Fate

Mizan Publishing
Chapter #3

2

Cuaca Paris pagi hari ini terlihat cerah, sangat bersahabat. Angin berembus lembut dan langit pun berwarna biru. Musim semi yang indah. Saat yang tepat untuk bepergian. Ramainya pejalan kaki menyusuri trotoar adalah panorama khas kota ini kala pagi. Di antara mereka ada yang berjalan kaki menuju halte bus, ada juga yang berjalan ke stasiun subway terdekat, bahkan ada juga yang mungkin berjalan kaki ke tempat kerja karena jaraknya yang cukup dekat dari tempat tinggal mereka. Tidak seperti biasanya, lalu lintas hari ini terlihat cukup lancar.

“Anda akan pergi berlibur, Mademoiselle?” tanya sopir taksi yang ternyata bernama Louis. Aku mengetahui namanya dari kartu identitas yang terpampang di dasbor mobil.

“Tidak. Saya akan kembali ke Indonesia,” jawabku singkat.

“Wow, Indonesia.” Dia diam kembali. Suasana hening kembali tercipta. Aku pun kembali menikmati Paris dari balik jendela taksi. Kota Cinta yang dalam hitungan beberapa jam lagi akan aku tinggalkan.

Benar kata orang-orang. Paris memang indah. Pantas saja banyak yang menetapkan Paris sebagai kota wisata impian. Namun, harus diingat, barang siapa yang memutuskan ingin berlibur ke negaranya Napoléon Bonaparte ini harus punya kocek lebih. Biaya hidup di sini mahal. Mungkin imbang berat dengan biaya hidup di London. Selain karena nilai tukar mata uang rupiah yang memang terbilang cukup rendah dibanding euro, biaya hidup di kota ini memang mahal. Penduduk aslinya sendiri mengatakan demikian.

Aku yang dulunya tidak terlalu ambil pusing dengan Paris, akhirnya memutuskan memilih kota ini sebagai tempat untuk melanjutkan pendidikan sekaligus sebagai tempat pelarian. Sebenarnya, aku sempat ragu untuk memilih melanjutkan pendidikan jauh-jauh hingga ke Paris karena sakit Ibu. Namun, permasalahan yang hadir setelah operasi Ibu membuatku ingin segera keluar dari Jakarta. Belum lagi, dari dulu cita-citaku memang ingin kuliah di luar negeri. Tidak harus di Paris. Di mana pun boleh, yang penting luar negeri. Begitulah pemikiran sederhanaku sejak dulu. Namun, dengan sakitnya Ibu, membuatku ragu untuk meluluskan niat dan keinginanku.

Dan, bukan Ibu namanya kalau tidak mengetahui keraguanku. Dia lantas meyakinkanku bahwa aku harus tetap melanjutkan niat dan cita-citaku untuk sekolah di luar negeri. Ibu bilang bahwa aku harus meraih cita-citaku kalau kesempatan itu memang ada. “Jangan pernah menyia-nyiakan kesempatan. Cobalah selagi kamu bisa.” Itu yang dikatakan Ibu kepadaku. Lagi pula, menurut Ibu, dengan semua masalah yang datang kepadaku saat itu, mungkin akan lebih baik kalau aku pindah ke tempat yang baru. Tempat yang benar-benar jauh sehingga aku bisa melupakan semuanya. Selain itu, Ibu juga beralasan masih ada dua orang adikku yang bisa menjaganya, dan aku tak perlu khawatir. Toh, dokter juga mengatakan bahwa Ibu akan baik-baik saja selama beberapa tahun ke depan asal tidak kelelahan.

Karena Ibu yang mengotot menyuruh untuk tetap meneruskan niatku, aku memutuskan untuk mendaftar dalam program beasiswa ke Paris. Beasiswa adalah satu-satunya cara agar aku bisa mewujudkan mimpiku untuk melanjutkan pendidikan ke luar negeri. Tidak mungkin bisa mengandalkan keuangan Ibu. Kala itu, beliau cuma seorang pengurus kantin. Jangankan untuk membiayai program pascasarjanaku di luar negeri, di dalam negeri pun ibuku belum tentu sanggup. Bahkan, jika ditambah dengan gajiku saat itu sebagai pelatih taekwondo dan guru les privat untuk anak SMP dan SMA, hal itu belum tentu bisa terwujud. Terlebih, kedua adikku juga masih bersekolah. Sangat tipis kemungkinannya. Oleh karena itu, aku melirik program beasiswa dari Kedutaan Besar Prancis.

Lihat selengkapnya