Fat, Hope, Love

Lily Zhang
Chapter #1

Chapter 1 : Bad or Great?

‘Aku memang terlahir menerima nasib terbuang‘- Viena

 

Cermin di depan memantulkan tubuh seorang gadis berbadan tambun. Wajah bulat bertengger sebuah kacamata. Bintik-bintik berwarna kuning bernanah di pipinya bersama bekas-bekas, menambah ketidak nyamanan saat memandangnya. Rambut sebahunya selalu dikuncir seperti buntut kuda.

Mulut tipis itu memanyunkan bibir, mencibir tubuh yang tersorot di depan sana. Diriku sendiri mencerca kejelekan ini, apalagi orang lain? Postur obesitas itulah tubuhku. Tidak pernah ada rasa bangga pada diri sendiri. Gara-gara ini pula keminderan menjadi sahabat sejatiku.

“Putri Papa yang cantik belum beres yah?” teriak papa dari balik pintu kamar sambil mengetuk perlahan. Nafasku mendengus kesal. Apanya yang cantik? papa selalu saja menyindir.

“Belum Papa bawel!” gerutuku sementara telinga menangkap cekikikan Papa yang memang selalu hobi menggoda.

Kubereskan buku-buku yang bertebaran di atas meja belajar, tepat berada di samping tempat tidur yang berukuran besar. Semalam aku begadang hingga menjelang subuh karena hari ini ada ujian masuk sekolah di SMA Indonesia, sekolah favorit di daerahku. Akademis memang menjadi kelemahanku. Selain tubuhku yang tidak sempat terlihat indah, pendidikanku juga tidak terbilang baik. Tidak ada sesuatu hal pun yang mendukungku untuk menjadi unggulan. Aku memang terlahir menerima nasib terbuang.

Kusampirkan tas slempang lebar berwarna ungu muda, warna kesukaanku. Pakaian kemeja putih dan celana panjang masih membaluti tubuh yang menginjak 80 kilogram meskipun tinggi badanku hanya 165 sentimeter. Kukebutkan langkah menuju ruang makan yang tidak jauh dari kamar tidur yang bersebelahan dengan ruang keluarga. Dalam suasana libur sekarang, ujian masuk sekolah memang dibebaskan dalam hal berpakaian.

Kulirik jam yang berada di sudut ruang makan, ”Astaga!!” jeritku tanpa sadar. Jam panjang sudah menuju angka tujuh sementara jam pendek mulai menyeleweng, bergeser dari angka enam.

”Makan dulu, sayang,” tutur Mama sambil mengoleskan selai blueberry kesukaanku. Mama tersenyum dengan teduh, ramah, dan masih cantik di awal empat puluh tahunnya. Kadang wajahku mengerut. Kesal mengapa wajahku tidak bisa secantik Mama.

”Nggak, Ma. Viena telat!” ucapku tanpa menghiraukan lagi pandangan mama yang dahinya mengerut, pasti cemas perutku bakalan memrotes kelaparan.

”Tapi Vi,” belum sempat Mama menyelesaikan ucapannya, tanganku cekatan menarik Papa yang baru saja menyuapkan roti terakhirnya ke mulut.

”Papa nggak mau ngantarin Viena kalau rotinya belum dihabisin,” kata Papa mengacuhkan rengekanku, tegas.

”Papaaaaaaaaaa...,” kupanjangkan suara agar Papa cepat luluh dan mengikuti kemauanku.

”TIDAK!” sekarang Papa berubah tegas. Akhirnya keinginanku menciut melihat Papa mulai keras. Memang kalau Papa sudah tegas, tidak ada yang bisa melawannya. Papa selalu pandai menempatkan diri pada setiap situasi. Mereka memanjakanku sebagai putri tunggal namun tetap mendidikku menjadi pribadi yang baik dan disiplin.

Kuambil roti yang telah disodorkan Mama dan cepat-cepat menyumbat ke mulut, mengunyah cepat dan menelan dengan bantuan jus jeruk yang kemudian ikut disodorkan oleh Mama. Saat tinggal suapan terakhir, Papa pun tersenyum dan beranjak dari tempat duduknya.

”Ma, Viena pergi!” pamitku sembari menciumi pipi Mama yang kencang dan terasa kenyal saat bibirku menyentuhnya.

”Papa berangkat dulu, Ma!” Papa tidak pernah mau mengalah untuk bermanja dengan istrinya. Ia mengecup pipi Mama di bagian lain sementara tanganku berkeringat dingin karena takut terlambat tiba di sekolah.

⋆⋆⋆

Teng! Lonceng pertama telah berbunyi saat kuinjakkan kaki di lingkungan sekolah. Untunglah kemarin aku sudah mengetahui letak kelas ujian masuk sekolahku. Aku segera menghampiri bangunan yang tidak jauh dari gerbang masuk dan mencari-cari kelas 10-E. Melihat banyaknya siswa yang juga tergesa-gesa menuju kelas, aku menundukkan wajah dan berharap tidak bertemu dengan seseorang yang kukenal.

Trauma telah menjadi phobia semenjak selalu dijadikan sasaran bully teman-temanku. Makanya ketika melihat siswa yang sebaya denganku, selalu ada rasa takut yang menyiksa. Padahal aku sudah berkomitmen untuk menjadi pribadi yang lebih percaya diri. Namun lagi-lagi kepalaku tidak terangkat, tidak berani memandang teman sebayaku. Nafasku tersengal-sengal ketika sampai di tempat duduk, untungnya guru jaga belum muncul di ruangan tersebut.

”Wah, the big Viena ternyata di sini juga,” kata sebuah suara sopran yang kukenali sebagai Shiina Ayu Putri. Seorang gadis berwajah molek yang senang merias diri dan memakai aksesoris bermacam-macam di sekujur tubuhnya. Modis menjadi salah satu ciri khasnya. Bahkan banyak teman-teman seusia yang mengikuti style-nya.

”Wah seru nih...,” sambung sahabat baiknya yang memiliki style bertolak belakang dengannya. Gina, dandanan yang ala kadarnya masih menampilkan pesona setiap sudut wajah. Gadis tomboi ini memang tidak terlihat jantan meskipun potongan rambut pendek yang menghiasi mukanya yang chubby. Tidak ada polesan bedak tebal ataupun aksesoris di sekujur tubuhnya. Namun wajah kalem menjadi kontras dengan sifatnya yang kasar. Tidak ada sedikit pun keinginan untuk tersenyum mendengar kelakar mereka, sebuah penghinaan yang kerap mereka cerca terhadapku.

Kulayangkan pandangan hanya ke depan meskipun terasa banyak lirikan ke arahku saat mereka tidak henti-hentinya menertawaiku. Tidak berapa lama kemudian guru jaga telah masuk ke dalam ruangan, menyapu ruangan dengan tatapannya seraya berkata tegas, ”harap diam! Ujian akan dimulai.”

Semua siswa yang sedari tadi masih berbisik-bisik gaduh sekejap berubah menjadi suasana sesepi kuburan, ditambah dengan wajah garang yang ditunjukan guru tersebut. Dan hatiku merasa sangat lega.

⋆⋆⋆

Lihat selengkapnya