Fatamorgana

Layaly
Chapter #6

Persahabatan

Seminggu kemudian, tiba saatnya panen. Para petani tampak sibuk memetik teh. Di balik kesedihan yang dirasakannya, Radit merasa senang dengan hasil panen tehnya yang melimpah. “Aku akan memberi kabar kepada papah dan mamah. Mereka pasti senang”, seru Radit.

Baru saja Radit akan menghubungi papahnya, ternyata papahnya yang sudah menelepon lebih dulu. “Assalamu’alaikum, Radit kamu di mana, Nak? Papah sudah berada di lobi hotel tempatmu menginap”, seru papahnya dalam sambungan telepon. Gaya bicaranya mirip sekali dengan Radit. To the point, tidak banyak basa-basi dan suka memberi kejutan.

Radit sangat terkejut papahnya sudah ada di hotel. Saat itu Radit sedang berada di rumah sakit untuk menemani Lina. “Wa’alaikum salam. Radit sedang di rumah makan, Pah. Sebentar lagi Radit meluncur ke hotel”, Radit terpaksa berbohong.

“Baiklah Papah istirahat dulu di sini. Kamar Papah dan Mamah nomor 357, tak jauh dari kamarmu, Nak!”, seru Pak Hadian seraya mengambil kunci kamarnya.

“Baik, Pah. Sampai ketemu!”, ucap Radit singkat.

Radit segera berpamitan kepada Lina meskipun tak mendapat jawaban apa-apa darinya. Lina masih membisu. Namun Radit yakin kehadirannya, ucapannya, dan perlakuannya akan membuat Lina merasa nyaman dan berharga. Radit dapat merasakan itu karena sesekali Lina menatapnya. Seolah Lina ingin mengatakan sesuatu, namun tak terungkapkan melalui kata, hati yang berbicara.  

“Ayo, Mang kita segera meluncur ke hotel”, seru Radit kepada Mang Udin dengan gaya khasnya.

Sesampainya di hotel, Radit segera mandi dan bersiap untuk menikmati camilan dan minuman hangat di sore hari bersama papah dan mamahnya. Handphone Radit berdering.

Assalamu’alaikum. Dit, Papah dan Mamah sudah menunggumu di lantai atas, ya!”, ucap Pak Hadian singkat.

Ternyata papahnya sudah menunggu di rooftop sambil menikmati pemandangan. Radit pun segera menuju ke sana. Mereka mengobrol dengan santai tentang perkebunan teh, pabriknya, kemudian dilanjutkan dengan Tiara, perempuan pilihan papahnya.

 

Ketika sampai pada titik pembicaraan tentang Tiara, Radit mulai merasa tidak nyaman. Terlebih saat papah dan mamahnya terus memuji Tiara.

“Dit, katanya Tiara lulus dengan predikat cumlaude, lho. Dia memang pintar padahal saingannya sangat berat”, seru papahnya.

“Selain cerdas, Tiara juga cantik ya, Pah?”, sambung mamahnya.

“O iya tentu, dong. Penampilannya sangat elegan, gaya bicaranya santun, dan terlihat intelek. Intinya dia sangat pantas menjadi Nyonya Raditya Putra Hadian...Ha...ha...ha...”, seru papahnya diikuti gelak tawa seperti gaya Radit jika sedang menceritakan apa yang ada dalam bayangan indahnya. 

Mendengar komentar papah dan mamahnya tentang Tiara, Radit hanya tersenyum dingin. Radit tidak menunjukkan jika dirinya antusias terhadap Tiara. Hal itu membuat papahnya penasaran mengenai perasaan Radit terhadap Tiara.

 “Bagaimana perasaanmu kepada Tiara, Dit? Masa gadis secantik dan secerdas dia tidak membuatmu tertarik?”, tanya papahnya.

“Hem...mungkin saat ini Radit belum merasa tertarik pada Tiara, Pah”, jawab Radit.

“Dit, rasa cinta terkadang muncul tanpa kita duga. Jalani saja dulu prosesnya. Semakin kamu sering bertemu Tiara, pasti akan timbul ketertarikan. Papah yakin itu karena Tiara gadis yang sangat istimewa”, Pak Hadian berusaha meyakinkan Radit.

Radit kembali tersenyum. Namun baginya Tiara hanyalah gadis kota dengan gaya hidup yang glamor, manja, dan selalu ingin diperlakukan istimewa. Maklum, dari kecil Tiara memang dibesarkan dalam keluarga kaya. Semua keinginannya selalu dipenuhi oleh kedua orang tuanya. Tiara bukan gadis yang mandiri karena sepanjang hidupnya selalu dilayani oleh asisten rumah tangga. Radit tak dapat membayangkan jika hidup dengan Tiara kemudian diuji oleh suatu musibah atau keadaan yang tidak sesuai harapannya. Radit yakin Tiara tidak akan kuat.

Bayangan Radit kemudian tertuju pada Lina. Ia sangat sederhana, sabar, dan pekerja keras. Radit yakin dia lebih pantas untuk menjadi ibu dari anak-anaknya kelak. Namun, Radit sedih jika mengingat kondisi Lina saat ini. Radit sangat berharap Lina bisa sembuh, meskipun pasti tak seceria dulu karena peristiwa tragis yang dialaminya. 

“Kok kamu malah bengong seperti itu, Dit. Ada apa, Nak. Kamu baik-baik saja, kan?”, pertanyaan mamahnya membuyarkan lamunan Radit tentang Lina.

“Radit baik-baik saja kok, Mah!”, jawab Radit singkat.

Setelah itu, Radit pamit kepada orang tuanya untuk ke kamar. Radit merasa kepalanya sedikit pusing. Radit suka merasa seperti itu setiap membahas tentang Tiara dan ambisi orang tuanya untuk menjodohkannya dengan gadis itu.

Pak Hadian dan istrinya merasa ada yang disembunyikan oleh Radit saat ini. Mereka menjadi penasaran.

“Mah, bagaimana kalau kita menanyakan tentang Radit kepada Mang Udin. Bukankah selama ini dia selalu mendampingi Radit?”, ajak Pak Hadian kepada istrinya.

“Ide bagus, Pah. Sekarang, coba papah suruh Mang Udin menemui kita setelah salat Magrib nanti”, pinta Bu Dita kepada suaminya.

Pak Hadian menyetujui saran istrinya. Ia pun menghubungi Mang Udin.

Setelah salat Magrib, Mang Udin pun menemui Pak Hadian di coffee shop hotel.

Assalamu’alaikum, Tuan, Nyonya”, sapa Mang Udin saat bertemu Pak Hadian dan istrinya.

Wa’alaikum salam. Sini, Mang. Silakan duduk. Saya pesankan kopi ya, Mang?”, ucap Pak Hadian ramah.

“Terima kasih, Tuan”, jawab Mang Udin sambil duduk di hadapan Pak Hadian dan istrinya.

“Maaf, sebenarnya ada apa ya Tuan memanggil saya?, tanya Mang Udin.

“Saya hanya ingin ngobrol sama Mang Udin terkait putra saya”, seru Pak Hadian.

Mendengar pernyataan tuannya, Mang Udin merasa tegang. “Pasti Tuan Hadian ingin mengorek informasi tentang Den Radit. Aduh gawat ini. Saya harus menjawab apa, ya”, gumam Mang Udin dalam hati yang sudah menebak isi kepala tuannya.  

“Mang Udin, saya ingin tahu sesuatu. Selama Mang Udin mendampingi Radit, apakah Radit memiliki teman dekat perempuan yang dianggapnya istimewa?”, tanya Pak Hadian.

Mang Udin hanya diam. Ia bingung harus menjawab apa. Jika menjawab dengan jujur, Mang udin khawatir Radit akan marah dan menganggapnya tidak bisa menjaga amanah. Jika berbohong, Tuan Hadian yang akan marah jika suatu saat tahu kebenarannya. Akhirnya Mang Udin hanya menjawab seperlunya.

“Saya tidak tahu, Tuan. Ada beberapa teman perempuan yang suka bertemu Den Radit. Tapi jika saya perhatikan sepertinya tidak ada yang dianggap istimewa oleh Den Radit”, seru Mang Udin yang tiba-tiba teringat pada teman-teman kuliah Radit. Mereka suka cari perhatian, namun diacuhkan oleh Radit.

Untunglah Pak Hadian maupun istrinya tidak menanyakan tentang apa yang dilakukan Radit selama di Parahyangan kepada Mang Udin. Pak Hadian yakin Radit tidak mungkin mencintai gadis kampung di perkebunan atau yang bekerja di pabrik teh. Ternyata Pak Hadian tidak mengenali karakter gadis yang disukai putranya. Radit tidak seperti yang ada dalam pikiran papahnya. Radit justru lebih suka gadis kampung yang lugu dan mandiri dibandingkan gadis kota yang glamor dan manja.

Berbeda dengan suasana di coffee shop, Radit yang sudah berada di kamarnya tampak gelisah. Ia tidak bisa tidur. Di tengah kegalauannya, tiba-tiba Radit teringat pada Yofi Ferdianto. Temannya itu seorang psikolog yang aktif melakukan penelitian terkait orang-orang yang mengalami depresi. Radit kemudian melihat jam yang menunjukkan pukul 19.05.

“Rasanya pukul segini masih sopan untuk menghubungi seseorang. Aku yakin Yofi belum tidur”, gumam Radit.

Tanpa berpikir panjang, Radit pun segera menghubungi sahabatnya ketika SMA. Radit masih menyimpan nomor teleponnya. Ia berharap nomornya masih tetap sama karena di status wa nya tidak terdapat foto Yofi, hanya tertulis kata-kata motivasi.

Lihat selengkapnya