Fatamorgana

Layaly
Chapter #8

Hidup Baru

Keesokan harinya, Radit mulai memasukkan barang-barangnya ke mobil tua peninggalan kakeknya dibantu Mang Udin, sopir setianya. Radit memandangi mobil yang selama ini digunakannya, “Bye, My friend”, sapa Radit sambil mengelus mobil sedan berwarna hitam dengan tampilan yang sangat elegan.

Setelah selesai memasukkan barang-barangnya dan siap untuk berangkat, Radit pamit kepada papah dan mamahnya. Radit sebenarnya tahu semenjak dirinya dan Mang Udin sibuk mengemas barang-barang, papah dan mamah memperhatikannya dari ruang tamu. Namun, harga diri Pak Hadian sangat tinggi. Pak Hadian tidak ingin terlihat peduli kepada Radit yang telah menentang keinginannya. Di balik itu semua, dalam hati kecilnya Pak Hadian dan istrinya sangat mengkhawatirkan putranya.

“Pah, Mah, Radit pergi dulu. Radit paham papah dan mamah tidak merestui hubungan Radit dan Lina. Namun, Radit tetap meminta doa dari papah dan mamah karena Radit akan memulai hidup baru”, ucapnya.

Papah dan mamahnya tidak menanggapi, kemudian Radit kembali meminta doa orang tuanya.

“Pah, Radit tidak lagi tinggal di rumah yang megah ini, tidak memakai mobil mewah itu, dan fasilitas lainnya. Doakan Radit dapat beradaptasi dengan lingkungan dan suasana yang baru. Doakan pula suatu saat nanti Radit bisa meraih kesuksesan seperti papah”, ucap Radit yang tampak tegar seraya mencium tangan papah dan mamahnya.

Bu Dita sebenarnya sudah tak kuat menahan tangis. Namun, ia berusaha menampakkan ketegaran di hadapan Radit yang telah mengambil keputusan. Bu Dita tak ingin menghalangi langkah Radit. Sebagai ibu, Bu Dita sudah sangat mengenal karakter Radit. Putranya itu sangat mirip dengan papahnya. Ia tak akan mungkin menarik lagi apa yang telah menjadi keputusannya, apa pun risiko yang akan dihadapinya ke depan. 

Radit melangkah menuju mobil tuanya yang sedang dikemudikan oleh Mang Udin. Radit masuk ke dalam mobil itu kemudian melambaikan tangannya kepada papah dan mamahnya. Pak Hadian hanya diam terpaku, sementara Bu Dita tak kuasa lagi menahan air matanya. Tangisnya pun pecah sambil bersandar di bahu suaminya. Pak Hadian hanya mengelus kepala istrinya dengan dada yang terasa sesak. Perasaannya saat itu seakan bercampur aduk.

Bi Darmi yang melihat hal itu juga tak dapat menahan diri. Ia berlari dan menangis di kamarnya. Bagaimana tidak sedih, Bi Darmi sangat berperan besar merawat Radit, bahkan sejak Radit bayi. Sudah hampir 30 tahun Bi Darmi ikut keluarga Pak Hadian.

Saat itu, Bi Darmi menikah muda. Ketika sedang hamil, ia ditinggalkan oleh suaminya. Hal yang membuatnya makin menderita, bayi yang baru dilahirkannya meninggal dunia. Sejak itu, Bi Darmi tak tertarik menikah lagi. Ia memilih bekerja di rumah Pak Hadian. Saat Bu Dita melahirkan Radit, Bi Darmi sangat sayang pada Radit. Ia seolah menemukan kembali sosok bayinya yang telah tiada. Bi Darmi menyayangi Radit dengan tulus, seperti pada anaknya sendiri. Kini, Radit telah pergi dari rumah itu, Bi Darmi merasa hampa. 

“Den, Den....kamu itu kadnag keras kepala!”, isaknya.

Di sisi lain, perasaan Radit juga bercampur aduk, antara sedih, senang karena dapat lebih bebas menyemangati Lina, dan ada pula rasa bersalah padapapah, mamah, dan Bi Darmi.

“Den Radit memang nekad” seru Mang Udin sambil menyetir mobil tua milik kakek Radit. 

“Bukan nekad, Mang. Ini urusannya dengan ketulusan cinta, kesetiaan, dan tanggung jawab terhadap janji”, jawab Radit tegas.

“Mang Udin benar-benar kagum pada Den Radit”, puji Mang Udin.

Radit salah tingkah mendengar pujian Mang Udin.

“Ah, biasa saja, Mang. Saat ini tidak ada yang bisa Mang Udin kagumi dari saya”, ucapnya lirih.

“ Lihatlah mobil saya saja sudah berubah. Maaf ya, Mang. Biasanya Mang Udin merasa nyaman mengemudi. Saat ini mungkin Mang Udin merasa berat karena mobil ini tanpa power steering.”, ssambung Radit yang belum terbiasa mengendarai mobil itu.

“Kalau masalah mobil, tenang saja, Den. Mang Udin sudah terbiasa mengemudi mobil seperti ini. Kan dulu Mang Udin mantan sopir truk, tentu lebih berat dari mobil ini”, seru Mang Udin sambil tertawa.

“O ya, Mang. Setelah sampai di Parahyangan, kita mencari tempat indekos untuk dua orang yang letaknya tidak jauh dari perkebunan. Kalau ada, yang murah saja, Mang”, seru Radit sambil mengecek jumlah tabungannya melalui e-banking.

Mang Udin tidak banyak bertanya. Ia hanya menuruti kata-kata majikannya. Ia tahu saat ini Radit tak memiliki hak apa pun dari Pak Hadian. Namun, Mang Udin tetap menghargai Radit seperti biasanya.

Tiga jam kemudian, sampailah Radit dan Mang Udin di Parahyangan. Mang Udin yang cukup hafal daerah sekitar itu langsung menemukan tempat indekos yang dimaksud Radit. 

“Bagaimana Den, apakah tempat ini cocok untuk Den Radit?” tanya Mang Udin sambil

menunjukkan tempat indekos khusus putra di jalan raya menuju perkebunan.

“Hem, lumayan bersih tempatnya, Mang. Bagi saya saat ini yang penting bersih dan murah. Masalah nyaman, fasilitas lengkap layaknya hotel hanyalah masa lalu. Semoga menjadi motivasi untuk meraihnya kembali di masa depan, Mang”, seru Radit penuh harapan.

Amin, Amin, Den. Mang Udin akan selalu mendoakan Den Radit”, ucap Mang Udin sambil menurunkan barang-barang dari mobil dan memasukkannya ke kamar indekos yang telah dipilih Radit.

Kamar indekos itu sangat sempit jika dibandingkan kamar hotel yang biasa disewa Radit jika tiba di Parahyangan. Pada bangunan yang tidak terlalu luas itu, di dalamnya terdapat kamar, dapur kecil, toilet dan sedikit ruang untuk menerima tamu. Tidak ada AC, dispenser, kulkas, TV, ataupun water heater. Hanya ada kipas angin kecil dan tempat tidur sederhana yang dibungkus seprai berwarna biru langit. Tak ada bathtub di toiletnya. Hanya ada shower kecil yang menggantung dan tidak juga tersedia air panas. Radit harus membiasakan diri mandi air dingin di tempat yang dingin.

Meskipun di kamar yang sempit, malam itu Radit merasakan kenyamanan. Radit dan Mang Udin duduk di teras kamar indekosnya sambil menikmati secangkir kopi dan beberapa kerat roti. Bukan kopi di coffee shop yang diramu oleh seorang barista, tapi kopi sachet 3 In One yang sudah dilengkapi gula dan susu, kemudian diseduh air panas dari teko elektrik yang baru Radit beli di supermarket.

Lihat selengkapnya