Setelah rutin memohon petunjuk dari Yang Maha Membolak-balikkan hati, perasaan cinta Radit kepada Lina makin dalam. Sementara di Parahyangan ini, waktunya tinggal dua pekan lagi. Radit sangat bingung. Radit rasanya berat untuk meninggalkan tanah Parahyangan. Radit berniat ingin mengungkapkan perasaaanya kepada Lina sebelum ia kembali ke Jakarta.
“Bagaimana ya caranya agar aku dapat mengutarakan isi hatiku pada Lina”
“Hem...tak hanya itu. Aku juga ingin mengungkapkan keinginanku untuk menjalin hubungan sampai pada tahap yang lebih serius, menikah” Radit terus bermonolog sambil mondar-mandir. Sesekali ia menatap plafon.
Radit termasuk seorang yang tidak suka basa basi atau bertele-tele. To the point. Namun, tak mungkin Radit berterus terang kepada orang tuanya. Papahnya pasti akan marah besar. Radit pun berniat hendak membicarakan hal ini kepada Mang Udin. Sopir pribadinya itu sudah ia anggap sebagai orang tua sendiri.
“Mang, saya ingin ngobrol sebentar”, ajak Radit kepada sopirnya yang sedang santai menyimak berita. Mang Udin memang selalu update berita.
“Oh, mangga. Maaf sebelumnya, Den. Den Radit kok seperti orang bingung begitu”, selidik Mang Udin.
“Ada apa, Den?”, tanya Mang Udin sambil terus mengamati kondisi majikannya yang tampak gelisah.
“Iya, Mang saya memang sedang gelisah. Itulah sebabnya saya mengajak Mang Udin ngobrol. Saya mau meminta pertimbangan Mang Udin atas masalah saya”, Radit diam sejenak.
“Den, masa iya Den Radit minta pertimbangan ke seorang sopir seperti Mang Udin”, Mang Udin ragu.
“Gak apa-apa, Mang. Radit udah nganggap Mang Udin seperti orang tua Radit juga”, ucap Radit merendah.
“Tapi, Den. Gimana nanti kalau salah ngambil keputusan? Mang Udin mah sieun (takut) merasa bersalah”, ucap Mang Udin.
“Tenang aja, Mang. Kalau itu nanti jadi urusan Radit”, Radit menenangkan Mang Udin.
Mang Udin hanya terdiam. Radit berusaha meyakinkan sopirnya itu. Akhirnya Mang Udin pun bersedia melibatkan diri pada masalah yang dihadapi putra majikannya itu.
“Ya udah, Den. Sok cerita ke Mang Udin”, ucapnya dengan lebih tenang dan menampakkan sikap yang bijak.
“Mang Udin pasti sudah tahu kan kalau saya mencintai Lina?”, Radit memastikan kepada sopirnya.
“Iya, Den. Mang Udin sudah tahu sejak pertama kali Den Radit melihat Neng Lina. Dari tatapan Den Radit ke Neng Lina, Den Radit teh sepertinya tertarik”, Mang Udin mengawali tanggapannya.
“Terus memangnya Den Radit punya rencana apa?”, tanya Mang Udin menyelidik.
“Saya ingin mengungkapkan perasaan saya kepada Lina, Mang.
“Secepat itu, Den?”, Mang Udin sedikit terkejut.
“Yap”, jawab Radit mantap.
“Apa Den Radit sudah memikirkannya lebih jauh? Terus bagaimana nanti urusannya dengan Tuan Hadian?”, tanya Mang Udin bingung sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Tentu, Mang. Jika saya memutuskan sesuatu berarti saya sudah memikirkannya.”, ucapnya yang kemudian diam sejenak.
“Mengenai papah dan mamah, saya mohon kepada Mang Udin. Tolong rahasiakan hal ini kepada mereka untuk sementara waktu”, pinta Radit kemudian.
“Ba...baik, Den. Lalu kapan rencananya Den Radit akan menemui Neng Lina?”, tanya Mang Udin dengan sedikit ragu campur bingung.
“Apa Mang Udin bisa mengatur pertemuan saya dengan Lina besok pagi?”, tanya Radit semangat.
“Siap, Den. Besok, saya akan bicara dulu ke Neng Lina kalau Den Radit ingin ngobrol. Bukan begitu, Den?”, tanya Mang Udin memastikan sambil mengedipkan matanya, genit.
“Cerdas sekali Mang Udin ini...ha...ha...ha”, seru Radit sambil tertawa menampakkan gigi putihnya yang berbaris rata dan lesung pipinya yang menggoda.
Esok harinya, setelah salat Subuh Radit sudah bersiap-siap untuk pergi ke kebun teh. Radit tidak ingin kesiangan untuk mengukir sejarah berharga dalam hidupnya pagi ini. Ia mengenakan kaos oblong putih dilapisi sweater woll berwarna marun dan celana berbahan katun warna hitam. Asesoris lainnya tentu saja tak ketinggalan, seperti jam tangan rolex dan topi berwarna hitam dengan tulisan huruf “R”. Tak lupa ia menyempotkan sedikit parfum Paris dengan aroma yang lembut, namun tetap menunjukkan sisi maskulin di bajunya. Ia pun menuju lift dengan semangat. Mang Udin juga sudah siap di parkiran mobil.
“Ayo, Mang. Saya sudah tidak sabar nih!”, seru Radit.
Mang Udin tidak menaggapi ucapan tuannya. Ia hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.
“Hem anak muda yang sedang jatuh cinta”, ucap Mang Udin dalam hati.
Mang Udin tak punya pilihan lain, kecuali mengikuti saja apa yang diinginkan tuan mudanya. Walaupun Radit mengatakan kalau dirinya telah dianggap sebagai orang tua yang berhak memberinya nasihat untuk memutuskan sesuatu, tapi Mang Udin tidak berani lancang. Selama yang dilakukan Radit tidak merugikan orang lain di kampung itu, Mang Udin tetap mendukungnya.
“Den, apa Den Radit benar-benar serius pada Neng Lina?”, Mang Udin memberanikan diri bertanya Pada Radit.
“Mang Udin teh kasian kalau nanti Neng Lina berharap banyak pada Den Radit. Ternyata Den Radit hanya menyukainya sesaar saja”, kali ini Mang Udin mulai mengingatkan.
“Soal itu, Mang Udin gak usah khawatir. Radit bukan tipe orang yang suka memberi harapan palsu kepada perempuan, Mang. Apalagi kalau perempuan itu juga tulus menerima cinta Radit”, Radit berusaha meyakinkan Mang Udin.
“Radit paham kalau Mang Udin mengkhawatirkan Lina. Radit juga gak tega menyakiti dia, Mang. Dia perempuan yang baik dan sangat polos”, puji Radit.
Tak berapa lama kemudian, sampailah Mang Udin dan Radit di permukiman sekitar kebun teh.
“Den Radit tunggu di sini dulu, ya. Mang Udin mau ke rumah Neng Lina”, ucap Mang Udin dengan sigap setelah memarkirkan mobilnya di dekat tempat peristirahatan.
“Baik, Mang. Sukses, Mang!”, seru Radit sambil mengedipkan sebelah matanya dan mengangkat jempolnya.
Saat Mang Udin menuju rumah Lina, Radit berjalan ke balai bambu, tempat yang biasa digunakan untuk beristirahat. Pagi itu benar-benar sepi. Kebetulan para petani juga sedang libur. Itulah sebabnya Radit memanfaatkan momen ini. Radit tidak ingin banyak orang yang melihat dirinya bercakap-cakap dengan Lina kemudian menimbulkan fitnah di kampung itu. Radit tetap ingin menjaga nama baik keluarganya dan juga keluarga Lina.
“Hem pagi yang indah. Embun pagi masih menyelimuti dedaunan”, seru Radit yang tiba-tiba puitis karena sedang dimabuk cinta sambil menyandarkan pundaknya di bambu yang ada di menopang gubug itu.
Di sisi lain, Mang Udin sudah sampai di rumah Lina. Mang Udin kemudian mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Kebetulan sekali yang membuka pintunya Lina sendiri. Lina membalas salam Mang Udin dengan ramah.
“Eh, Mang Udin. Ada apa Mang pagi-pagi sudah sampai di sini? Bukannya hari ini libur, ya?, tanya Lina agak bingung.
“A...anu, Neng. Den Radit ingin bicara sama Neng Lina. Dia menunggu Neng Lina di balai bambu”, Mang Udin menjelaskan maksud kedatangannya ke perkebunan.
“Jadi, kedatangan Den Radit kali ini bukan untuk mengontrol perkebunan atau daun teh, Neng. Khusus untuk menemui Neng Lina”, ucap Mang Udin lagi.
“Aduh, ada apa, ya? Apa saya melakukan kesalahan, Mang?”, tanya Lina sedikit ketakutan.
“Rasanya sih selama Den Radit di sini saya gak melakukan hal-hal yang aneh, Mang”, Lina berusaha mengingat-ingat.
“Mang Udin tidak tahu, Neng. Lebih baik Neng Lina temui saja Den Radit di sana supaya lebih jelas”, Mang Udin menyarankan. Ia tidak berani mendahului menjelaskan ungkapan hati majikannya kepada Lina.
“Baiklah, Mang. Saya ganti baju dulu ya, Mang. Masa mau bertemu bos besar pakai daster begini.”, seru Lina sambil memegang baju tidur berbahan katun Jepang yang dipakainya.
“Untung saja saya sudah mandi, Mang”, ucapnya lagi dengan ramah.
“Iya, Neng. Ditunggu secepatnya ya, Neng”, seru Mang Udin sambil menunggu Lina di teras.
Mang Udin menunggu Lina dengan gelisah. Mang Udin sangat hafal dengan karakter majikannya. Jika ada keinginan, terkadang tak sabar menunggu. Ingin secepatnya terlaksana. Untunglah tak lama kemudian, Lina pun muncul di hadapan Mang Udin yang sedang bolak balik melihat jam di tangannya.
“Alhamdulillah, Neng Lina sudah siap”, Mang Udin tampak lega.
“Kan saya bilang cuma sebentar, Mang. Alhamdulillah saya sudah makan dan sarapan”, ucap Lina menenangkan Mang Udun.
“He...he..iya, Neng!”, tukasnya yang sedikit malu karena terkesan membuat Lina menjadi terburu-buru.
Pagi itu, Lina tampak anggun. Benar-benar cantik alami. Lina tidak memakai kosmetik yang berlebihan layaknya para wanita kota yang glamour. Lina pun pergi menuju balai bambu didampingi Mang Udin. Sepanjang jalan, pikiran Lina dipenuhi prasangka karena ia sama sekali tidak tahu alasan putra majikannya tiba-tiba memanggilnya. Lina sangat khawatir kalau saja ia dipecat menjadi pegawainya, tentu ia harus mencari kerja ke kota, sementara orang tuanya tak pernah mengizinkan putri satu-satunya itu merantau ke kota.
Dari kejauhan, Radit sudah terlihat memandangi Lina yang sangat cantik dan polos. Lina makin mendekat. Jantung Radit terasa berdebar cepat. Lina mendekat lagi. Pakaian Lina sangat sopan. Giginya yang putih melemparkan senyuman lugu yang memikat. Kulitnya yang kuning bersih tampak bersinar di antara embun pagi. Radit benar-benar terpukau melihat Lina saat itu. Setelah dipertemukan dengan Radit, Mang Udin berpamitan. Mang Udin menunggu di mobil sambil mendengarkan berita pagi. Awalnya Lina keberatan saat Mang Udin akan meninggalkannya hanya berdua dengan Radit. Namun, Mang Udin berusaha mengurangi rasa takut Lina dengan mengatakan bahwa dia akan mengawasinya dari dalam mobil. Mang Udin paham tidak mungkin dia berada di tengah obrolan mereka berdua.
“Assalamu’alaikum, Den”, Lina memulai pembicaraan dengan ucapan salam
Radit membalas salam Lina disertai senyuman hangat.
Maaf, Den. Den Radit teh ada perlu apa ya memanggil saya? Apa saya melakukan kesalahan, Den?”, tanya Lina yang tampak penasaran.
Radit hanya tersenyum mendengar pertanyaan Lina yang bertubi-tubi.
“Apa kabar, Lina?”, Radit mencoba menyapa Lina dengan santai untuk mencairkan suasana.