Suatu tempat di pinggiran Jakarta Selatan, 18 Januari 1996
Gerimis turun ketika hari telah gelap. Gudang tua itu sepi dan mencekam. Alang-alang di sekelilingnya tumbuh subur setinggi pinggang orang dewasa, bergoyang liar ditiup angin. Gudang itu sendiri terdiri dari kayu-kayu yang telah lapuk dan besi-besi berkarat, atapnya terbuat dari seng dan tampak compang-camping bak kain rombeng. Selain hewan (atau mungkin sebangsa jin dan setan) sepertinya tak akan ada yang berani berkunjung ke gudang tua ini, terlebih di saat-saat seperti ini. Tapi, ternyata itu pikiran yang keliru, karena dari pagar kawat yang juga tidak terawat, dua sosok bayangan tengah mengendap-endap.
Dua sosok bayangan itu berjalan beriringan dengan dibantu masing-masing satu lampu senter kecil. Mereka mengendap-endap menuju celah di pagar kawat.
“Hati-hati,” bisik sosok yang paling depan sebelum merunduk dan menerobos celah pagar.
“Yakin ini akan berhasil, Kak?” tanya sosok yang di belakang.
“Nggak akan tahu kalau nggak pernah dicoba, kan?” jawab si Kakak sambil terus berjalan menerobos alang-alang menuju gudang tua itu.
Si Adik mengikuti dengan setia.
Mendekati gudang, dua anak laki-laki itu dihadang kunci gembok besar yang telah berkarat, tapi gembok itu tidak berdaya sama sekali menahan mereka karena dinding kayu di samping gerbang telah menganga diterjang rayap.
“Kamu nggak lupa berliannya?” tanya si Kakak setelah keduanya berada di dalam gudang.
Si Adik menjawab dengan mengeluarkan kantung kecil warna hitam sebesar kepalan tangan orang dewasa.
“Kamu tahu yang mesti kamu lakukan,” ucap si Kakak memberi perintah.
Si Adik berjalan ke tengah-tengah gudang sambil membawa kantung kecil itu, sedang si Kakak ke dinding sebelah kanan. Di sana si Kakak mendapati sebuah tangga kayu menuju atap dan menaikinya dengan hati-hati.
Di atap gudang itu angin terasa lebih kencang. Si Kakak merayap-rayap di atap, memperhatikan tiap pijakannya. Sempat ia melihat ke bawah dan merasa ngeri juga andai ia terjatuh. Dengan sangat berhati-hati dia meraih segulung kawat baja dan melemparkannya ke luar gudang. Tampak oleh si Kakak, gulungan kawat itu menimpa alang-alang. Setelah itu, ia merayap-rayap menyusuri sisi atap dan menemukan lagi gulungan kawat baja dan melemparkannya lagi ke luar gudang. Demikian seterusnya hingga ia lakukan itu sebanyak lima kali.
Sementara itu, si Adik yang telah berada di tengah gudang itu mendapati sampah-sampah kayu bertumpuk di lantai. Si Adik kemudian menyingkirkan sampah-sampah kayu itu; menyingkirkannya hingga tampaklah lima buah pipa baja tahan karat yang panjangnya masing-masing satu setengah meter.
Pipa baja itu disusun si Adik dengan menghubungkan tiap ujung pipa satu dengan yang lainnya. Dihubungkan sedemikian rupa hingga susunan pipa itu bentuknya menyerupai bentuk simbol bintang.
“Pentagram-nya sudah jadi?” tanya si Kakak setelah turun dari atap dan setengah berlari menuju si Adik.
“Sudah. Tinggal berliannya,” jawab si Adik sambil memperhatikan bentuk bintang yang mereka sebut pentagram. Dia ambil kantung hitam dari saku jaket dan mengeluarkan isinya. Tampak lima buah benda berkilauan jatuh ke telapak tangan si Adik.
Di setiap ujung runcing pentagram itu terdapat semacam cakar berjari empat yang terbuat dari baja. Di cakar-cakar itulah mereka tempatkan berlian-berilan itu.
“Selesai,” gumam si Kakak.