Sore harinya, Radit kembali ke hotel dengan wajah berseri-seri. “Sebentar lagi, pernikahanku dengan Lina akan berlangsung”, seru Radit sambil bertelanjang dada merebahkan tubuhnya yang atletis di tempat tidur sambil membayangkan wajah Lina yang lugu.
Selanjutnya, ia berjalan menuju kamar mandi dan membenamkan tubuhnya di bathtub yang dipenuhi air hangat dengan busa sabun yang berlimpah. Radit masih membayangkan Lina sambil memainkan gelembung sabun yang memenuhi bathtub di kamar hotelnya. Semakin lama, air hangat itu mulai dingin. Radit mengangkat tubuhnya dari genangan air itu dan membersihkannya. Radit merasa segar dan bahagia sore itu.
Demikian juga dengan Lina di rumah sederhananya yang terletak di perkebunan teh. Lina duduk di teras rumahnya sambil memandangi lembayung senja sore itu yang hampir tenggelam. Lembayung itu seolah makin hilang secara perlahan di sela-sela perpaduan warna antara hijaunya daun-daun teh dan awan yang memerah. Benar-benar pemandangan yang sangat menakjubkan.
“Hem, kalau saja Lina punya kamera canggih seperti Den Radit, ingin sekali mengabadikan pemandangan ini”, ujarnya.
Saat melihat pemandangan yang indah itu, Lina tiba-tiba teringat pada Radit. Lina kemudian senyum-senyum sambil membayangkan rayuan Radit yang terkadang seperti gombal belaka. Lina tahu putra majikannya itu seorang yang serius dan sangat berwibawa. Aneh sekali jika dia melakukan hal konyol saat jatuh cinta. Kata-kata Radit telah membius Lina. Ia merasa menjadi perempuan paling istimewa saat itu.
“Masa iya ya Den Radit jatuh cinta pada gadis kampungan seperti aku ini?”, tanyanya dalam hati.
“Aku takut kalau ternyata nantinya aku terlalu berharap dan hanya bertepuk sebelah tangan, sementara Den Radit hanya bercanda saja mengungkapkan itu”, Lina melamun.
Di tengah lamunannya, Lina dikagetkan oleh kedatangan ibunya.
“Mikiran naon atuh, Neng? (Mikirin apa, Neng?), tanya Bu Ida.
Lina gugup saat ditanya ibunya seperti itu. Ia takut salah menjawab. Lina pun berkelit kalau ia sedang memikirkan kondisi temannya yang tadi pagi dipatok ular di perkebunan.
“Oh, Neng Sari? Tadi mah kata Mang Udin Neng Sari udah sehat lagi. Alhamdulillah” seru Bu Ida.
“Oh, syukur atuh, Bu. Lina teh kaget pas denger Neng Sari menjerit”, ucap Lina merekayasa apa yang sebenarnya sedang dipikirkannya.
“Iya, untung Neng Sari secepatnya dibawa ke Puskesmas, dan ternyata kata Pak Mantri mah bukan ular berbisa juga. Jadi, masih aman.”, Bu Ida menceritakan.
“Alhamdulillah, Neng Sari teh sobat (sahabat) Lina, Bu. Makanya Lina khawatir sekali tadi”, ujarnya lagi.
Beberapa saat kemudian, Lina kembali tersenyum sendiri dengan pandangan kosong, seperti tidak menyadari kalau ibunya masih ada di dekatnya dan memperhatikan gerak geriknya.
“Hey, Lina teh kunaon? Seuri sorangan asa pikahariwangeun (Hey, Lina kenapa? Ketawa sendiri jadi mengkhawatirkan)”, selidik Bu Ida yang sebenarnya sudah mulai curiga bahwa Lina sedang memukirkan sesuatu sejak putrinya duduk di teras sendirian sambil memandangi langit. Tak biasanya Lina seperti itu.
“Mikiran Den Radit, ya?”, Bu Ida makin penasaran.
Saat itu, Lina sudah tak bisa lagi membohongi ibunya. Ia pun mengangguk sambil tersipu.
“Lina...Lina...!”, ucap Bu Ida sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Bu, apa menurut ibu Den Radit teh bener-bener menyukai Lina?”, Lina meminta pendapat ibunya sambil bersandar ke pundak ibunya.
“Menurut Lina kumaha (gimana)?” Bu Ida balik bertanya.
“Ibu mah, ditanya teh malah balik nanya”, Lina cemberut.
Bu Ida pun kemudian menasihati putri semata wayangnya. Bu Ida meminta Lina agar menanggapi pernyataan Radit biasa saja. Jangan terlalu dimasukkan ke hati. Bu Ida khawatir Lina terhanyut begitu dalam dengan perasaannya. Akhirnya Lina salit hati jika ternyata apa yang diucapkan Radit padanya tidak serius. Namun, Bu Ida akan senantiasa mendoakan yang terbaik bagi putrinya.
Lina hanya menyimak nasihat ibunya dan menanggapinya dengan anggukan dan pelukan pada sang ibu.
Saat sedang asyik mengobrol di teras, terdengar azan Magrib dari surau yang tak jauh dari rumahnya. Lina berpamitan karena setiap ba’da Magrib sampai Isya, ia dan teman-teman lainnya di perkebunan belajar mengaji bersama Ustaz Hamdan. Bu Ida senang sekali karena putrinya itu sangat rajin bekerja dan belajar agama.
“Lin, jangan lupa minta doa ke Pak Ustaz buat kesembuhan Neng Sari”, Bu Ida mengingatkan.
“Iya, Bu siap!”, ujarnya sambil memberi hormat pada ibunya.
“Budak teh aya-aya wae! (Ini anak ada-ada aja!)”, umpat sang ibu.
Lina lalu mengucapkan salam yang kemudian dibalas oleh ibunya. Baru saja Lina membuka pintu pagar rumahnya yang terbuat dari bambu, teman-temannya yang hendak pergi ke surau pun melewati rumahnya. Mereka kemudian pergi bersama-sama.
Setelah salat Isya berjemaah, Lina dan teman-temannya berhamburan keluar dari surau. Ada laki-laki dan perempuan. Kebersamaan di kampung itu masih sangat terasa. Begitu juga saat akan ke perkebunan. Mereka memetik teh bersama-sama. Pendidikan sekolah di kampung itu bukanlah hal yang utama sehingga lulusan SMA sudah dikatakan termasuk berhasil meraih pendidikan tinggi. Selanjutnya, mereka bekerja di kebun atau di pabrik teh. Begitu juga dengan Lina dan teman-temannya. Namun, adab di kampung itu sangat diperhatikan. Mereka begitu ramah dan sopan. Nilai-nilai kejujuran pun sangat ditekankan. Hal itu karena penduduk di daerah perkebunan tempat Lina tinggal termasuk religius.
Sepulang dari masjid, Lina yang sedang tenggelam dalam khayalannya bersama Radit, mendapat telepon dari seseorang. Lina segera mengangkatnya. Lina sangat berharap itu telepon dari Radit. Ternyata dugaannya salah. Suara di seberang sana memang seorang laki-laki, tapi bukan Radit.
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikum salam”
“Punten, Neng Lina. Saya asistennya Pak Radit. Saya mau memberi tahu kalau Pak Radit...
“Den Radit kenapa, Pak? “
“Pak Radit, ba’da Magrib tadi mengalami kecelakaan, Neng”
“Terus keadaannya gimana, Pak?”
“Pak Radit langsung dibawa ke Rumah Sakit Harapan Sehat, Neng?”
“Inna lillahi ..keadaan Den Radit gimana, Pak?
“Sampai saat ini, beliau masih belum sadar, Neng!”
“Astagfirullah”
Setelah menerima telepon dari orang yang mengaku asistennya Radit, Lina merasa sangat lemas dan panik. Ia segera meminta izin kepada ibunya untuk menjenguk Radit ke rumah sakit.
Awalnya Bu Ida bingung untuk memutuskan apakah mengizinkan putrinya pergi atau tidak. Namun, keadaannya sangat mendesak. Lina juga terus membujuknya.
“Lina akan ditemani Mang Jaja, Bu”, rengeknya.
“Lina khawatir pada keadaan Den Radit, Bu”
Tanpa berpikir panjang, Bu Ida mengizinkan Lina pergi dengan Mang Jaja yang merupakan adik dari Pak Rohim. Kebetulan saat itu Pak Rohim sedang tidak berada di rumah. Pak Rohim masih mengobrol dengan para jemaah di surau. Mereka membicarakan tentang rencana renovasi surau yang dananya akan ditanggung oleh Pak Hadian.
Malam itu, bulan bersinar sangat terang. Anak-anak tampak ceria bermain di lapangan. Ada yang bermain lompat tali, ada yang sekadar berkejar-kejaran. Ada pula yang asyik bernyanyi dan bermain seruling.
Orang tua mereka mengawasi di pinggir lapangan sambil botram istilah di kampung itu yang artinya makan bersama. Masing-masing membawa makanan dari rumah. Ada yang membawa nasi liwet, tahu dan tempe goreng, pepes ayam dan sambal, ada juga yang hanya membawa lalaban dan kerupuk. Namun, semua sangat kompak. Mereka menikmati hidangan yang digelar di sisi lapangan dengan nikmat.
Hal itu berbeda dengan apa yang dirasakan Lina. Di malam yang indah itu, hati Lina sangat gundah. Pikirannya tertuju pada Radit yang belum lama ini menyatakan perasaan cinta padanya. Kini, ia harus menerima kabar buruk tentangnya. Pikiran Lina mengembara dengan sangat liar. Ia takut sekali Radit yang sampai saat ini belum juga sadar ternyata nyawanya telah melayang. Kalaupun sudah sadar, Lina khawatir Radit terluka parah, bahkan mengalami kecacatan fisik. Lina berusaha mengusir bayangan-bayangan buruk tentang Radit yang hinggap di pikirannya.
“Semoga Den Radit baik-baik saja....Tolonglah hamba ya Allah”, ucapnya lirih sambil memejamkan matanya.