Alarm di kamar Radit berbunyi cukup kencang. Alarm itu tidak hanya membangunkan Radit, tapi juga Mang Udin. Saat itu, jam menunjukkan pukul 04.00 WIB. Radit segera bangun dan melafalkan doa. Radit kemudian beranjak dari tempat tidurnya untuk membuka jendela kamarnya. Di luar tampak masih gelap. Namun, udaranya begitu segar. Radit bersyukur kepada Yang Maha Kuasa karena masih memberikannya kesempatan untuk bernapas, menghirup oksigen, dan menjalani kehidupan.
Radit terbiasa menjalankan tahajud, karena sedari kecil itulah yang diajarkan padanya. Mengadu pada Sang Pencipta adalah solusi bagi dirinya dalam menghadapi segala permasalahan. Radit bersimpuh di atas sajadahnya sampai azan Subuh berkumandang. Setelah terdengar azan, Radit bergegas ke masjid. Pagi itu, Radit begitu bersemangat. Ia ingin segera ke perkebunan. Sejak semalam, Radit sudah membayangkan sejuknya udara di perkebunan teh jika pergi pagi-pagi dari sini. Titik-titik embun membasahi dedaunan teh yang hijau, udara yang masih dingin menusuk kulit namun menyegarkan, dan menghirup aroma teh yang bagaikan aromaterapi menyehatkan. Mungkin ini sederhana bagi orang lain, tapi bagi dirinya, ini adalah segalanya. Radit mencintai hal-hal kecil yang membuatnya tidak lepas dari rasa terima kasih.
Saat akan masuk lift sepulang dari masjid, sejenak Radit memandangi kamar Kakek Panji dan Nenek Sarma. Entah kenapa, Radit rasanya berat meninggalkan mereka. Namun, ia harus menjalankan tugas dari ayahnya. Itulah tujuan awal dia dan Mang Udin ke Parahyangan.
“Kek, Nek, Radit pasti akan merindukan kalian. Radit juga akan selalu ingat nasihat kakek dan nenek”, ucapnya dalam hati sambil terus memandangi puntu apartemen kedua orang tua yang kini menjadi panutannya.
Radit pun masuk ke kamarnya dan bersiap-siap untuk pergi ke kebun teh. Radit memakai pakaian kasual. Kaos lengan pendek berkerah warna army, celana PDL berbahan kanvas dilengkapi aksesori topi dan kacamata hitam. Tas kecil berbahan kulit berisi handphone dan dompet melingkar di pinggangnya. Tak lupa Radit membawa kamera digital untuk mendokumentasikan momen unik yang ditemuinya. Radit mirip sekali dengan papahnya. Tubuhnya tegak dengan gaya rambut yang rapi. Ia melangkah dengan percaya diri.
Mang Udin telah selesai membersihkan mobil mewah tuannya sehingga tampak mengkilap. Mang Udin memang benar-benar sangat cekatan dan berseka. Mang Udin juga sangat hafal pada karakter Radit yang tidak suka jika mobilnya tampak kotor dan berdebu. Ia tahu betul bagaimana laki-laki muda itu mencintai kebersihan.
“Pagi, Mang!”
“Wilujeung Enjing, Den”
Radit tersenyum mendengar sapaan khas Mang Udin yang kental dengan logat Sundanya yang halus. Radit lalu naik ke mobilnya. Ia duduk di samping Mang Udin. Setelah merasa nyaman, Radit segera memasang safety belt sebelum alarm otomatis mobilnya berteriak-teriak karena kealpaannya memasang perangkat itu.
“Mumpung masih pagi, kita langsung meluncur ke kebun teh, Mang”, perintahnya tegas pada sopirnya yang selalu berpenampilan rapi.
“Siap, Den!”, sambil menginjak gas mobil perlahan, makin kencang dan kencang, tapi tetap memberikan kenyamanan untuk sang majikan.
“ O ya Mang Udin belum lapar, kan? Kalau belum, kita sarapan di sana. Tapi, kalau cacing di perut Mang Udin udah meronta-ronta, kita cari restoran dulu, Mang.”, ucap Radit yang begitu perhatian pada sopirnya.
“He...he...belum, Den. Kita sarapan di sana saja. Sayang melewatkan pemandangan pagi di perkebunan, Den.”, ucapnya yang ternyata satu pemikiran dengan Radit.
“Mang Udin teh kangen udara pagi di kebun. Rasanya sudah lama sekali Mang Udin gak pulang kampung, Den. Kalau di kampung, pulang dari musala, Mang Udin suka menyusuri kebun teh. Wah nikmat, Den. Rasanya bahagia sekali. Masalah yang dihadapi seolah lupa, Den!”, tuturnya.
“Emang Mang Udin juga pernah punya masalah?”, canda Radit.
“Namanya orang hidup, Den. Pasti ada aja masalahnya. Padahal Mang Udin mah gak pernah nyari masalah. Sieun (takut), Den!”, ucapnya sambil menyeringai.
Tapi, ya begitulah Den. Masalah teh datang sendiri tanpa diundang”, ucap Mang Udin dengan polosnya.
“Mang...Mang, ya ngapain juga nyari masalah, Mang. Itu dia, Mang. Gak dicari juga masalah datang sendiri”, seru Radit sambil menggelengkan kepalanya dan tertawa tipis.
Radit memang seorang kaya yang berwibawa. Namun, ia benar-benar sangat rendah hati. Radit selalu mengawali percakapan dengan sopir setianya. Sambil mengobrol dengan Mang Udin, Radit menekan tombol tape mobilnya.
“Enak juga nih lagunya, Mang. Pas sekali mendengarkan lagu ini sambil menelusuri kebun teh yang hijau, apalagi kalau ditemani gadis desa yang lugu dan cantik...Ha....ha...ha”, gumamnya sambil tertawa lepas mendengarkan lagu berjudul Negeri di Awan yang dinyanyikan Katon Bagaskara dengan suara khasnya.
“Den Radit mah aya-aya wae”, Mang Udin hanya senyum-senyum menanggapi celotehan dan gelak tawa tuannya.
“O, ya jangan salah, Den. Meskipun kampung Mang Udin di tengah perkebunan, gadis di sana teh cantik-cantik, Den. Mereka mah polos, sederhana, dan alami. Gak kayak di kota. Banyak polesan, Den. Punten Den, Mang Udin mah seneng heureuy (bercanda)!”, ucapnya sambil menahan tawa.
“Gak apa-apa, Mang. Hidup jangan telalu serius, Mang. Bisa stres!”, seru Radit sambil menepuk bahu Mang Udin yang sedang menyetir dengan santai.
Tak berapa lama kemudian,
“Hem...sampai juga kita, Mang”,
Radit yang masih lajang merupakan seorang Insinyur Pertanian sehingga kemahirannya dalam bercocok tanam tidak diragukan lagi. Ia juga sering memberikan penyuluhan kepada para petani teh di Parahyangan. Namun, tujuan Radit ke Parahyangan saat ini bukan untuk memberi penyuluhan kepada para petani. Ia hanya diminta ayahnya untuk mengontrol perkembangan tanaman tehnya menjelang panen beberapa pekan ke depan.
Suasana di perkebunan berbeda sekali dengan di kota. Saat itu kabut masih menyelimuti perkebunan teh. Radit pun menuju balai bambu di tengah perkebunan. Dari kejauhan, perkebunan itu terhampar luas bagaikan permadani hijau yang dibentangkan. Radit telah sampai di tempat sederhana yang terbuat dari kayu dan bambu dengan atap jerami. Di tempat yang khas aroma bambu dan daun teh telah disediakan beberapa kursi santai khusus untuk keluarga Pak Hadian jika mereka mengunjungi perkebunan.
“Den, ieu aya suguhan ti ibu-ibu” (Den, ini ada makanan dari ibu-ibu).
Seorang ibu parah baya membawakan camilan yang telah disiapkan ibu-ibu petani untuk Radit. Ada rebusan pisang, ubi, kacang tanah, dan minuman bandrek. Radit sangat menyukai camilan dan minuman tradisional itu.
“Mantap!”, aroma bandrek yang khas menelusup lubang hidungnya.
Radit pun menyeruput sedikit demi sedikit minuman itu. Jahe parut yang terlarut dalam minuman bandrek menghangatkan tubuhnya. Pagi itu, udara di sekitar kebun teh sangat dingin karena masih diselimuti embun.
Mata Radit menerawang sela-sela kabut yang sedikit mengaburkan pandangannya. Tampak caping-caping para petani berwarna warni yang menyembul di antara hamparan hijaunya dedaunan teh yang luas. Sesekali ia mengupas rebusan kacang tanah dan mengunyahnya dengan semangat, kemudian kembali menyeruput minuman agar tenggorokannya tidak tersedak.
Radit belum sempat menyeruput minuman menyegarkan itu untuk mendorong kacang tanah di mulutnya. Cangkir dari batok kelapa baru saja mendarat di bibirnya. Radit terperangah pada seseorang, sosok yang benar-benar menyita perhatiannya saat itu.
Gadis desa yang lugu tengah memetik teh dengan sangat cekatan sambil sesekali bersenandung. Tubuhnya tinggi semampai. Kulitnya kuning bersih. Pakaiannya sederhana layaknya para petani lainnya. Gadis itu mengenakan kain yang dibalutkan di pinggang rampingnya dengan panjang selutut. Ia juga memakai caping dari anyaman bambu berhiaskan lukisan mawar merekah. Sesekali ia bercanda dengan temannya. Senyumnya sangat manis.
Mata Radit tak berkedip beberapa saat. Ia terus memandangi gadis desa itu sambil memegangi gelas dari batok kelapa yang diampelas halus berisi bandrek.
“Den, diminum bandreknya. Kalau sudah dingin kurang nikmat nanti”, ujar Mang Udin.
Radit tidak bergeming.