‘aku memiliki semua kekurangan yang mereka miliki’-Viena
Kupeluk erat jari-jari dalam genggaman, berusaha mengenggankan tangis merebak di pelupuk mata. Lihat! Betapa menyakitkan pandangan-pandangan itu menghujam. Kenapa? Kenapa harus aku yang selalu disisihkan? Tidak semua memiliki postur tubuh molek. Ada juga yang gendut melebihiku, lebih banyak berjerawat, juga memakai kacamata, dan memiliki nilai akademis jauh di bawahku. Namun satu hal yang mereka tidak punya, aku memiliki semua kekurangan yang mereka miliki.
Dan Allen menyelamatkanku sekali lagi.
“Kenapa kamu ijinkan si gendut ini gabung sama kita sih?” protes Kelly masih berlanjut juga. Allen masih terdiam, melanjutkan tugas yang diberikan guru, tidak membela maupun menyudutkanku.
“Allen...,” rayu Kelly manja diikuti pandangan sinis dari Shiina. Wah, ada apa ini?
“Kita lanjut saja deh...,” Shiina memotong percakapan yang coba dilayangkan oleh Kelly. Alhasil, wajah cantik itu memanyun. Sebersit rasa iri memenuhi rongga dada, bahkan saat sedang cemberut Kelly masih terlihat terlampau menarik.
“Oke, bagaimana kalau diadakan bagi tugas?” tanya Gina mencairkan suasana antara Kelly dan Shiina.
“Boleh,” Allen mengalihkan fokus kepada Gina yang kini sibuk mencorat-coret. Berada di sampingnya, kulihat ia sibuk menggambar not balok – sama sekali tidak ada hubungannya dengan pelajaran siang ini.
“Baiklah... sebaiknya Shiina, Allen, Noel, dan Kelly mencari bahan teoritis. Kemudian Viena menyusun tugas dengan analisis sekaligus merekapnya.”
“Kamu?” sewot Kelly.
“Aku kan memang dipilih sebagai ketua kelompok, pemantau kerja kalian!” ujar Gina santai saja padahal pandangan sewot kontan menimpanya. Setelah mengemukakan pendapatnya, dia malah meneruskan coretan not balok di buku tugasnya.
“Viena ngerjain sisanya? Tidak seimbang,” Allen buka suara.
“Seimbang dong! Dia kan anggota tambahan, sebenarnya aku keberatan dengan keberadaannya,” Kelly membela pembagian tugas Gina dengan masih mencibirku. Aku harus menelan bulat-bulat semua cercaan mereka terhadapku. Menahan gejolak air mata yang mulai merebak.
“Sudahlah... kita cari dulu saja,” sambung Shiina berusaha memanis-maniskan gaya bicara. Aku mencurigainya sedang mencari perhatian Allen.
DEG! Allen memandangku lekat, entah apa yang ada di pikirannya. Pasti yang kuketahui sekarang adalah ia sedang membelaku. Dari dulu tidak ada yang berubah, selalu saja dimanfaatkan, diberi tugas terberat, dan aku sudah terlalu terbiasa untuk keadaan seperti ini.
TENG! Denting lonceng menyelamatkanku dari perdebatan yang belum juga selesai. Ketika hampir saja Allen ingin sekali lagi membelaku, semua teredam sorak teman-teman sekelas. Aku, penyebab utama perdebatan mereka merasa sedikit bersalah dengan kondisi yang kaku itu. AH! Kenapa diriku begitu pemalu dan penakut?
“Terima kasih!” ucapku sebelum Allen sempat beranjak pergi. Ia hanya memandangku sebentar, tidak melontarkan sekata pun. Namun aku bahagia telah memperoleh seorang teman juga bunga yang bersemi di hatiku.
Thanks Allen.
⋆⋆⋆