Radit menyusuri jalan di sekitar kompleks rumahnya. Tak terlihat Lina di sekitar sana. Ia pun melaju keluar dari kompleks. Suasana saat itu sangat sepi. Hanya lampu jalan yang menyinari gelapnya malam. Tidak ada satu pun warung yang buka. Pemuda yang biasa nongkrong di warung kopi sambil bermain gitar pun tidak nampak. Radit bingung sekali. Tidak ada orang yang bisa ditanya tentang keberadaan Lina. Ia pun kembali menjalankan mobilnya perlahan. Sesekali matanya melirik spion. Tubuhnya terasa lelah setelah menempuh perjalanan dari Jakarta ke Parahyangan. Namun, tak mungkin ia beristirahat. Hatinya sangat gundah memikirkan Lina yang pergi entah ke mana.
“Lin, kamu di mana, Sayang? Ya Tuhan, tolonglah tunjukkan kepadaku keberadaan istriku saat ini”, lirih Radit sambil terus mengemudikan mobilnya dengan kecepatan rendah. Ia gundah, batinnya diburu perasaan tak menentu. Pikirannya ikut berkecamuk.
Beberapa meter dari tempat Radit memanjatkan doa, tampak seorang perempuan bersandar di sebuah bangku tempat pemberhentian bus kota. Dari kejauhan mirip Lina. Rambutnya terurai sebahu menutupi wajahnya dilapisi pasmina. Dia juga hafal pada warna pasmina yang dikenakan wanita itu. Motif pasmina itu seperti milik istrinya. Wanita itu sepertinya tertidur di sana sambil bersandar pada tiang penyangga. Radit segera turun dari mobilnya. Radit yakin wanita itu Lina, istrinya. Radit menyingkap pasmina yang menutupi wajah wanita itu. Radit sangat terkejut. Separuh wajah wanita itu seperti luka terbakar. Wanita itu meminta Radit menjauhinya sambil terus berteriak.
“Pergi kamu dari sini. Jangan sentuh aku!”, ucapnya.
“Lin, ini aku suamimu. Apa yang kamu lakukan dengan wajah cantikmu, Sayang?”, tanya Radit sambil memeluk Lina dengan erat. Lina berusaha melepaskan pelukan Radit. Lina ingin pergi dari kehidupan Radit dan semua masa lalunya. Ia benar-benar lelah. Sebenarnya ia juga sudah tak tahan menahan sakit di wajahnya. Beberapa menit kemudian, Lina tak sadarkan diri di pelukan Radit.
Radit yang sangat terpukul dengan peristiwa yang menimpa istrinya, langsung membawa Lina ke rumah sakit terdekat.
“Lakukan apa saja untuk istri saya, Dok”, ucap Radit pada salah seorang dokter ahli bedah yang kebetulan belum pulang setelah mengoperasi pasiennya. Dokter ahli bedah tu mengamati wajah Lina.
“Wajah istri bapak bisa kami tangani. Namun, yang terpenting sekarang kita harus mengetahui kondisi fisik yang lainnya”, seru dokter dengan bijak.
Lina pun diperiksa tekanan darah, denyut jantung, dan sebagainya. Satu jam kemudian, ternyata denyut jantung Lina makin cepat. Tekanan darahnya makin menurun drastis. Wajahnya tampak pucat. Tubuhnya mulai dingin. Lina pun mengembuskan napas terakhirnya saat azan Subuh berkumandang.
Radit tak dapat menahan tangisnya sambil terus berusaha membangunkan Lina yang sudah terbaring kaku dengan wajah yang rusak.