Bandung, 7 September 1998
“Bim, bangun, Bim!”
Bima terperanjat bangun.
“Mandi dan cepat sholat Subuh!” perintah sang ibu.
Bima menurut meski kantuknya belum hilang benar. Ia berjalan keluar rumah, lewat pintu yang tidak ada pintunya, yang hanya dihalangi tirai kain butut warna abu-abu. Ia berjalan melewati tumpukan-tumpukan sampah yang menggunung menuju mesjid terdekat, untuk numpang mandi sekaligus sholat subuh.
Hari masih lumayan gelap, tapi langit sebelah timur sudah menampakkan cahaya jingganya. Bima menarik napas panjang, meski udara pagi bercampur bau busuk sampah..
Semoga hari ini akan baik-baik saja, bisik hati Bima.
Mentari telah tampak ketika Bima telah sholat subuh, telah mandi, telah siap pergi ke sekolah.
“Belajar yang rajin. Nurut sama guru. Semoga ilmunya jadi berkah,” pesan dan doa ibunya yang tiap pagi Bima dengar.
Bima hanya mengangguk. “Bima pergi dulu, Bu. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Untuk anak berusia sebelas tahun, Bima memiliki tubuh yang besar. Kulitnya agak gelap karena sering tersengat matahari, dan rambutnya pendek dipotong seadanya. Bagi orang-orang di sekitarnya, Bima bisa denngan mudah dicap anak yang nakal. Yah, apa yang mau diharapkan? Penampilan Bima tidak bisa dikatakan kalau dia datang dari keluarga yang baik-baik. Tapi, Bima tidak merasa perlu memperbaiki reputasinya. Aku memang anak nakal, lalu kenapa? Mau menantang berkelahi? Mungkin itu yang akan dikatakan Bima jika kamu mengomentari dirinya.
Burung berkicauan ketika Bima melewati setumpuk sampah. Tampak olehnya di tumpukan sampah itu belatung-belatung menggeliat menghindari patukan burung-burung yang berdatangan. Bima perhatikan, bulu burung-burung itu tampak kusam. Berbeda sekali dengan burung-burung yang ada di pohon-pohon di sekolah, pikir Bima sambil terus berjalan. Padahal spesies burungnya sama… tapi beda. Ini burung sampah.
Kemudian terdengar oleh Bima deru mesin truk sampah, menandakan ia sudah berada dekat dengan tembok beton berlubang yang memisahkan Tempat Pembuangan Sampah Kota dengan kampung sebelah. Ia hanya perlu mengitari satu gundukan sampah lagi untuk menemukan lubang itu.
Bima masuki lubang itu dan dia pun telah berada di sebuah gang yang akan mengantarnya ke jalan raya dan berjalan selama setengah jam ke barat untuk mencapai sekolahnya.
Beberapa langkah lagi menuju gerbang sekolahnya, Bima sempat melihat sekawanan burung hinggap di untaian kabel listrik. Bima tersenyum melihat kilat bulu-bulu mereka yang bersih. Nah, kalau ini burung sekolahan.
Jam tujuh tepat bel berbunyi. Murid-murid berbaris di depan kelas masing-masing, lalu masuk kelas, bersedia menerima pelajaran yang akan disajikan guru-guru mereka.
Di kelas 5-B, Bima duduk sendiri di bangku paling belakang, memperhatikan teman-teman sekelasnya ribut sebelum guru datang. Pemandangan yang biasa. Bima tidak terlalu peduli.
Bima tentu saja bukan anak favorit. Nilainya tidak bagus, tapi tidak juga jelek. Karena perawakannya, murid-murid yang lain segan untuk dekat dengannya, atau lebih tepatnya mereka takut sama Bima. Bima pun tidak keberatan tidak punya teman, bahkan dia selalu bersikap kurang bersahabat jika ada anak yang mendekatinya.
Pernah suatu ketika Bima melihat ada siswa yang bertengkar dan kemudian berkelahi, Bima menghampiri mereka dan kemudian berkata keras-keras, “Yang menang nanti lawan aku, ya!” Siswa-siswa yang berkelahi itu sontak kaget dan berhenti berkelahi. Mereka bubar sendiri. Mungkin itu bisa jadi gambaran bagaimana reputasi Bima di sekolahnya, meski Bima tidak peduli dengan reputasi. Bima tidak peduli dengan semua itu. Bima sekolah hanya untuk belajar.
Bima menarik napas panjang sambil kemudian menggumamkan hitungan mundur dari angka delapan. Setelah angka satu, pintu kelas terbuka. Tampak Pak Ridwan, guru walikelas mereka memasuki kelas. Bima tidak senang dengan guru ini, karena guru ini suka meniru-niru suara dalang yang menganggap Bima sebagai tokoh Bima dalam pewayangan, entah itu setiap memanggil, menyuruh atau sekedar menyebut nama Bima ketika mengabsen. Olok-olok Pak Ridwan ini selalu diikuti tawa anak-anak yang lain, dan kadang menjadi kesempatan mereka untuk berani meledek Bima, karena di kesempatan yang lain tentunya mereka tidak berani.
Bima pernah ke Perpustakaan Daerah untuk mencari tahu siapa tokoh Bima dalam pewayangan ini. Tokoh Bima adalah tokoh dalam cerita “Mahabharata” atau juga “Bharatayuda”, salah satu dari lima Pandawa bersaudara; putra kedua Raja Astina, Prabu Pandu Dewanata. Dia seorang ksatria berhati mulia walau memang mudah marah. Mendapatkan temuan ini, Bima sebenarnya jadi merasa heran, kenapa aku mesti diledek? Bukankah Bima ini tokoh yang baik? Seorang ksatria….