Pada suatu hari, aku dan sahabatku Esa pergi ke hutan untuk camping dan berlibur. Namun, dalam perjalanan, kami menemukan rumah tua yang tampak tidak berpenghuni.
“Bentar dulu deh, Sa. Itu apaan, ya?” tanyaku sambil menunjuk.
“Mana?” Esa celingukan mencari lokasi yang kutunjuk.
“Itu,” kataku, menunjuk sekali lagi.
“Oh, itu .... Itu, kan, cuma rumah tua.”
“Iya, sih. Tapi, kayaknya ada yang aneh deh, sama rumah tua itu.”
“Hmmm .... Iya juga, sih. Kamu mau masuk buat mengecek?”
“Ih, Esa. Dari depan saja sudah seram, apalagi dalemnya. Pasti lebih seram, deh.”
“Daripada kamu penasaran.”
“Iya tapi, kan ....” Baru saja aku bicara, Esa malah meninggalkanku menuju rumah tua itu.
“Sa! Sa! Esa, tungguin dong!” panggilku.
Sesampainya di depan rumah tua itu, kami berdua lang-sung membuka pintu dan masuk ke dalamnya.
“Huk ... huk ... huk ...! Gila, nih. Debunya banyak banget! Mana banyak tikus lagi,” gumamku sambil menutup hidung dan mengibaskan tangan kanan menghalau debu.
“Wah ... ini sih, harus pake masker,” sahut Esa.
“Kamu bawa senter enggak, Sa? Kalau aku, sih, bawa.”
“Bawa,” jawab Esa.
“Ya sudah, coba kita pakai senter. Biar kelihatan,” usulku.
Kami pun menurunkan ransel dan mengeluarkan senter. Setelah menyalakannya, kami mulai melihat-lihat isi rumah tua itu.
“Zei, sini, deh!” panggil Esa.
“Ada apa, Sa?”
“Coba lihat cermin ini! Unik banget.”
“Hmmm ... unik dan aneh banget, pastinya.” Esa mengusap kedua sisi cermin tersebut, sambil memperhatikannya dengan serius.
“Lihat, di bawahnya ada tulisan ‘Dunia Magic’.” Esa mengarahkan senternya menyinari tulisan tersebut.
Karena penasaran, aku pun menyentuh cerminnya. Ketika aku mengulurkan tangan ... ternyata, tanganku menembusnya! Karena takut, buru-buru aku menarik tanganku dari cermin aneh itu.
“Kenapa, Zei?” tanya Esa.
“Aku ... aku enggak tahu. Kayaknya ini beneran cermin ajaib, Sa.”
“Hah, cermin ajaib? Kamu tahu dari mana?”
“Tadi pas aku sentuh cermin ini, tanganku tembus!”
“Enggak masuk akal.” Esa tidak percaya.
“Sa, mendingan kamu coba sentuh deh, cerminnya.”
“Oke, aku coba.” Ketika Esa menyentuh cermin itu, kejadian yang sama terulang.
“Wah, benar, Zei. Tanganku juga tembus.”
“Tuh, kan ... berarti ini emang cermin ajaib!”
Esa mengangguk setuju.
“Eh, lihat, deh. Di cermin itu muncul tulisan.”
Esa tampak kaget. “Tulisan? Tulisan apa?”
Kemudian, aku mencoba membaca tulisan itu secara perlahan, sambil mengarahkan senter.
“Maksud tulisan ini apa, ya?” tanya Esa dengan wajah kebingungan.
“Enggak tahu,” jawabku sambil menggelengkan kepala.