nyanyian janggal yang digumamkan. Hanya ada satu kata yang terdengar …, “Avalon, Avalon, Avalon ....”
Darius Magnus menatap sayu ke dalam danau kelam itu. Kemudian dia mundur, mengangguk. “Sembilan orang, semuanya,” ujarnya lembut. Yang lain mengangguk, merogoh saku, dan mengeluarkan bola berwarna biru tawar. Merapal mantra dan bola-bola itu terbang ke berbagai penjuru.
Mr. Magnus mengangguk lelah. “Saatnya menunggu.”
Seorang anak perempuan duduk di depan kantor guru sambil menatapi kakak-kakak kelasnya mendribel bola basket dan berlarian dengan T-shirt berkubang keringat. Dia memperbaiki earphone. Lagi-lagi merasa bosan. Sama seperti hari kemarin dan hari kemarinnya lagi. Dan … kemarinkemarinnya lagi. Mungkin akan terus seperti itu sampai tahun-tahun ke depan. Sepertinya hidup memang sudah diatur menjadi sangat membosankan. Hani, cewek malang itu, menghela napas dan berdiri. Dia memutuskan pulang.
Sebuah batu bulat berwarna kebiruan menggelinding dan berhenti tepat di ujung sepatunya. Hani memungut dan memperhatikan batu itu sebentar. Bulat dan cemerlang, sedikit lebih besar dari kelereng. Batu yang sangat indah.
Digenggamnya batu itu, Hani berjengit. Batu itu menyetrumnya! Dia melepas genggamannya. Kaget. Batu itu bergulir jatuh. Tepat sebelum menyentuh tanah … BLAAAR!
Lenyap! Semuanya lenyap!
Hani terbangun di tempat yang tidak dikenalnya, di atas tempat tidur dengan seragam sekolahnya. Dari cahaya di balik tirai, Hani tahu, saat itu pasti pagi hari.
“Sudah bangun, ya?”
Hani menoleh.