Fatamorgana

Layaly
Chapter #1

Menata Stamina

Hidup tak ubahnya roller coaster

Tak berjalan datar

Ada jalan menanjak, ada jalan menurun dan menukik

Kadang menegangkan, kadang menyenangkan

Semua itu harus kita lalui

Tak mungkin kita menghindar dan lari

Savety belt sudah dibuat pakem

Tak bisa lepas

Suka dan duka harus dijalani sesuai alurnya

Saat kita masuk mengikuti alur itu, kita bertarti siap

Siap menangis, menjerit, bahkan tertawa

Ingatlah semua hanya fatamorgana



***

Mentari mulai meninggi. Sinarnya yang makin terasa hangat memudarkan hijaunya warna dedaunan dan menyilaukan pandangan. Di sekitar taman, tampak orang-orang duduk sambil berjemur, berburu ultraviolet yang akan menjelma menjadi vitamin D. Salah satu nutrisi yang cukup penting sebagai upaya menunda melemahnya raga. 

Ada pemandangan indah kala itu. Sepasang insan yang sudah renta dengan kulit keriput membungkus tulang tipis penopang tubuhnya. Mereka bercanda bersuka ria di bawah pancaran sinar matahari. Rutinitas mereka di pagi itu membuat metabolisme kalsium dan kerja otot syarafnya berjalan baik. Imun tubuhnya pun makin meningkat, ditambah lagi dengan canda tawa yang membuat surplus hormon endorfin. Itulah mungkin penyebab mereka nampak bugar di usia senjanya.

Radit Hermawan, pewaris tunggal kebun teh di daerah Parahyangan dan pabrik Teh Melati keluar dari sebuah apartemen mewah. Lelaki itu tampak gagah dan berwibawa, meskipun saat itu ia hanya memakai kaos oblong, celana jersey, dan sepatu basket tanpa kaos kaki.

“Pagi yang cerah, pas untuk menata stamina sebelum menjalankan tugas!”, tukasnya sambil memasang kuda-kuda.

“Mantap, Den”, seru sopirnya sambil mengacungkan jempol yang dibalas senyuman manis oleh Radit.

Radit melakukan peregangan sebelum melancarkan niatnya untuk berolahraga ringan, sekadar berlari-lari kecil mengitari taman. Setelah melenturkan otot kaki dan tangannya, sejenak Radit memandangi dua manula yang tertawa gembira, meskipun hanya menampakkan gusinya yang berwarna merah muda.

Sang Kakek memainkan bunga putri malu dengan tongkat tua dihiasi ukiran jati yang memberi kesan berwibawa untuk si empunya. Tanaman perdu itu seolah meledek saat tersentuh tongkat. Bunga unik tersebut mengatupkan daunnya seperti kelopak mata yang hendak tertidur pulas, namun tak lama kemudian membuka kembali secara perlahan.

Nenek yang masih tampak raut kecantikan di wajahnya kegirangan melihat tanaman itu, membuka dan mengatup lagi. Perilaku si Nenek tak ubahnya seperti anak kecil yang diberi lolipop warna warni.

Kedua manula itu pun tertawa. Sesekali si Nenek menepuk pundak suami yang telah menemaninya selama hampir setengah abad, dan sesekali pula tangan keriputnya menutupi mulut yang menyembunyikan gigi ompongnya. Si Kakek tiba-tiba mendekat mengecup dahi si Nenek yang penuh guratan layaknya buku tulis bergaris, namun bentuknya bergelombang. Ketulusan terpancar dari kedua insan yang sudah renta itu.

“Hem...pasangan yang bahagia sampai tua. Semoga kelak aku pun seperti itu”, gumam Radit dengan segurat senyum di bibirnya menancapkan harapan saat melihat kedua pasangan yang harmonis itu.

Harapan yang ternyata menambah energi positif di dalam dirinya untuk lebih semangat bergerak.

 “Let’s go, Radit! ..... Mens sana in corpore sano...!!!

Radit pun mengaktifkan aplikasi Google Fit di handphone-nya lalu berlari-lari kecil mengelilingi taman. Lintasan berbentuk elips itu entah telah berapa putaran telah dilewatinya. Butiran-butiran peluh mulai membasahi keningnya. Kaos tipisnya juga telah dihiasi lukisan pulau keringat. Radit berharap panas di tubuhnya akan membakar kalori dan mengurangi lemak jenuh yang menyebabkan meningkatnya kadar kolesterol jahat dalam darahnya.

Radit lalu duduk sebentar di bangku yang tak jauh dari kedua manula tadi. Mereka masih saja asyik bercanda. Radit tak ingin kehilangan momen berharga itu. Sambil melepas lelah, ia mengabadikan dua insan yang bahagia dengan bermandikan pancaran mentari itu dari kejauhan. Bahkan tenggorokannya yang terasa kering karena haus pun diabaikannya untuk beberapa saat.

True love” kata yang Radit sisipkan di atas foto nenek dan kakek itu.

Radit ingin menyimpan foto itu sebagai pelajaran berharga baginya. Kelak, jika ia telah menemukan tambatan hati dan bersedia menyatu dengannya di pelaminan, foto nenek dan kakek ini yang akan menjadi pengingatnya.

“Kan kuciptakan canda, tawa, dan bahagia sampai tua bersama pasanganku nanti”, gumamnya sambil memandangi gambar nenek yang sedang bersandar di bahu suaminya sambil tersenyum. Foto itu di-zoom semaksimal mungkin karena diambil dari jarak jauh

Radit tidak mendapatkan pelajaran itu dari orang tuanya. Kemesraan ayah dan ibunya nyaris tak pernah terlihat olehnya. Bahkan hari-hari mereka didominasi pertengkaran. Hal sepele bisa menjadi dentuman senjata yang tak terelakkan. Pembahasan itu pun akan terus berlanjut bagaikan sinetron yang terdiri atas ratusan episode, bahkan ribuan. Konflik itu terus bersambung, tak pernah usai. Bahkan konflik yang satu belum selesai, sudah muncul konflik baru yang akhirnya makin bertumpuk. Semua bagaikan bom waktu yang entah kapan akan meruntuhkan semuanya.

“Mari, Anak Muda, kami duluan, ya! “, ucap si Kakek ramah sambil menepuk pundak Radit saat melewatinya.

Radit terkesiap ketika sosok yang sedari tadi dipandanginya ternyata sudah ada tepat di hadapannya. Radit tak menyadari saat mereka berjalan menghampirinya. Lamunan tentang episode pertengkaran orang tuanya telah membuyarkan konsentrasinya. 

“O iya, Kek silakan. Hati-hati Kek, Nek!” Radit berusaha membangun keakraban.

Si Nenek mengacungkan jempol seraya menampakkan gusi merah mudanya. Kemudian ia kembali berjalan sambil memegangi si Kakek yang berjalan dengan bertopang pada tongkatnya. Terlihat jelas di mata Radit kalau mereka saling menjaga satu sama lain.

Tatapan Radit terus mengarah pada nenek dan kakek itu. Radit ingin terus melihat keduanya sampai mereka benar-benar lepas dari pandangannya. Mereka hendak menyeberang menuju apartemen dengan tertatih-tatih. Untungnya security di apartemen itu sangat sigap. Ia segera membantu kakek dan nenek itu menyeberang. Radit benar-benar tak menyangka. Ternyata kakek dan nenek itu menempati apartemen yang sama dengannya.

Amazing! Ternyata mereka satu apartemen denganku!” seru Radit sambil menjetikkan jarinya. Ia merencanakan sesuatu.

Dahaga yang dirasakannya kembali datang. Kali ini diiringi keroncongan suara perut yang mulai lapar. Radit pun menghampiri sebuah kafetaria di sekitar taman. Tak lupa Radit menelepon Mang Udin untuk mengajaknya makan bersama. Saat itu, Mang Udin sedang asyik mengobrol dengan sesama sopir di dekat tempat parkir apartemen. Tentunya setelah selesai menjalankan tugas, yaitu mengecek keadaan mobil Radit karena mobil itu akan digunakan ke perkebunan teh yang medannya cukup menantang.

Lihat selengkapnya