Orang tua selalu menginginkan agar keinginan mereka bisa terpenuhi. Mereka bahkan tidak mau tahu tentang nyaman ataupun tidaknya anak pada sebuah keputusan yang mereka ambil. Yah, memang tidak semua orang tua begitu. Tapi, kebanyakan demikian.
Aku Mala. Bukan si anak malang melainkan karena nama panjangku Arum Kumala Sari. Sejak kecil, tinggal dan besar dihiruk pikuk kota Jakarta. Orang tuaku, saudara-saudara bahkan teman-teman selalu memanggilku dengan panggilan nama tengah. Padahal nama depanku sendiri tidak kalah keren. Tapi biarlah dari pada ndak punya nama sama sekali.
Ini hari pertamaku menginjakkan kaki pada sekolah baru. Bukan karena ingin jalan-jalan mengunjunginya bak museum. Tapi, karena aku adalah murid pindahan di sekolah yang kulihat sama saja dengan sekolah-sekolah lainnya. Lantas, untuk apa ayah begitu repot-repot harus memindahkanku kesini? Toh, aku juga sudah nyaman dengan sekolah yang lama. Semua sekolah menurutku sama saja. Yang membedakan mungkin hanya pembelajaran yang diajarkan dari guru-guru di dalamnya.
Aku berdiri menatapi lurus gedung sekolah. Ah! benar-benar aku benci situasi ini. Ketika kaki ini akan berjalan menghampiri gedung itu, aku akan dipertemukan kembali dengan hal wajib berupa perkenalan diri.
"Mala ayok kita masuk," ajak Ayah sembari menggandeng tanganku.
"Ayah ini bagaimana, sih! aku 'kan bukan anak kecil lagi. Ngapain coba harus menggandeng tangan seperti itu! Emang ini sekolahan TK apa?" batinku terus menggerutu sendiri.
Kutarik kembali tangan yang sempat tergenggam pada tangan kekar Ayah. Harusnya Ayah sebagai laki-laki bisa peka! putrinya 'kan udah gede!
Sembari mengikuti Ayah dari balik punggungnya. Aku pandangi satu persatu mata para murid-murid yang terlihat bertanya-tanya tentang kehadiranku.
"Lihat saja! Akanku colok mata mereka satu persatu," batinku.
Ayah tiba-tiba menghentikan langkahnya. Memangnya sudah sampai di ruang guru? Yang kulihat, kok bukan ruang guru, sih? Papan nama ruang guru juga gak ada tuh.
"Dek mau tanya. Ruang guru, disebelah mana, yah?"
Kulihat Ayah menanyakan sesuatu pada murid laki-laki yang kami jumpai. Rupanya Ayah gak tahu dimana ruang gurunya. Untung saja deh Ayah ikut untuk menemaniku di sekolah baru ini. Kalau enggak, mati aku bisa-bisa nanti dapat situasi seperti ini.
"Di ujung sebelah sana. Pak," jawab murid laki-laki itu.
Ayah tersenyum lalu mengucapkan terima kasih. Tapi aku tidak ikut-ikutan tersenyum. Nanti, dia kebaperan lagi sama senyumanku 'kan gak keren.