“Sayang, sekarang ini kita hanya berdua di rumah kita sendiri. Kamu bahagia kan hidup denganku?”, tanya Radit kepada Lina yang telah menjadi istrinya sambil menyandarkan kepala Lina ke bahunya dan menggenggam tangan Lina dengan lembut.
“Tentu saja, Den. Saya bahagia sekali. Semua ini seperti mimpi indah.”, ucap Lina dengan polos.
“Den? Tolonglah jangan panggil aku Den lagi. Aku ini kan sekarang sudah menjadi suamimu. Panggil aku abang atau apa saja sesukamu. O ya satu lagi. Ini bukan mimpi, Sayang. Ini adalah kenyataan”, Radit menjelaskan sambil tersenyum karena Radit tidak menyangka Lina masih sepolos dulu saat pertama kali mereka bertemu.
Lina tersenyum manis. “Iya, Bang. Alhamdulillah harapan kita sudah terwujud”, ucap Lina.
Radit sangat bangga mendengar ucapan Lina. Radit semakin mencintainya. Radit kemudian mengajak istrinya makan malam. Selanjutnya, mereka menonton televisi sambil bercanda, dan salat berjama’ah.
“Malam semakin larut. Saatnya kita tidur, Sayang”, ajak Radit sambil menggandeng tangan Lina ke kamarnya. Lina tampak menggelengkan kepalanya manja dan melepas tangan suaminya. Radit makin gemas melihatnya.
“Kugigit kau!”, canda Radit sambil kembali menarik tangan Lina. Kini mereka pun berada di kamar. Ruangan berukuran 4 m x 3,5 m itu terasa luas bagi Radit ketika Lina ada di sampingnya. Semenjak ijab qabul diucapkan dan malam pertama menginap di rumah Pak Rohim, Radit belum ‘menyentuh’ istrinya. Radit berniat malam ini ia akan memberikan hak batin istrinya.
“Aku ingin membuat istiku bahagia”, gumam Radit dalam hatinya.
Radit pun mematikan lampu yang terang benderang dan menyalakan lampu tidur yang temaram. Suasana malam itu sangat romantis. Radit mulai melancarkan niatnya. Ketika tiba pada adegan Radit hendak membuka kancing depan baju Lina, tiba-tiba sesuatu terjadi di luar dugaan.
Trauma Lina kambuh. Lina tiba-tiba teringat saat keperawanannya akan direnggut oleh Wira, mandor perkebunan itu. Baju depan Lina ditarik dengan paksa sampai kancing kemejanya lepas berjatuhan. Malam itu, wajah Radit yang rupawan dan penuh kelembutan seolah berubah menjadi wajah Wira yang garang dan kasar dalam bayangan Lina.
Ketika Radit mendekat, Lina langsung mendorong dengan kencang sambil berteriak dan menangis histeris. Radit berusaha bangun setelah didorong oleh Lina. Ia akan menenangkan Lina. Namun bayangan Wira makin jelas dalam pandangan Lina. Kali ini, tenaga Lina semakin kuat. Dendam dan rasa benci kepada sosok Wira seolah membentuk energi dalam tubuh Lina untuk membalas rasa sakit hatinya. Radit yang dalam bayangan Lina adalah Wira kembali didorong sekuat tenaga. Radit pun jatuh tersungkur. Kepalanya terbentur tembok sampai berdarah dan tak sadarkan diri.
Beberapa saat kemudian, Lina sadar. Ilusinya mulai memudar. Lina kemudian menyalakan lampu kamarnya. Lina sangat terkejut melihat Radit pingsan dan tergeletak di lantai dengan darah membasahi rambut dan keningnya. Lina sangat panik. Dia langsung mencari handphone Radit dan segera menghubungi salah satu sahabat suaminya, yaitu Yofi. Lina tahu Yofi adalah sahabat Radit yang paling akrab dan banyak membantunya. Untunglah saat itu Yofi masih menginap di salah satu hotel di Parahyangan sejak pernikahan Radit. Hotel itu tidak jauh dari kompleks rumah Radit. Yofi bergegas meluncur ke rumah Radit setelah mendapat kabar dari Lina tentang keadaan Radit.
“Bagaimana ini bisa terjadi, Lin? Siapa yang melakukan ini semua?”, sesampainya Yofi di rumah Lina.
Mendengar pertanyaan Yofi, Lina tampak bingung harus menjawab apa. Tidak ada seorang pun yang masuk rumah mereka.
“Apakah ini perbuatanku? Tapi mengapa aku berbuat kejam kepada suamiku sendiri?”, Lina bertanya-tanya dalam hatinya. Lina juga tidak mengerti apa yang terjadi pada dirinya sendiri, terlebih Radit.
Saat itu, Yofi lebih fokus kepada Radit dibandingkan siapa yang menyebabkan hal itu terjadi. Yofi mengecek denyut nadi Radit.
“Alhamdulillah Radit hanya pingsan. Namun, dia kehilangan banyak darah dan harus segera dibawa ke rumah sakit”, ucap Yofi yang merasa sangat prihatin melihat keadaan sahabatnya yang baru saja menjadi pengantin baru tapi mengalami hal seperti itu.
“Ayo Lin tolong bantu aku bawa Radit ke mobil. Kita menuju ke RS. Harapan Sehat”, pinta Yofi.
Mendengar nama rumah sakit itu, Lina kembali mengingat sesuatu yang buruk. Lina tiba-tiba menggelengkan kepalanya dan tampak seperti orang yang sangat ketakutan. Yofi semakin bingung. Namun sebagai seorang psikolog, Yofi tahu apa yang dirasakan Lina. Yofi pun berusaha memberi pengertian secara perlahan-lahan.