Bandung, Agustus 2016...
DI LEMBARAN KERTAS ITU TERTULIS KUTIPAN, “Ketika aku melihatmu, aku jatuh cinta, dan kamu tersenyum karena kamu tahu.” - William Shakespeare. Mungkin saja si penulis menjadi salah satu orang yang percaya pada cinta pandangan pertama, cinta pandangan pertama kepada seseorang di sekolah, di kampus, di tempat kerja, atau bahkan seseorang yang tak sengaja bertemu di suatu tempat tak terduga.
Menjelang menit-menit akhir mata kuliah, seorang perempuan berkacamata dengan potongan rambut sebahu membagikan beberapa lembar kertas kepada beberapa temannya, tepat ketika dosennya sedang menerima telepon di luar ruangan.
“Next time, gua bakalan kurangin uangnya kalau gak dapet A+, ” ucap salah satu lelaki yang baru saja menerima lembaran kertas.
Perempuan itu menatap datar. “Next time, aku nggak mau terima orderan dari kamu lagi,” cerocosnya kesal. Perempuan itu pun kembali ke kursinya.
“Thank you, surabi oncom!” teriak salah satu lelaki di kelas. “Eh, salah. Maksud aing, thank you, Abi.”
Semua orang yang ada di ruangan kelas tertawa.
Mendadak, ruangan kembali sunyi. Dosen masuk dan memandangi satu-persatu mahasiswanya. Cukup lama. Hingga akhirnya ia berkata, “Okay. Now, please put your last week’s assignment on the table, and you can go home.”
Semua mahasiswa buru-buru mengumpulkan esai mereka, kecuali satu orang. Ia memilih mengumpulkan esai disaat semua orang sudah keluar ruangan.
“Minggu lalu, tujuh esai berbeda tentang William Shakespeare lagi. Keren seperti biasanya, Sabian.”
“Sabina,” ucapnya mengkoreksi. Perempuan bernama Sabina itu buru-buru mengambil esai miliknya dari dalam tas, dan kemudian menaruhnya di atas meja. “Kenapa Mister Toto nggak melaporkanku? Seenggaknya ke Kaprodi?” tanyanya.
“Supaya apa? Supaya saya bisa membaca esai asli buatan mereka?” Toto terkekeh. “Tidak, terima kasih.”
Sabina hanya menanggapi dengan senyuman.
Toto memberikan sesuatu kepada Sabina. “Ini kartu nama Alex Nasution, sahabat saya semasa kuliah. Dia dosen dan agen penulis di Kanada.”
Meski sedikit ragu, namun Sabina mengambil kartu nama itu. Ia mengamati sejenak. Tak lama ia melirik Toto. “Mimpi saya udah kedaluwarsa, Mister. Saya udah nggak minat jadi penulis. Kenyataannya, kebanyakan bermimpi membuat saya lambat mengambil keputusan hidup. Dan saya di sini, berakhir di kampus ini.”
“Sayang sekali. Kampus ini memang neraka,” jujur, Toto berkomentar.
“Mmm... nggak sampai separah itu, dan nggak berarti menyenangkan juga. Tapi, itu yang terjadi.”
Toto tersenyum kecil. “Asal kamu tahu saja, kamu itu mahasiswa favorit saya. Tahu kenapa? Itu karena selama saya menjadi dosen di kampus ini, baru kamu yang bisa menulis puluhan esai dengan sempurna selama dua semester berturut-turut,” ucap Toto menjelaskan. “Dan kamu mau menyia-nyiakan potensimu begitu saja?” Ia berdecak heran. “Sayang sekali.”
Sabina tersenyum. Samar. “Mister tahu saya dibayar untuk itu.”
“Omong kosong. Potensi tidak muncul karena kamu dibayar,” sahut Toto. “Saya menghabiskan dua tahun lebih untuk bergulat dengan esai dan yang saya dapatkan hanya kata ‘lumayan’ dari dosen saya. Kenyataannya, potensi membawa ketidakadilan dalam menilai,” Pak Toto bercerita. Ia menatap wajah Sabina sejenak, lalu tersenyum. “Jangan hilang, ya. Simpan baik-baik. Siapa tahu suatu hari nanti kamu butuh.”
Sabina mengangguk kecil sambil tersenyum. “Makasih, Mister,” ucapnya yang kemudian berjalan keluar dari ruangan.
“Sabian...”
Sabina menghentikan langkahnya, lalu menengok ke belakang. “Sabina, Mister.”
“Ya, Sabina. Begini... mmm... saya penasaran, kenapa setiap esai yang kamu tulis selalu menjiplak kata-kata dari penulis roman terkenal?” tanya Toto penasaran.
“Aku nggak menjiplaknya, aku mengutipnya,” sanggah Sabina
“Sama saja.”
“Beda, Mister. Aku mencantumkan nama penulisnya.”
“Bilang saja kalau sebenarnya kamu tidak tahu apa-apa tentang cinta, toh?” ucap Toto mengolok.
“Itu nggak benar. Aku tahu apa arti cinta,” lagi, Sabina menyanggah.
“Kalau kamu tahu apa arti cinta, kamu pasti akan mengutip kata-katamu sendiri. Tapi, sudahlah, kamu masih punya banyak waktu untuk memahaminya,” balas Toto.
Sabina memutar bola matanya. “See you next week, Mister!” Lantas ia berbalik dan melangkah pergi.
Toto terkekeh sendirian.
***
Di antara puluhan mahasiswa yang bolak-balik ke kantin kampus, hanya Sabina yang kuat duduk berjam-jam bersama kedua temannya. Tampak rambut hitam pekat, tebal, berombak, melawan arah tiupan angin. Hanya saja ada beberapa helai rambut yang dengan bandel melambai-lambai dan kemudian menyentuh lembut pipinya yang agak tembam. Tapi, di tengah gangguan rambut Sabina yang menebar ke sana kemari, ada lelaki bertubuh kurus dengan garis tulang pipi dan rahang mendominasi wajahnya yang berbentuk oval dan rambut gondrong yang dibiarkan berantakan olehnya. Lelaki itu memandangi sepasang mata sayu Sabina yang tampaknya mampu menembus hatinya yang tengah sepi. Tersadar mata itu menyambut ke arahnya, sang lelaki kembali sibuk mengutak-atik kamera DSLR miliknya.
“Masih gak bisa nyala, Rul?”
“Bisa. Tadi aing lupa cek baterainya, ternyata kosong. Ketinggalan di kamar.”
“Ruly, gue tahu bego itu gratis tapi ya jangan diborong semua, dong!” Komentar perempuan yang duduk di sebelahnya.
Kulit putih terawat, hidung mancung, bibir tipis, dan rambut berwarna coklat yang lurus dan panjang sepinggang itu memperlihatkan kalau perempuan yang satu ini berada di kalangan yang berbeda. Dan meskipun ia berpenampilan sederhana, keanggunan khas perempuan kelas atas tak bisa disembunyikannya.
“Kenes, untung lu cantik dan sering bayarin utang aing, kalau nggak... maneh udah aing pecat jadi sahabat,” balas Ruly.
Sabina menggeleng-gelengkan kepala, lantas ia bangkit dan merapikan barang-barangnya yang ada di meja ke dalam tas.
“Mau ke mana, surabi manisku?” tanya Kenes.