Radit meluncur ke hotel untuk check out, mengambil barang-barangnya, dan menjemput Mang Udin.
“Maaf ya, Mang sudah menunggu lama”, seru Radit ketika melihat Mang Udin sedang duduk di lobi hotel sambil mengisi buku TTS (Teka-teki Silang).
“Tidak apa-apa. Santai saja, Den.”, seru Mang Udin.
“Ya sudah saya ke atas dulu ya, Mang. Saya akan berkemas untuk pulang ke Jakarta.
“Pulang, Den? Lalu bagaimana dengan Neng Lina?”, Mang Udin bingung memikirkan nasib Lina yang akan ditinggalkan Radit dalam kondisi yang seperti itu.
“Mang Udin tenang saja. Saya bukan lelaki yang suka mengkhianati janji”, jawab Radit singkat.
Setelah semua siap, Mang Udin dan Radit meluncur ke Jakarta. Mereka mulai memasuki ibu kota, kemudian disambut kemacetan yang cukup menyita waktu. Gedung-gedung pencakar langit seolah menjadi simbol kemegahan kota Jakarta. Hilir mudik orang-orang yang seperti dikejar target setoran terkadang memancing emosi. Suasana yang sangat jauh berbeda dengan keramahan Parahyangan.
Empat jam kemudian, sampailah Radit di rumahnya yang megah. Rumah Radit berada di kawasan elit di pusat kota metropolitan. Pintu garasi terbuka secara otomastis meskipun ada satpam yang menjaga keamanan rumah. Radit yang dimanjakan dengan bergelimangnya harta dan fasilitas yang lengkap, merasa tidak nyaman. Terlebih jika nama Tiara terus disebut dalam pembicaraan di rumah itu. Telinga Radit rasanya panas. Di dalam hati Radit hanya nama Lina yang terukir indah.
Di sore yang cerah, Radit menuju kolam renang di belakang rumahnya. Ia berharap kepalanya yang panas karena selalu membahas Tiara sedikit dingin dengan menceburkan diri ke kolam renang. Radit lalu menggantungkan kimono berbahan handuknya di dekat kursi santai. Radit berjalan ke kolam renang dengan bertelanjang dada. Tubuhnya yang ideal membuat Radit tampak sempurna. Dadanya bidang, perutnya yang kencang dan berbentuk layaknya roti sobek membuat Radit semakin gagah. Radit tidak menyadari kalau Tiara memperhatikannya dari meja makan yang menghadap ke kolam renang dan disekat oleh pintu geser dari kaca transparan. Radit sama sekali tidak tahu kedatangan Tiara ke rumahnya sore itu. Radit memang tidak keluar rumah sejak pagi.
Tiara berjalan ke arah kolam renang dan ia melihat Radit berenang gaya bebas dari sisi kolam renang ke sisi yang lainnya.
“Hebat sekali!” seru Tiara sambil terus bertepuk tangan.
Radit terkejut mendengar suara gadis itu.
“Sejak kapan kamu di sini?”, tanya Radit sinis.
“Sejak kamu menenggelamkan dirimu ke dalam air”, jawab Tiara dengan gayanya yang genit seolah ingin menarik perhatian Radit.
“Rasanya kamu orang yang berpendidikan tinggi, tapi kok tidak sopan, ya?”, sindir Radit.
“Tidak sopan bagaimana? Kalau aku langsung menyelonong begitu saja tanpa izin, itu tidak sopan. Aku sudah mendapat izin dari papah dan mamahmu, Radit. Mereka sangat merestui hubungan kita?” jelas Tiara dengan percaya diri.
“Hubungan kita? Sejak kapan aku dan kamu menjalin hubungan? Kita baru diperkenalkan saat ulang tahun papahmu. Setelah itu, aku tidak pernah menghubungimu walaupun hanya sekadar menanyakan kabar. Sudahlah jangan mengada-ada. Tiara”, Radit makin kesal.
Tiara yang mulai merasa tidak nyaman berlari ke ruang tamu meninggalkan Radit dengan wajah sedih. Papah dan mamah Radit mencegah Tiara untuk pulang.
“Tiara sekarang tahu, Tante. Ternyata Radit tidak tertarik pada Tiara. Selama ini, Tiara hanya bertepuk sebelah tangan”, isak Tiara pada mamah Radit.
“Mungkin Radit masih merasa lelah setelah beberapa pekan ini mengurus perkebunan di Parahyangan. Kamu sabar, ya?”, Bu Dita berusaha menenangkan Tiara.
Tiara pun kemudian pulang dijemput sopir pribadinya. Pak Hadian dan Bu Dita merasa tidak enak atas perlakuan Radit kepada Tiara sehingga membuat gadis itu bersedih.
Setelah makan malam, Pak Hadian menyuruh pelayannya untuk memanggil Radit. Ternyata putra semata wayang Pak Hadian itu sedang termenung memikirkan Lina di kamarnya sambil mendengarkan musik klasik.
“Den, Den Radit dipanggil papah, Den”, seru Bi Darmi sambil mengetuk pintu kamar Radit secara perlahan.
Radit lalu membuka pintu kamarnya. “O iya, Bi. Sebentar lagi Radit menemui papah. Radit mematikan laptop dulu”, ucap Radit kepada Bi Darmi dengan santun.
Tak lama kemudian, Radit menemui papahnya.
“Duduk, Radit!”, seru Pak Hadian tegas.
Bu Dita tampak sedikit tegang karena takut suaminya itu akan memarahi anak kesayangannya.
“Radit, kamu sudah dewasa. Bahkan sahabatmu yang kemarin kamu temui juga sudah menikah, bukan? Cobalah ubah pola pikirmu. Jangan seperti anak-anak. Masalah mengontrol perkebunan dan pabrik di Parahyangan, ayah salut padamu. Tapi, masalah calon istri. Apakah kamu masih belum terpikir untuk segera menikahi Tiara?”, tanya papahnya.
Radit yang tidak suka basa-basi menjawab dengan tegas pertanyaan papahnya. Radit juga merasa tidak terima dikatakan seperti anak-anak oleh papahnya. Papahnya juga menganggap seolah dirinya tidak memiliki ketertarikan terhadap lawan jenis seperti yang dialami laki-laki pada umumnya.
“Pah, Radit tahu Radit sudah dewasa. Itulah sebabnya Radit sudah berkeinginan menikah”, ucap Radit yang kemudian menghentikan sejenak kata-katanya.
“Alhamdulillah. Kapan rencananya kamu akan menikahi Tiara, Radit?”, tanya papahnya dengan percaya diri. Pak Hadian berpikir Radit ingin menikahi Tiara.
“Iya, kapan, Nak? Papah dan mamah sudah tidak sabar untuk mengadakan pesta pernikahanmu dengan Tiara”, sambung mamahnya.
Radit kemudian menatap wajah papah dan mamahnya seraya berucap dengan lembut.
“Pah, Mah, Radit memang ingin menikah. Tapi, tidak dengan Tiara. Maafkan Radit, Pah, Mah”.