Plak!
Sebuah tamparan mengenai pipi pemuda yang kini meringkuk di dekat ranjang. Pipi pemuda itu memerah, tangannya mencengkeram keras celana biru seragamnya.
Farel memandang ayahnya yang kini tampak murka, padahal ia tidak melakukan kenakalan apapun setelah sekolah tadi, Farel hanya beristirahat sejenak setelah pulang sekolah.
"Ada apa, Ayah?"
Ayah menarik kerah seragam Farel, wajah penuh murka itu memandangnya dengan kebencian yang sudah lama terpendam. "Di mana kau menyembunyikan saudaramu? Di mana Ferel?!"
Farel meringis kecil saat Ayah semakin menarik kuat kerah seragamnya sampai-sampai lehernya tercekik. Ferel adalah kakak kembarnya ... yang sudah lama meninggal.
"Ferel sudah tiada, Ayah," jawab Farel takut-takut, di antara keluarganya, hanya Ayah yang belum menerima kematian Ferel.
Mendengar jawaban dari Farel, Ayah segera menyeret pemuda itu dan membawanya ke gudang. Ayah melempar tubuh pemuda itu hingga menatap tembok.
Farel meringis kesakitan karena punggungnya membentur tembok, bahkan luka yang diberikan Ayah beberapa hari lalu masih terasa sakit dan kali ini Farel yakin ayahnya akan memukulinya lagi.
"Kau bilang apa tadi? Ferel tiada? Mungkin kau yang mati, Farel." Ayah mencengkeram dagu Farel.
"Ferel memang sudah mati, Ayah!" teriak Farel yang sudah tidak tahan dengan sikap ayahnya.