“Tidak ada yang salah dengan air mata, bagi seorang pria sejati sekali pun.”- Nenek Lisa
“Hoaem!” pelajaran belum juga berakhir, kantukku sudah tidak tertahankan. Sudah kesekian kalinya kukucek mata yang mulai sayu. Bahkan komik kesukaan tidak lagi mengundang selera.
“... jangan lupa kerjain PR-nya,” ucap Guru yang sedang berkemas di depan. Konsentrasiku telah lama buyar. Hati saja tidak lagi mampu bersorak saat sang guru mengakhiri pelajaran siang ini. Lekas kukemas buku-buku yang sedari tadi berserakan di atas meja.
Segera beranjak ke tempat parkir sesaat setelah guru meninggalkan ruangan. Hiruk pikuk kegirangan teman-teman mempercepat langkah untuk meninggalkan kawasan sekolah. Tapi kemudian sebuah peristiwa memaku diri untuk berhenti sejenak yang kemudian membersitkan perasaan iri.
Sebuah tangan bidang itu merangkul ramah pada bahu yang berisi. Senyum teduh seorang Ayah yang tidak pernah kuperoleh. Gadis itu menghindari tatapan orang-orang saat sang Ayah mengecup keningnya meskipun ia juga tidak melawan. Segera saja mereka masuk ke dalam mobil sedan berwarna putih susu tanpa mengindahkan tatapan berbumbu sirikan di sekitar sekolah.
“Len!” tiba-tiba pundakku ditepuk seorang gadis yang tidak lain dan tidak bukan adalah Kelly, perempuan cantik yang suka mengekoriku.
Aku bergumam jengkel.
“Ada apa?” kemudian Kelly mengikuti arah pandanganku. Sesegera mungkin kualihkan pandangan dan berjalan menjauh.
“Kenapa lihatin gadis gendut itu?” tanyanya mendelik, menginterogasi dalam tatapannya yang tajam.
“Nggak!” jawabku singkat, malas.
“Jawab, Len!” kini ia menggoyangkan lenganku yang kokoh. Hampir saja kusentakkan sebelum memeringati diri sendiri bahwa dia seorang perempuan. Kalau saja dia laki-laki, jangan harap bisa selamat tanpa terjerembap duduk di aspal. Kulenggangkan kaki secepatnya meninggalkan gadis yang tetap gigih mengejar di belakang. Kelly selalu membuatku risih. Kadang kedekatan kami membuatku jenuh. Sikapnya yang over posesif membuat teman-teman perempuan tidak berani berteman denganku. Yah, meskipun aku tidak begitu peduli tentang hal itu.
“Sampai jumpa besok, Len!” seorang gadis yang hanya kukenali wajahnya menyapa. Ingatanku memang payah, aku bahkan tidak dapat mengingat nama gadis manis itu. Selama ini mataku tidak pernah awas memerhatikan paras seorang gadis tetapi pandanganku menangkap dua lesung kecil menghiasi tepat di bawah bibirnya.
“Sampai jumpa,” balasku tanpa menyunggingkan senyum. Tidak pernah ada senyum dalam hidupku. Meskipun ingin tersenyum namun itu hanya akan membuatku merasa jengah. Sampai sekarang, aku jarang tersenyum terhadap teman. Kelly menatap tajam gadis tersebut. Ia memang selalu tidak suka apabila ada perempuan lain yang mendekatiku.
“Len, kita...,” kupotong perkataannya sebelum ia sempat menyelesaikannya. “Nggak,” tolakku yang sudah tahu ke mana arah pembicaraan gadis itu. Palingan dia akan mengajakku jalan-jalan lagi. Kalau pun aku bersedia menemaninya, keadaan pun tidak akan mengijinkan.
⋆⋆⋆
“Nek, Allen nggak mau makan!” teriakku sesampai di rumah.
“Lho den Allen?”
“Ngantuk.”
“Tapi...,” Nenek Lisa, pengurus rumah tangga kami yang telah berbakti secara turun temurun di keluarga Ayah. Meskipun memiliki anak-anak yang sudah berkeluarga, ia tidak pernah ingin tinggal bersama mereka. Ia malah memilih untuk tetap berbakti kepada keluarga kami.
Tidak menunggu lama, kutinggalkan Nenek Lisa yang masih termangu menatap langkahku menuju lantai atas, kamarku. Tidak biasanya perutku mengalah dengan kantuk. Tetapi inilah yang terjadi. Semalam insomniaku kambuh lagi sejak bertemu dengan gadis tambun itu, namanya Viena. Gadis gendut itu membawa bencana, iba, dan iri yang silih berganti berebutan posisi dalam perasaanku.
Iri. Bukan karena aku tidak memiliki Ayah. Aku bukan anak yatim piatu. Namun tidak pernah mendapatkan kasih sayang selembut kasih Ayah Viena yang bisa mengantar jemput putrinya. Semenjak kecil, Ayah sudah mengajarkan kemandirian. Tidak boleh manja apalagi harus diantar jemput orang tua. Meskipun Bunda selalu menentang sikap Ayah. Kemiliteran Ayah dalam keluarga sempat membuatku tidak bisa bertahan hingga terbiasa dengan keadaan ini.
Bunda yang membuat alasanku pernah tidak bertahan dengan keadaan. Linangan air mata terus-terusan mengalir. Serapuh perempuan. Ah!
“KOTOR!” maki Ayah kasar. Saat itu, kuintip pertengkaran Ayah dan Bunda.
“Percayalah, Yah! Bunda hanya keluar dengan teman-teman. Tidak seperti yang Ayah lihat!” bela Bunda kepada dirinya sendiri, sedikit memohon agar Ayah percaya dengan pembelaannya.
“BOHONG! Perempuan jalang, kotor!” cerca Ayah emosian.
PLAK! Tiba-tiba kulihat Ayah memukul Bunda tetapi ketakutan terhadap kekerasan sikap Ayah yang mengenggankan langkahku. Ketika sadar, wajahku telah basah oleh air mata.