Tiara yang sangat mencintai Radit merasa geram melihat keadaan keluarga Radit yang tampak bahagia. Bahkan keharmonisan keluarga itu tersebar di media sosial. Tiara pun menjadi bahan bully-an teman-temannya karena gagal menikah dengan putra Pak Hadian yang nyaris sempurna di mata setiap wanita. Tiara berniat merusak kebahagiaan mereka. Bagaimana pun caranya. Apa pun risikonya. Tiara sudah tidak peduli lagi. Intinya, yang bisa membuatnya puas saat ini adalah kejancuran keluarga kecil Radit.
“Keparat!” teriaknya sambil memecahkan gelas kristal.
Serpihan gelas itu pun berhamburan di sekitar kamarnya. Ia tak lagi berpikir jika hal itu dapat melukainya. Emosi dan rasa dendam telah menutup mata hatinya, bahkan akal sehatnya.
“Aku gak akan tinggal diam dengan semua ini, Lina perempuan kampung!”, pekiknya sambil mencoret-coret kertas, menyusun rencana licik.
“Hem, aku tahu caranya buat hancurin hidup kamu, Lina dan Radit pengkhianat!
“Tunggu saja. Kalian akan tahu akibatnya. Pelakor tak tahu diri dan lelaki berselera rendah!”, teriaknya lagi.
Berbagai umpatan terus ditujukan kepada pasangan yang berbahagia itu, terlebih mereka baru saja dikaruniai seorang putri yang lucu. Keadaan itu benar-benar membuat Tiara makin geram.
Tiara kemudian mendekati cermin berbentuk oval yang tergantung di dinding kamarnya.
“Kamu tahu, aku akan habisi orang-orang yang udah bikin aku menderita!”, ucapnya dengan tatapan kosong sambil mencakar cermin itu dengan kuku panjangnya.
Tanpa ditunda lagi, Tiara menyuruh orang kepercayaanya untuk menyelidiki latar belakang Lina Hapsari. Gadis kampung dari perkebunan teh di daerah Parahyangan yang berhasil merebut hati Radit.
“Cepat laksanakan hari ini juga! Besok pagi, aku harus sudah menerima informasi tentang wanita itu!”, perintah Tiara dengan tegas melalui sambungan telepon.
“Ba...baik, Neng Tiara!”, jawab orang di seberang sana.
Orang itu pun langsung melesat ke Parahyangan untuk mengorek informasi tentang Lina kepada penduduk setempat. Kebetulan, orang yang ditemuinya memiliki rasa dengki pada keluarga Pak Rohim yang memiliki menantu kaya. Dibukalah informasi tentang Lina dibumbui berbagai fitnahan yang dapat merusak nama baik Lina dan keluarganya.
Keesokan harinya, Tiara pun mendapat laporan bahwa saat menikah dengan Radit, Lina telah menjadi korban pemerkosaan seorang pria bernama Wira. Tiara juga mengetahui traumatis yang dialami Lina setelah itu.
“Hem, aku akan membuat kamu menderita, Lina kampungan!”, ucap Tiara sambil melempar anak panah ke foto Lina yang dia dapat dari orang suruhannya.
Aksi keji Tiara pun dimulai. Badai yang akan menghantam keluarga Radit telah dihembuskan, perlahan tapi pasti. Lina berniat menemui Pak Hadian dan Bu Dita.
“Tinggal nunggu waktu yang tepat!”, tukasnya.
Setelah berolahraga, mandi, dan sarapan, Tiara menelepon Bu Dita, mamah Radit.
“Assalamu’alaikum...Salam sehat selalu, Tante”, Tiara mengawali pembicaraan dengan ramah. “Wa’alaikum salam. Hai Tiara ke mana saja kamu? Sudah lama tidak menghubungi tante. Kamu sehat kan, Nak?”, Bu Dita menanggapi Tiara.
Sebenarnya, Tiara mengharapkan ajakan bu Dita untuk berkunjung ke rumahnya. Di sanalah Tiara akan memengaruhi pikiran Pak Hadian dan Bu Dita.
“Tiara baik-baik saja, Tante. Katanya tante sudah punya cucu, ya. Selamat ya, Tante!”, Tiara kembali berbasa-basi untuk menarik perhatian orang tua Radit.
“Alhamdulillah...Tante dan Om sudah jadi Eyang sekarang. Kapan kamu main ke sini? Tidak ada salahnya kan walaupun tidak jadi mantu tetap menjalin silaturahmi?”, ucap Bu Dita sambil tertawa.
Bu Dita tidak menyadari kalau ajakan itulah yang ditunggu-tunggu oleh Tiara. Tanpa menunggu lama, Tiara langsung menyambut ajakan Bu Dita.
“Iya, Tante. Kebetulan hari ini Tiara mau ke toko buku dekat rumah tante. Kalau tante tidak keberatan, nanti Tiara mampir, ya.”, Tiara segera melancarkan niatnya, tanpa ditunda esok atau lusa.
“Baiklah, tante tunggu ya, Nak.”, ucap Bu Dita singkat.
“Iya, Tante. Assalamu’alaikum”, seru Tiara dengan senyum sinis di balik teleponnya.
Pak Hadian tidak tahu mengenai masa lalu menantunya. Ia hanya tahu kalau Lina adalah seorang anak pemetik teh di perkebunan miliknya. Di dalam pikirannya, Lina adalah gadis kampung yang polos. Memang seperti itu kenyataannya. Namun, Tiara akan membumbui isu tentang Lina agar Pak Hadian beranggapan buruk tentang menantu yang telah melahirkan cucunya yang lucu itu.
Ketika melancarkan niat buruknya, Tiara tidak berpikir sedikit pun bahwa Radit adalah orang yang teguh pendirian. Radit tidak mudah terpengaruh oleh siapa pun. Bahkan Radit tidak akan pernah merasa dibohongi oleh Lina. Radit adalah orang yang paling tahu dan paham tentang istrinya itu, bahkan masa lalunya. Tidak ada yang Lina tutupi dari Radit, begitu juga sebaliknya. Pasangan itu saling terbuka dalam segala hal.
Baru selesai Pak Hadian dan Bu Dita melaksanakan salat Zuhur berjemaah di musalanya, terdengar seseorang mengucapkan salam. Ternyata Tiara. Ia sudah duduk menunggu di ruang tamu setelah dipersilakan masuk oleh Bi Darmi, pelayan di rumah itu.
“Eh, Tiara. Kamu sudah datang. Apa kamu mau salat Zuhur dulu? Pasti belum kan, soalnya azan belum lama berkumandang”, tanya Pak Hadian yang tergolong religius dan tegas untuk masalah kewajiban beribadah.
“Hem, saya sedang halangan, Om”, jawab Tiara dengan sedikit ragu. Itulah jawaban Tiara setiap diajak salat saat berada di rumah Radit. Namun, Pak Hadian berusaha percaya kepada putri sahabatnya kalau dia memang benar-benar jujur.
“Sepi ya, Om. Tidak ada Radit”, ucap Tiara sambil memperhatikan sekeliling rumah dan matanya terhenti pada foto keluarga kecil Radit. Hatinya terasa terbakar saat itu, namun ia berusaha tenang.
“Ya, sudah menjadi risiko sebagai orang tua. Ketika anak menikah, kita akan ditingggalkan. Anak-anak akan mempunyai kehidupannya sendiri”, ucap Pak Hadian bijak.
“O ya by the way apakah kamu sudah punya calon pengganti Radit, Tiara?”, tambahnya.
“Belum, Om. Saya mencintai Radit tulus sehingga tidak mudah bagi saya melupakan putra Om begitu saja. Ya, semoga suatu saat nanti ada lelaki yang lebih baik dari Radit dan bisa mengganti sosok Radit di hati saya”, ucap Tiara dengan wajah memelas seolah mengharap empati dari orang tua Radit.
“Begitulah jodoh, Tiara. Om dan tante juga tidak kuasa menghalanginya”, ucap Pak Hadian.
Tiara yang sedang dilanda emosi tak mengulur waktu lagi untuk memfitnah Lina, istri Radit.
“Iya, Om. Saya juga tidak mengerti dengan yang namanya jodoh. Mengapa Radit bisa langsung jatuh cinta dan ingin menikah dengan wanita kampung yang sudah tidak perawan lagi, ya?”, ucap Tiara dengan nada kecewa.
“Putra Om dan tante menurut saya nyaris sempurna. Radit punya segalanya. Banyak gadis berkelas yang mengharapkan cintanya, tidak hanya saya. Tapi, Radit langsung luluh kepada Lina. Saya dan keluarga saya benar-benar tidak habis pikir”, Tiara mulai tidak mengontrol bicaranya.
“Maksud kamu apa dengan mengatakan Lina sudah tidak perawan saat dinikahi Radit? Apakah mereka telah melakukan tindakan terlarang di luar nikah? “, suara Pak Hadian meninggi.
“Bukan, Om. Radit yang dididik secara religius sangat menjaga kehormatan dirinya dan keluarganya. Radit tidak pernah melakukan itu. Tapi Lina, Om. Lina yang melakukan itu dengan lelaki lain sebelum menikah dengan Radit.”, seru Tiara mulai menebar fitnah.
“Lelaki lain?”, tanya Pak Hadian
“ Iya, Om. Kalau gak salah, nama lelaki itu Wira.
Apa, Wira? Dia mandor di perkebunanku!”, tanyanya heran.
“Ya, mungkin dia orangnya, Om”, Tiara terus memainkan dramanya.
Sebelum ke rumah Radit, Tiara menemui Wira di penjara. Dia menjanjikan akan membebaskan Wira asalkan mau bekerja sama untuk memfitnah Lina. Tiara pun membuat Pak Hadian semakin geram dengan memberitahu lelaki yang telah berhubungan dengan Lina sebelum menikah dengan Radit. Bagi Pak Hadian, nama Wira sudah tidak asing lagi di telinganya karena dialah yang mengangkat Wira menjadi mandor di perkebunan.
“Benar-benar tidak tahu malu si Lina itu. Aku merasa terhina. Putraku menikah dengan wanita yang telah melakukan zina dengan mandor yang tabiatnya buruk”, seru Pak Hadian yang mulai terpancing emosinya. Tiara mulai merasa puas. Ia tertawa bahagia dalam hatinya.
“Hem, pasti akan ada perang antarkeluarga”, ucapnya lirih.
“Sudahlah, Om. Hal yang sudah terjadi jangan disesali. Sekarang yang terpenting om dan tante bahagia punya cucu dari wanita itu”, ucap Tiara lagi.
“Maaf, Tiara. Tante mau tanya sebenarnya kamu tahu dari mana tentang semua ini?”, Bu Dita angkat bicara karena merasa penasaran dengan apa yang baru saja didengarnya.
“Om, Tante. Saya mencintai Radit. Ketika Radit memutuskan untuk menikahi seseorang, saya langsung selidiki wanita yang menjadi rival saya. Saya menyuruh seseorang mencari tahu tentang Lina. Rahasia ini pun terbongkar. Mengapa saat itu Om dan Tante tidak berpikir ke sana, menyelidiki latar belakang wanita yang akan menjadi menantu Om?”, sindir Tiara yang seolah dirinya lebih pintar dari Pak Hadian dan Bu Dita.
“Saya rasa, mudah bagi Om untuk membayar seseorang demi mengetahui bobot, bibit, dan bebet calon menantu putra semata wayang Om itu, Lina kembali mengucapkan kata-kata yang membuat Pak Hadian dan Bu Dita tidak nyaman.
Pak Hadian tersinggung dengan kata-kata Tiara. “Saya percaya pada putra saya sehingga saya tidak perlu repot menyelidikinya. Saya juga sudah tegaskan kepada Radit, apa pun yang dia pilih, dia harus tanggung risikonya. Semua di luar tanggung jawab kami”, seru Pak Hadian.
“Saya mengajarkan Radit arti tanggung jawab sejak dia kecil, meskipun dia putra kami satu-satunya. Saya tidak terbiasa memanjakannya, kecuali hal-hal tertentu saja! Jadi, masalah mendidik anak, cara kami memberikan perhatian kepadanya, kami tak butuh nasihat kamu, Tiara”, ucap Pak Hadian dengan nada meninggi.
“Ma...maksud saya.....”, Tiara ingin mengklarifikasi penjelasannya
“Ah sudahlah!”, Pak Hadian menepis ucapan Tiara.
“Sebaiknya kamu pulang dulu, Tiara!”, kini Bu Dita yang menunjukkan sikap tegas pada perempuan yang sangat mencintai putranya.
Tiara hanya mengangguk.
“Pak, Bu, saya pamit dulu. Maafkan atas kata-kata saya sehingga membuat bapak dan Ibu tersinggung”, ucapnya sambil mencium tangan Pak Hadian dan Bu Dita.
Pak Hadian dan Bu Dita menanggapinya dengan sikap dingin.
Bi Darmi yang telah merawat Radit sejak kecil merasa turut sakit hati mendengar ucapan Tiara kepada orang tua Radit. Di hati kecil Bi Darmi, Lina pilihan majikannya itu tak seburuk yang dikatakan Tiara. Bi Darmi melihat dari sorot mata Lina yang polos, cara dia merawat anaknya, menyapanya, ibadahnya dan sebagainya. Semua lebih baik dari Tiara. Namun, apalah daya Bi Darmi tidak mungkin turut campur urusan keluarga majikannya. Dia hanya bisa mendoakan keluarga kecil Radit agar tetap bahagia.
Setelah Tiara pulang, Pak Hadian termenung.
“Apa yang harus kita lakukan pada Radit ya, Mah? Haruskah kita merusak kebahagiaan keluarga kecilnya? Tapi bagaimana pun juga, Radit harus tahu hal ini”, ucap Pak Hadian dengan mata yang menatap tajam ke arah istrinya.
Jika sudah seperti itu, Bu Dita tak bisa berkata-kata lagi. Ia hanya menuruti kehendak suaminya.
Tak lama kemudian, Pak Hadian menelepon putranya. Ia tak suka menunda masalah.
“Assalamu’alaikum, Radit apakah kamu sedang sibuk saat ini? Papah ingin bicara hal penting. Kalau bisa, kamu ke Jakarta saja agar lebih jelas.”, tegas Pak Hadian yang tak suka basa-basi. Sikapnya itu mirip sekali dengan Radit dan berbeda dengan Bu Dita yang selalu hangat menyapa seseorang, banyak prolog sebelum ke inti persoalan, tidak to the point. Mungkin karena wanita lebih mengedepankan perasaan.
“Wa’alaikum salam, kebetulan Radit sedang banyak waktu senggang, Pah. Urusan Radit telah selesai sebelum target yang ditentukan. Baik, Pah. Sore nanti Radit ke sana menemui papah”, Radit seolah paham dengan karakter papahnya yang selalu ingin segera ditanggapi jika ada masalah yang menurutnya serius.
Setelah Radit meminta izin kepada istri tersayangnya, Radit langsung menuju Jakarta. Gemerlap lampu ibu kota malam itu menyambutnya dengan hangat, namun tak sedikit pun membuatnya tertarik. Bagi pengusaha muda sepertinya, ia bisa sekadar bersenang-senang melepas penat dengan fasilitas yang disediakan di berbagai tempat hiburan di kota besar. Namun, berbeda dengan Radit. Ketenangan hatinya diperoleh ketika bisa beribadah dengan khusyuk dan kebahagiaannya adalah saat berkumpul dan bercanda bersama keluarga kecilnya.
Setengah jam kemudian, Radit telah sampai di rumahnya. Radit memasuki gerbang rumahnya yang kokoh, elegan, dan modern. Pak Hadian sudah menunggunya di teras rumahnya yang luas sambil menikmati kopi hitam dan kue-kue basah buatan istrinya. Melihat kedatangan Radit, hatinya mulai bergejolak. Dia merasakan dilema. Di satu sisi, ia teringat pada ucapan Tiara siang tadi sehingga membuatnya emosi dan ingin segera mengonfirmasi pada putranya. Hal itu pula yang membuat Radit harus segera datang memenuhi keinginannya.
Di sisi lain, melihat keteduhan wajah Radit karena kebahagiaan yang dirasakan bersama keluarga kecilnya seolah menyurutkan niatnya. Baru kali ini Pak Hadian yang tegas merasakan keraguan yang luar biasa. Namun baginya pantang untuk mengubah apa yang telah menjadi keputusannya. Radit sudah datang, maka ia harus mengatakan apa yang ada di kepalanya, yaitu terkait informasi yang diperolehnya dari Tiara.
“Assalamu’alaikum, sehat Pah, Mah?”, sapa Radit sambil mencium tangan papah dan mamahnya.
“Radit mandi dulu ya, Pah?”, lanjutnya sebelum memulai pembicaraan dengan papahnya.
“Iya, Nak. Mandi kemudian makan dulu. Mamah sudah buatkan makanan kesukaanmu”, seru mamahnya yang selalu memanjakan anak semata wayangnya. Papahnya hanya menarik napas panjang.
Bi Darmi merasa tegang saat kedatangan Radit.
“Akankah ada keributan di keluarga ini?” ucapnya dalam hati.