Paris. Di sinilah aku berada saat ini. Di negeri yang indah dan kata orang penuh cinta. Negeri yang sudah aku tinggali selama lebih kurang enam tahun. Sekarang adalah hari terakhirku. Saat-saat terakhir berada di apartemen yang sangat aku cintai ini. Meskipun sangat sederhana dan jauh dari kesan mewah, apartemen inilah yang menjadi saksi bagaimana aku melalui hari-hariku setelah semua peristiwa yang tidak mengenakkan dalam hidupku. Peristiwa yang menyisakan sejuta kenangan pahit.
Apartemen ini jugalah yang menemaniku dalam membangun karier sebagai seorang editor di sebuah majalah mode di Paris. Bukan majalah yang paling populer memang, tetapi cukup dikenal dan oplahnya lumayan. Di apartemen inilah aku mulai belajar menulis artikel tentang perkembangan mode. Mengirimkannya ke berbagai majalah, sampai akhirnya tulisanku diterima. Aku pun menjadi penulis artikel freelance, lalu menjadi kolumnis tetap di majalah tempatku menjadi editor hingga seminggu yang lalu.
Terkadang aku tertawa sendiri melihat diriku yang sekarang. Mengapa aku bisa terjerumus di dunia mode? Padahal, awalnya aku ini adalah gadis yang sangat jauh dari kata fashionable. Jangankan memperhatikan perkembangan mode dunia, dandan saja aku tidak pernah. Makeup? Itu apalagi. Aku hanya tahu pakai bedak dan lipgloss, tidak lebih. Aku tidak tahu cara menggunakan pensil alis, memakai eye shadow, apalagi membuat riasan smokey eyes yang sedang tren saat ini. Aku juga tidak tahu bagaimana mengaplikasikan eye liner dan blush on. Aku benar-benar buta akan hal itu. Soal pakaian? Jangan harap aku tahu tentang brand ternama dunia. Aku tak pernah ambil pusing soal merek. Aku cuma tahu mengenakan jeans dan kaus atau jeans dengan kemeja. Tak lupa topi tentunya. Yang penting aku merasa nyaman. Mungkin semua itu terjadi karena aku bukan berasal dari keluarga berada. Tak cukup dana untuk itu.
Begitulah aku dahulu. Kerasnya hidup yang kualami sejak kecil membuatku tumbuh menjadi gadis tomboi. Namun, sekarang? Semua ketomboian itu hilanglah sudah. Hilang karena sebuah peristiwa pada masa lalu yang diawali dengan kebetulan. Dan, Paris sebagai masa kini kelihatannya berhasil untuk semakin menjauhkanku dari makhluk bernama tomboi. Meskipun tidak mengenakan barang-barang yang branded, setidaknya gayaku sekarang cukup fashionable dan feminin. Walaupun sekarang mengikuti perkembangan tren, aku tetap tak mau terseret arus. Mengamati tren hanya sebatas tuntutan pekerjaan. Aku punya style-ku sendiri. Nyaman, tetapi tetap gaya.
Kuputar pandanganku menyusuri setiap sudut ruangan di apartemen sederhana ini. Rasanya waktu berlalu begitu cepat. Haruskah aku berpisah dengan apartemen ini sekarang? Aku senang di sini meskipun artinya aku harus jauh dari ibu dan adik-adikku yang tinggal di Tanah Merah Putih. Setidaknya, dengan bekerja di Paris, aku bisa membantu ekonomi keluarga. Ibuku tak harus bersusah payah menjadi pengurus kantin lagi. Aku sudah bisa memberikan Ibu modal usaha untuk membuka usaha katering yang berjalan sukses hingga sekarang. Kedua adikku juga bisa melanjutkan pendidikan hingga ke bangku kuliah. Kehidupan keluarga kami pun semakin lumayan.
Dengan tetap berada di Paris aku juga bisa menjauh dari kisah masa lalu yang getirnya masih kurasa hingga saat ini. Kedengarannya memang seperti pengecut, lari dari masalah. Namun, jika bisa menjauh dari sumber masalah yang membuat resah, kenapa tidak? Bukankah kata orang jarak dan waktu adalah obat terbaik untuk sebuah luka hati? Seandainya saja aku tak mendapat kabar bahwa ibuku tiba-tiba sakit lagi, aku takkan kembali ke Indonesia sekarang. Sepahit apa pun luka yang kualami, aku tak mungkin bisa mengabaikan ibuku. Aku harus pulang demi ibuku. Tak peduli kalau dengan kembali ke Jakarta, artinya aku akan kembali teringat dengan sejumput kenangan usang yang pahit. Kalaupun aku harus bertemu dengan orang-orang itu lagi, itu bukan masalah.