Sesampainya di istana mereka, kami dibawa naik ke lantai atas. Di sana, ada ruang utama besar, dipenuhi orang-orang yang sedang asyik mengobrol. Namun kali ini, mereka tampak seperti orang baik. Berbanding terbalik dengan orang-orang yang kami temui sebelumnya.
Ketika kami menghambur masuk ke tengah kerumunan, tiba-tiba saja semua orang di ruangan itu berhenti bicara. Pandangan mereka langsung mengarah kepadaku dan Esa. Aku bisa melihat mereka keheranan dan bertanya-tanya. Dapat aku tebak apa isi kepala mereka.
“Siapa mereka?” tanya seorang pria kepada Rhomedal dan Samuel.
“Kami menemukan mereka tersesat di Hutan Kegelapan.” jawab Rhomedal.
“Hutan Kegelapan? Wilayah kekuasaan Raja Abra yang sangat kejam itu?”
“Benar,” jawab Rhomedal.
“Mengapa mereka bisa ada di sana?” Pria yang tampak berwibawa itu bertanya lagi.
“Entahlah. Yang jelas, kami menemukan mereka sedang dikejar-kejar oleh anak buah Raja Abra,” jawab Samuel.
“Mustahil mereka ada di sini.” Pria itu menatapku dan Esa bergantian.
“Apanya yang mustahil?” tanya Esa, dengan nada yang agak tinggi. ”Buktinya, kami sekarang ada di sini.”
“Di dunia ini, tidak ada yang tidak mungkin,” tambahku. “Jika Tuhan berkehendak, semua akan terjadi, apa pun alasannya.”
“Namun bagi kami, ini tidak masuk akal.”
“Maksudnya?” Esa mengerutkan kening. “Kita, kan, sama-sama manusia. Tinggal di planet yang sama, dunia yang sama ....”
Pria itu menyeringai kecil, membuat Esa menghentikan kata-katanya. “Kalian salah jika beranggapan ini dunia nyata.”
“Lantas ini dunia apa?” tanya Esa.
Pria itu menarik napas lalu menjawab, “Ini adalah Dunia Magic.”
Mendengar jawaban itu aku dan Esa terkejut setengah mati.
“Enggak. enggak mungkin. Ini pasti dunia nyata. Bukan Dunia Magic,” tegasku.
“Terserah kalian. Yang jelas, kami sudah memberi tahu kalian.”
“Tapi ... semuanya tampak sama, seperti dunia nyata,” sahut Esa.
“Mungkin tampak sama, tetapi ini dunia kami, Dunia Magic.”
“Kalian yakin ini bukan mimpi?” tanyaku memastikan.
“Seandainya ini mimpi, bangunlah segera. Karena ini akan menjadi mimpi buruk bagi kalian.”
“Mimpi buruk?” Aku kaget.
“Iya. Karena ... kalian tidak akan bisa keluar dari sini.”
Aku dan Esa berpandangan lagi. “Jadi ... apa yang harus kami lakukan?”
“Tidak ada.”
“Coba saja tadi kita enggak masuk ke dalam cermin aneh itu,” gumamku menyesal. Lalu, aku menatap Esa.